Berita

Pesta Film Solo 7: Tiga Hari untuk Selamanya dalam Ruang Kaca

Seminggu berlalu, Pesta Film Solo 7 masih menyisakan kehangatan di hati para pesertanya. Diselenggarakan di Taman Budaya Jawa Tengah pada tanggal 11-13 Mei 2017, Pesta Film Solo 7 yang bertajuk Ruang Kaca, berhasil menerima submisi sebanyak 161 film pendek dari seluruh Indonesia yang selanjutnya dikurasi sesuai dengan program yang diharapkan. Adapun ketiga kurator dalam pelaksanaan kurasi tersebut yaitu Steve Pillar Setiabudi, Zen Al Ansory, dan Bambang Ipoenk K.M. Ruang Kaca sendiri dijadikan sebagai konsep utama dari acara dengan tujuan melihat film sebagai wujud representasi dari keinginan pasar maupun idealisme filmmaker. Ditemui di venue, Rizka Zahra selaku ketua pelaksana PFS 7, mengaku bahwa kaca merupakan medium reflektor antara filmmaker dan filmnya. Dengan kaca, karya film direfleksikan sebagai hasil rasa dan cipta yang memiliki dua kemungkinan tersebut.

Baca juga: Ruang Kaca-Tema Segar Pesta Film Solo #7

Proses kurasi menelurkan 20 film terpilih yang dibagi dalam beberapa sesi. Tiga diantaranya merupakan film dokumenter berjudul W (Rumah Kayu Studio), Awal (Satu Lensa), dan Harta Karung (ISI Surakarta). Selain memutarkan film-film tersebut, PFS 7 pun memutarkan film utama, yaitu Cinta Brontosaurus (Fajar Nugros) di hari pertama, Salawaku (Pritagita Arianegara) di hari kedua, dan hUSh (Djenar Maesa Ayu-Kan Lume) sebagai penutup di hari ketiga. Sesi lainnya diisi oleh film karya asli Solo (dalam sesi Film’e Wong Solo) dan film-film Wregas Bhanuteja (dalam sesi pemutaran film tematik).

Pesta Film Solo tidak pernah lengkap tanpa adanya kehadiran komunitas film se-Indonesia. Seiring dengan adanya regenerasi dari tiap-tiap komunitas, Pesta Film Solo 7 di tahun ini dihiasi oleh wajah-wajah baru.Rizka mengaku ada peningkatan dalam segi jumlah di temu komunitas yang dimulai pada Kamis (11/5) malam. “Tahun lalu itu tercatat sekitar 30 komunitas, mbak. Kalau tahun ini 45 komunitas dengan 300 peserta. Makanya ada penambahan LO untuk komunitas dari senior.” tutur Rizka. Temu komunitas malam pertama dimoderasi oleh Andi Budrah Sadam Ramadhan dengan pembicara Dimas Jayasrana, selaku perwakilan dari Badan Perfilman Indonesia (BPI), bidang Festival Internasional dan Hubungan Luar Negeri. Dalam temu komunitas malam itu, Dimas Jayasrana memaparkan hubungan antara BPI, Pusbang Film, dan BEKRAF, berikut dengan bantuan operasional yang ditawarkan kepada sektor dan subsektor terkait yang dinaungi.

Malam temu komunitas (11/5), Andi Budrah memegang microphone dan di sampingnya, Dimas Jayasrana (foto: Cynthia Astari)

Pemutaran hari kedua diawali dengan program film fiksi yang memutarkan 5 film terpilih hasil kurasi (Jurig, Selasa Sampai Minggu, Oleh-Oleh, Special Dish, Rumah, dan Topik). Dilanjutkan dengan diskusi bersama filmmaker. Setelahnya, dilanjutkan dengan pemutaran 6 film pendek lainnya (Wandu, Singsot, Bang, Kiri Bang, Kancut,Pekak, dan Heaven of Children) yang pula dilanjutkan dengan sesi diskusi bersama filmmaker terkait. Film Singsot (Ravacana Film) dan Kancut (Chroma Production) dibanjiri tepuk tangan penonton karena menyita perhatian penonton dengan olahan cerita yang diangkat. Salah satu film pendek dalam sesi ini, Pekak (Sunny Day Visual), mengangkat isu kehidupan buruh Indonesia yang dilihat dari perspektif yang berbeda yang membuatnya terasa lebih dekat; intim. Diskusi berlangsung hangat; beberapa penonton berhasil menunjukkan antusiasme dan apresiasinya lewat pertanyaan-pujian yang diajukan.

Penonton yang memadati ruang dalam pemutaran dan diskusi Salawaku. (foto: Cynthia Astari)

Pemutaran film utama, Salawaku, pun tidak luput menyita perhatian penonton; lebih dari 100 orang memadati kursi-kursi penonton yang tersedia. Potongan adegan dan percakapan sederhana yang khas dalam film ini berhasil menggelitik emosi para penonton. Acara kemudian dilanjutkan di pendopo dengan Malam Temu komunitas. Penyelenggaraannya berfokus pada kegiatan komunitas yang hadir dalam Pesta Film Solo 7 dan dimoderasi oleh Reza Fahriansyah. Ada 8 komunitas yang turut menyampaikan kepentingannya di tahun ini, diantaranya yaitu Kronik Filmedia (SEFITION 2017), Sinema Intensif (Festival Kecil), HIMA Komunikasi Unair (Festival Proyeksi),dan Psychology Film Festival Unair (PFF).Pada hari terakhir, pemutaran film dibuka dengan sesi film tematik karya Wregas Bhanuteja, lalu pemutaran fiksi yang menyuguhkan 5 film pendek (Wei, Yuwana Mati Lena, Kremun, Seragam, dan Rasuk), dan ditutup dengan sesi pemutaran film hUSh.

Selaku ketua pelaksana Pesta Film Solo 7, Rizka pun menambahkan bahwa pihaknya ingin Pesta Film Solo secara konsisten menjadi ajang silaturahmi antar komunitas film di Indonesia. “Karena peserta malam temu komunitas bertambah, saya senang sekaligus khawatir mbak, berarti kan mereka masih percaya dengan kami. Makanya, kami setidaknya ingin membayar antusiasme peserta dengan menyediakan Pesta Film Solo yang setidaknya rapi-lah, gitu.” imbuhnya.Dan dengan berakhirnya Pesta Film Solo 7 pada Sabtu (13/5) lalu, diharapkan tiga hari itu tidak serta merta berakhir, melainkan untuk selamanya.

Segelintir perwakilan dari komunitas film yang hadir dalam Pesta Film Solo 7, Sinematografi Unair dan Kronik Filmedia (foto: Cynthia Astari)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top