Salah satu fungsi suatu negara ialah menjamin kehidupan dan hak-hak warganya terpenuhi. Namun, bagaimana jika negara gagal menjalankan fungsinya? Sederet film yang tayang di Program Anarko dari Kineforum tampaknya dapat memberikan sedikit gambaran. Program yang berlangsung pada 21 – 31 Agustus ini menghadirkan cerita tentang orang-orang yang hanya bisa mengandalkan diri sendiri dan lingkungan terdekatnya untuk bertahan hidup. Absennya peran negara memaksa mereka untuk menjadi mandiri, liat, dan tidak bergantung kepada penguasa.
Menjalani hidup tanpa peran negara, atau menjadi “Anarko” dalam arti sesungguhnya, merupakan inti dari program Layar Virtual yang menampilkan enam film pendek ini. Film-film tersebut dibagi menjadi dua kategori dengan tagar yang berbeda: #disfungsi dan #lenting. Kedua tagar tersebut mengeksplorasi cerita tentang ketidak hadiran negara yang tidak hanya memaksa warganya agar hidup secara fleksibel, tetapi juga melahirkan berbagai permasalahan horizontal yang merugikan sesama masyarakat.
Sulitnya Bertahan Hidup di Low-Trust Society
#Disfungsi menengok bagaimana kehidupan masyarakat dengan rasa saling percaya yang rendah atau dikenal dengan istilah low-trust society. Terdapat tiga film pendek fiksi yang ditayangkan dalam program ini: Kantor (Irvan Muhlish Abdillah, 2019, 30 menit), Satu (Aditia Santosa, 2020, 19 menit), dan Nebeng (M. Faisal Hibatullah, 2020, 20 menit). Film pertama, Kantor, bercerita tentang seorang pembantu umum bernama Sadi yang baru bekerja di kantor desa selama satu minggu, tetapi sudah mendapat beban pekerjaan yang melebihi tugas utamanya. Ia bekerja sebagai petugas kebersihan, melayani keluhan masyarakat, hingga melakukan pekerjaan administrasi yang seharusnya menjadi tanggung jawab pegawai desa. Pegawai yang tidak disiplin, pekerja kelas bawah yang merangkap banyak tugas, hingga masyarakat yang minim literasi menjadikan Kantor sebagai film yang tepat dalam menggambarkan carut-marut birokrasi di daerah-daerah pelosok.
Sementara itu, film Satu mengambil sudut pandang yang lebih mikro, tetapi relevan dengan konteks sosial masa kini. Saat pulang dari melaut, Supri menemukan mayat perempuan misterius di pantai dengan luka sekujur tubuh. Ia dihadapkan dengan perasaan bingung, ingin menolong karena rasa kasihan, tetapi tak mau mengambil risiko jika dituduh sebagai pelaku karena tidak ada saksi mata lain. Kebingungan Supri menandakan bahwa akar permasalahan di masyarakat kerap bermula dari rendahnya rasa saling percaya dan memaksa masyarakat harus berhadapan satu sama lain.
Selanjutnya, film Nebeng bercerita tentang perjalanan Karyo, seorang supir yang harus mengantar jenazah misterius ke suatu alamat demi mendapat upah. Berbagai ujian harus ia lalui selama perjalanan yang penuh risiko. Namun, semua itu seolah tidak seberapa jika dibandingkan dengan beban hidupnya. Tak disangka, perjalanan ini menjadi momen Karyo berbagai cerita dengan jenazah misterius tentang keluh kesah kehidupannya yang pelik. Cerita Karyo di film ini memiliki pola sejenis dengan dua film sebelumnya. Low-trust society pada dasarnya tidak dapat disederhanakan menjadi permasalahan horizontal saja. Negara idealnya hadir dan mendengarkan suara rakyatnya yang kerap terpinggirkan, tanpa ada prasangka yang berpotensi menyudutkan mereka. Sayangnya, ketiga film fiksi tersebut masih begitu nyata dan dialami oleh sebagian masyarakat di sekitar kita.
Baca juga: Melihat Realitas Hutan dan Masyarakat Papua di Festival FIlm Papua IV
Kala Negara Tidak Lagi Diharapkan
Tagar kedua dalam Program Anarko, #Lenting, menampilkan tiga film pendek dokumenter dengan judul Dulhaji Dolena (Anita Reza Zein, 2019, 27 menit), Cipto Rupo (Catur Panggih Raharjo, 2019, 37 menit), dan Golek Garwo (Wahyu Utami, 2020, 30 menit). Ketiganya mempunyai benang merah yang sama, mengangkat cerita tentang kehidupan yang tidak lagi mengharapkan kehadiran negara. Upaya tersebut bukan didasari atas pemberontakan, tetapi semata-mata karena negara tidak kunjung menjamin kehidupan yang sejahtera bagi mereka.
Dari film Dulhaji Dolena, kita melihat Dulhaji dan warga desa Api-Api, Pekalongan yang harus hidup di tengah genangan air banjir rob yang kian naik akibat tata kota yang buruk. Segala cara ia lakukan untuk mengingatkan pemangku kebijakan agar memperhatikan kampungnya. Meski tidak kunjung berhasil, ia tidak menyerah dan terus mengisi hidupnya dengan bekerja sebagai penjual lutis (rujak buah), menjadi badut, hingga menulis lagu. Cerita Dulhijah menjadi kritik bagi pemerintah sekaligus pembuktian bahwa masyarakat masih mampu hidup meski tak bergantung kepada negara.
Film Cipto Rupo dan Golek Garwo sama-sama bercerita tentang sisi lain kehidupan masyarakat lanjut usia di negara ini. Cipto Rupo menceritakan perjalanan masa tua Tjipto Setiyono, orang terakhir yang berprofesi sebagai pelukis slebor becak. Ia hidup sendiri di usia 85 tahun dan hanya menempati kamar kos berukuran 3×3 meter. Sementara itu, Golek Garwo bercerita tentang forum pencarian jodoh yang rutin diadakan setiap bulan di Yogyakarta. Lewat forum itu, Basri (62 tahun) bertemu dengan Musiyem (56 tahun) dan menikah di usia yang tak lagi muda. Kebutuhan untuk saling melayani di masa tua menjadi bekal pernikahan mereka. Dua film tersebut menampilkan nasib orang-orang lanjut usia di negara yang sistem penyangga sosialnya belum merata. Sebagian dari mereka beruntung ketika hidupnya masih disokong oleh keluarga atau menemukan jodohnya di usia tua seperti Basri dan Musiyem. Namun, sebagian lainnya harus menghabiskan sisa usia dengan kesendirian dan hanya berharap bantuan dari lingkungan terdekatnya.
Program Kineforum bulan ini sarat dengan cerita dari masyarakat yang tidak merasakan peran dan fungsi negara. Film yang ditampilkan hadir dan mengamplifikasi suara-suara yang jarang terdengar di ruang publik. Penayangan program “Anarko” seyogianya memberikan gambaran bagi kita, bahwa setiap individu yang dirugikan dari ketidakhadiran negara tetap mampu bertahan dan menata dirinya masing-masing.
Baca juga reportase lainnya dari Feraldi pada halaman berikut