Berita

100% Manusia Film Festival 2024 Sukses Digelar untuk Kedelapan Kalinya

Festival Film 100% Manusia 2024 telah sukses diselenggarakan selama 10 hari, menampilkan karya film dari sutradara lokal dan internasional di empat kota besar Indonesia: Jakarta, Tangerang Selatan, Bandung, dan Yogyakarta. Festival ini menarik puluhan pembuat film, pegiat HAM, dan penonton dari berbagai komunitas untuk berdiskusi dan membangun percakapan seputar isu-isu Hak Asasi Manusia (HAM).

Direktur Festival, Kurnia Dwijayanto, dalam sambutannya di penutupan acara yang berlangsung di Erasmus Huis, Jakarta, menyatakan kebanggaannya atas festival tahun ini yang berhasil menyatukan berbagai komunitas. “Kebersamaan benar-benar terasa dalam ruang diskusi setelah pemutaran film, dan pada saat acara non-film yang berlangsung. Semakin banyak penonton dan komunitas baru yang hadir, serta film dan filmmaker yang pertama kali mempertontonkan karyanya di festival kami,” ujarnya.

Festival tahun ini ditutup dengan pemutaran eksklusif film “RIVIÈRE” (2023), sebuah drama coming-of-age arahan sutradara Hugues Hariche. Film yang dinominasikan untuk penghargaan Golden Leopard di Locarno International Film Festival 2023 ini mengisahkan perjalanan seorang gadis muda dalam pencarian jati diri dan ayah kandungnya.

Berkolaborasi dengan Kedutaan Besar Swiss, tema “Kebersamaan” menjadi sorotan utama festival tahun ini. Tessa Nerini, Sekretaris Pertama dan Wakil Kepala Divisi Politik, Ekonomi, dan Kebudayaan Kedutaan Besar Swiss untuk Indonesia, menyatakan dukungannya terhadap inisiatif ini yang memperkuat hubungan komunitas melalui media film.

Dalam setiap penyelenggaraan, 100% Manusia Film Festival juga menyorot keberanian sutradara muda Indonesia dalam menyuarakan isu HAM. Melalui kompilasi film pendek seperti 100% Local Flavors dan 100% Reality Bites, festival ini menjadi platform bagi para filmmaker untuk mengeksplorasi isu-isu lokal dan global. Festival juga merayakan lahirnya pembuat film baru melalui program 100% STMJ dan 100% Tale of Six Cities.

Festival tidak hanya menampilkan film, tetapi juga melibatkan narasumber ahli untuk mendiskusikan berbagai isu sosial dan politik. Misalnya, dalam diskusi film “This Stolen Country of Mine,” perwakilan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membahas korupsi dan eksploitasi sumber daya alam.

Sejumlah lokakarya juga digelar, termasuk kurasi film dan penyelenggaraan festival film, dengan menghadirkan Chris Belloni dari International Queer & Migrant Film Festival, Amsterdam. Belloni menyampaikan apresiasinya terhadap semangat komunitas film di Indonesia dalam memajukan diskusi HAM melalui sinema.

Tak hanya festival film, acara 100% Exhibition: Diversity, Equality, Humanity yang dikurasi oleh Geofany Tambunan dan Skinner juga sukses mengangkat isu-isu kemanusiaan yang jarang dibahas di pameran publik lainnya. Selain itu, karya seni “Igor Meriung Meriang” oleh Alam Taslim berhasil memeriahkan Gedung KPK dengan menyajikan monster lokal Indonesia yang sarat nilai-nilai tradisional.

Salah satu program unggulan, A Walk to Understand, kembali mengajak partisipasi Sahabat Tuli dalam tur jalan kaki yang menjadi kegiatan rutin festival ini. Festival juga membuka peluang bagi Teman Tunet (Tuna Netra) melalui film “Jatuh Cinta Seperti di Film-Film,” yang memberikan ruang bagi Sahabat Difabel untuk berperan aktif di dunia perfilman.

Seluruh pemutaran film dan acara non-film selama festival ini dapat diikuti secara gratis oleh publik sesuai rentang usia. Kurnia Dwijayanto berharap bahwa kegiatan ini dapat menjadi kegiatan rutin yang memperkuat kesadaran masyarakat akan kesetaraan dan keberdayaan semua individu, terutama di ranah HAM.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top