Belakangan ini, seruan-seruan #nikahmuda agaknya berdengung lebih nyaring di telinga masyarakat Indonesia. Alasannya bermacam-macam, mulai dari menghindari perzinahan sampai titah orangtua. Semesta mendukung, unggahan foto-foto di media sosial juga mengkonstruksi imaji pernikahan (dan kehidupan setelahnya) sebagai sesuatu yang serba fairytale-ish. Bukan tidak mungkin, muda-mudi kita nantinya terjerembap ke dalam imaji tersebut, lalu #naikpelaminan tanpa perencanaan dan persiapan yang matang.
Program (I)nikah Nikah? coba memberikan paradigma penyeimbang untuk fenomena tersebut. Keempat film dalam program menampilkan kompleksitas (hidup ber)pernikahan dalam tatanan sosial-masyarakat kita. Dibuka dengan Seserahan yang menangkap suasana riuh-rendahnya keluarga sebelum ritual akad nikah dilaksanakan. Natalan lain cerita : Ia menunjukkan bahwa perkara sesederhana mudik nyatanya dapat menjadi perkara yang dilematis. Sementara Gugat Pegat coba mengurai bahwa keadaan sumur-dapur-kasur dapat dipengaruhi oleh realita eksosbud dari suatu daerah. Tapi bercerai tak melulu perkara finansial, dan Sendiri Diana Sendiri menampilkan salah satu alternatifnya dan membenturkannya dengan hegemoni moral masyarakat kita.