100% Manusia Film Festival merupakan film festival internasional yang memutar beberapa jenis genre film dari beberapa negara. Festival film ini fokus pada pembahasan mengenai topik hak asasi manusia, gender, diversity / keberagaman, dan isu-isu minoritas. Pemutaran film diselenggarakan di beberapa lokasi pemutaran dan bioskop alternatif antara lain Goethe-Institut Indoesien, Kineforum, Paviliun 28, Erasmus Huis, IFI, Ke:Kini, dan Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Tidak hanya pemutaran film, 100% Manusia Film Festival juga menyelenggarakan beberapa aktivitas lainnnya, seperti peluncuran buku dan diskusi, talkshow, bazar, ekshibisi seni, dan juga “movie experience walking tour”, jalan-jalan untuk menggunjungi beberapa tempat set film di sudut-sudut Jakarta. 100% Manusia Film Festival diselenggarakan mulai 22 September sampai dengan 1 Oktober 2017, dan saya sangat exited bisa mampir dan menyambangi beberapa acara pemutaran pada beberapa program yang berbeda, menonton film, berdiskusi, kemudian, tercerahkan. Untuk informasi lebih lengkap mengenai program-program 100% Manusia Filam Festival, dapat membuka website di [link ini], atau mendownload membaca katalog di [link ini].
Film-film yang dipilih dan diputar mewakili manusia dari beberapa aspek berbeda bahkan aspek-aspek yang belum saya ketahui secara mendalam karena keterbatahan pengetahuan saya. Program-program festival film ini memutar film-film yang menceritakan manusia tanpa batasan, dan tidak terbatas pada definisi ideal dari jawaban “what makes us human?”. Saya ambil beberapa contoh: Program 100% Pure Love memutar Die Beautiful (2016, Jun Robles Lana) yang menceritakan tentang kehidupan seorang transgender yang berperan sebagai sahabat dan ibu, memberikan cinta kepada orang-orang di sekitarnya dan juga cinta kepada diri sendiri. Program 100% in Motion memutar film “mockumentary” hUSh (2016, Djenar Maesa Ayu & Kan Lume) bercerita tentang Cinta Ramlan yang bergerak bebas mendobrak stereotype dan prejudice tentang perempuan. 100% non-conforming memutar Pria (2017, Yudho Aditya) tentang seorang remaja bernama Aris yang struggling dengan konformitas sosial di dalam keluarga dan lingkungan masyarakatnya. Dan film-film lain seperti Vessel (2014, Diana Whitten), Train To Heaven (2017, Mahesa Desaga), A Mother and Her Daughter (2017, Happy Salma & Gatot Subroto), Rising form Silence (2016, Salahuddin Siregar), Lamtiur (2017, Tiar Simorangkir) menceritakan perjuangan, inspirasi, keyakinan, aspek unik manusia dan interaksinya dengan mansuai lain. Untuk penonton yang seperti saya, dibutuhkan keterbukaan pikiran untuk bisa paham dan merasakan apa yang disampaikan oleh film-film tersebut.
Program-program yang ditawarkan di 100% Manusia Film Festival sangat “holistic”. 100% Manusia Festival film menyelenggarakan pemutaran film dilengkapi dengan sesi Q&A dan diskusi seusai menonton. Dari diskusi tersebut penonton akan mendapatkan insight tentang maksud apa yang ingin disampaikan dalam film terkait. Dari sebuah diskusi, programmer festival juga bisa mendapatkan timbal balik dari apa yang dipahami atau diketahui oleh penonton. Diskusi tidak hanya menghadirkan para sutradara film, namun juga beberapa narasumber dari LBH Jakarta, Komunitas Jemari Tangan, Women On Web, Angsamerah, Lentera dan organisasi dan komunitas lainnya yang fokus pada grakan hak asasi manusia. Diskusi-diskusi dan Q&A ini adalah value added 100% Manusia Film Festival. Diskusi adalah sebuah “hidangan penutup” yang melengkapi menu utamanya: nonton film.
