Berita

ARKIPEL 2019: Bromocorah yang Abu-Abu, Eksperimentasi dan Progresivitas.

Film eksperimental hadir bukan bermaksud untuk menjadi media protes terhadap film populer, atau sebagai benda yang dipakai untuk menaikkan gengsi. Bukan. Sejak dulu, film eksperimental selalu bersanding dengan film-film terkenal pada masanya, baik dalam hal penceritaan atau cara pembuatannya. Lihat saja James Cameron yang selalu punya hal baru di tiap filmnya, terutama yang berhubungan dengan teknologi. Sebagaimana film itu sendiri yang lahir dari proses-proses eksperimentasi.

Rasanya sangat tepat menggunakan jawaban Yuki Aditya (Direktur Festival ARKIPEL sejak 2013) kembali ketika diwawancarai Infoscreening tahun lalu. Ia bilang, film eksperimental adalah penyeimbang terhadap film arus utama yang pada dasarnya memiliki kebutuhan untuk mencari temuan-temuan baru dalam bercerita dan memberikan pengalaman visual. Film arus utama dan film eksperimental bisa saling mengisi; yang satu adalah komoditas industri, sementara yang satu lagi adalah sebagai tempat belajar. Dan jika boleh saya tambahkan, dalam film eksperimental, seorang pembuat film bisa bermain dengan sebebas-bebasnya.

Tentang ARKIPEL 2019: Bromocorah

ARKIPEL (Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival) dengan tema “Bromocorah” adalah perhelatan dan perayaan yang ketujuh dalam eksperimentasi sinema yang berlangsung dari 18 hingga 26 Agustus 2019. Tidak berbeda dengan pelaksanaan di tahun-tahun sebelumnya, ARKIPEL tahun ini juga menayangkan film-film yang memiliki keunikan masing-masing, baik secara teknis maupun cara penceritaan. Film-film tersebut sayangnya diputar di satu tempat saja, yaitu GoetheHaus. Ada 50 film dari 33 negara yang berhasil masuk kurasi. Film-film itu lantas dikelompokkan ke dalam beberapa program antara lain: Kompetisi Internasional (terdapat 28 film, terbagi dalam 10 sesi penayangan, 2 film Indonesia lolos dalam program ini), Kuratorial Bromocorah, Candrawala – local landscape of now, Presentasi Khusus, Penayangan Khusus, Forum Festival dan Pameran Kultursinema. Kultursinema tahun ini dipamerkan di Museum Nasional. Program ini berupaya memetakan budaya sinema Indonesia yang telah berlangsung selama lebih dari satu abad.

Baca juga: ARKIPEL 2018 Awarding Night: Rayakan Eksplorasi Sinema

Tiap tahun, ARKIPEL memiliki tema yang menarik untuk didiskusikan. Kenapa tahun ini memakai tema Bromocorah? Bromocorah sendiri dalam KBBI (ditulis “Bramacorah”) diartikan sebagai penjahat yang sehari-hari bergaul dengan masyarakat, tetapi suatu saat tidak segan-segan melakukan kejahatan. Dualitas tersebut yang membuat Bromocorah sebagai hal yang abu-abu. Sementara dihubungkan dengan sinema, Hafiz Rancajale (Direktur Artistik ARKIPEL) dalam catatan artistiknya menyatakan bahwa, “Pembingkaian atas bromocorah dapat pula berarti mengonstruksi konsep progresivitas.” Ia lantas menambahkan: “Dengan melibatkan konsep bromocorah ke wilayah sinematik dan lantas menariknya kembali keluar dari alam estetika tersebut, kita mungkin dapat menoropong dan menerjemahkan gejala-gejala global terkini dan performativitas-performativitas kontemporer. Sebab, dengan meyakininya sebagai tanda yang hampir selalu ada pada setiap zaman, bromocorah menjadi kosa kata kultural yang melaluinya, kita bisa melihat bagaimana sesungguhya Modernisme—induk bagi kelahiran sinema—bekerja pada diri kita.”

Penghargaan ARKIPEL 2019

Seperti tahun-tahun sebelumnya pula, ARKIPEL memberikan beberapa penghargaan kepada film-film terpilih, di antaranya ARKIPEL Award (film terbaik utama secara umum), Peransi Award (kategori ini difokuskan kepada pembuat film berusia muda), Jury Award (film terbaik pilihan dewan juri), dan Forum Lenteng Award (film terbaik pilihan Forum Lenteng).

ARKIPEL Award dianugerahkan pada The Future Cries Beneath Our Soil karya Pham Tu Hang dari Vietnam. Peransi Award diberikan kepada film Sapu Angin karya Cahyo W. Prayogo dari Indonesia. Sementara Jury Award menjatuhkan pilihan pada 2 film: The Love of Statues karya Peter Samson dari U.K. dan Centar karya Ivan Markovic dari Serbia. Dan yang terakhir, Forum Lenteng Award diraih oleh film Blues Side On The Blue Sky karya Rachmat Hidayat Mustamin dari Indonesia. Dalam pidato penerimaan penghargaan tersebut, Rachmat mengatakan bahwa kemenangannya ia tujukan untuk teman-temannya yang masih mau membuat film pendek dan bereksperimen di Makassar. Di tengah film lokal layar lebar yang terus dipromosikan, Rachmat dan teman-teman terus melakukan eksperimentasi untuk menampilkan keberagaman sinema.

ARKIPEL masih terus berjuang untuk menunjukkan pentingnya eksperimentasi dalam sinema. Disadari atau tidak, hal itu akan terus muncul sesuai dengan tuntutan zaman, sebagaimana hakikat manusia itu sendiri yang dinamis dan enggan tertinggal. Oleh karena itu festival ini harus terus ada.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top