Salah satu pemutaran yang saya hadiri adalah pemutaran Die Beautiful (2016, sutradara Jun Robles Lana) di Kineforum pada tanggal 29 September 2017. Film ini bercerita tentang kehidupan seorang transgender bernama Trisha mulai dari anak-anak hingga dewasa. Walaupun mendapatkan penolakan dari keluarganya atas keputusan menjadi seorang transgender, Trisha mencoba menjalani hidup dengan baik sebagai masyarakat, sahabat, dan dan sebagai seorang ibu tiri. Hingga pada suatu hari Trisha meninggal secara tiba-tiba setelah dinobatkan menjadi ratu dalam kontes kecantikan, dan keinginan terakhirnya adalah memiliki riasan wajah beberapa selebriti terkenal yang berbeda setiap malam sebelum dimakamkan. Kemudian Trisha menjadi viral, dan akhirnya Trisha dikenal lebih luas dibandingkan sebelumnya.
Film ini bercerita tentang self-determination seorang Trisha atas pilihannya sebagai seorang transgender. Dia bertahan pada keputusan yang diambil untuk menjadi transgender walaupun mendapatkan penolakan dari keluarganya sendiri dan mengalami pengalaman sangat tidak menyenangkan bahkan traumatis. Die Beautiful menyampaikan bahwa seorang transgerder juga memiliki aktualisasi diri. Dalam kondisi keterbatasan akses, mereka tetap berusaha mendapatkan tempat di lingkungan masyakarat, seperti menjadi perias wajah atau bekerja di salon. Serta aktualisasi dengan mengikuti berbagai macam kontes kecantikan. Film ini dikemas simbang, antara drama dan komedi. Tidak jarang penonton dibuat tertawa dan secara bersamaan memberikan simpati kepada Trisha.
Setelah menonton, telah hadir beberapa narasumber ibu Merlyn Sopjan sebagai aktivis transgender dan Gilbert Lianto dari LBHM. Diskusi dibuka oleh mbak Merlyn seorang aktivis transgender yang menceritakan tentang kondisi penerimaan sosial terhadap transgerder di Indonesia. Banyak kemiripan apa yang dialami oleh Trisha dan juga para transgender di Indonesia. Misalnya diskriminasi terhadap transgender pada akses pekerjaan, rumah sakit, sekolah, atau hal-hal lainnya. Tidak sedikit penonton yang antusias untuk bertanya, memberikan pendapat, dan juga bercerita tentang hal-hal yang berkaitan dengan transgender. Diskusi ini merefkesikan kembali bahwa transgender adalah 100% manusia.
Terminologi “festival” identik dengan perayaan dan atau hari/pekan gembira dalam memperingati peristiwa. 100% Manusia Film Festival merupakan perayaan “manusia” itu sendiri, lewat media film. “Manusia” dirayakan dengan cara mengenalkan mereka lebih dalam, dengan pikiran terbuka, dengan saling empati dan simpati, saling menerima dan memberi. Tidak hanya melulu tentang hak asasi, 100% Manusia Film Festival merupakan perayaan terhadap aspek individual differences, menghormati manusia dengan karakteristik unik dan otentik yang melekat pada pribadi yang berbeda-beda, serta merayakan identitas minoritas walaupun definisinya terkadang tidak diterima oleh sosial (pada umumnya). Festival ini tidak hanya tuntas pada “memberi tahu” lewat pemutaran-pemutaran film fiksi, based on true story, dan dokumenter, festival ini telah mencapai level affection, yang, bisa jadi, mempengaruhi penontonnya untuk memberikan attitude yang lebih positif kepada manusia lain yang berbeda dari dirinya, yang berbeda pada umumnya. Dapat merayakan dan menerima manusia secara utuh tanpa judgement identitas yang telah dipillih, inilah kesan baik yang saya peroleh setelah menghadiri festival film ini.
Sampai ketemu tahun depan.