Berita

Belajar dari Sesama Bangsa Asia di JAFF 14 “Revival”

Bertempat di XXI Plaza Indonesia (16/10/2019), Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) ke-14 menggelar temu media. Diawali dengan pemutaran film Humba Dream karya sutradara Riri Riza, JAFF 14 menyapa awak media dengan sejumlah informasi dan bocoran festivalnya. Hadir dalam temu media ini, Ifa Isfansyah (Direktur Festival), Ajish Dibyo (Direktur Eksekutif), Kamila Andini (Direktur Artistik), Reza Fahri (Direktur Program) dan Christine Hakim.

Ifa Isfansyah membuka temu media kali ini dengan menceritakan sekilas tentang sejarah hadirnya JAFF. Pertama kali diselenggarakan pada 2006, dalam rangka 250 tahun kota Yogyakarta, JAFF hadir atas kesadaran besarnya potensi anak muda Jogja yang sedang giat-giatnya berkomunitas. Gairah tersebut muncul seiring perkembangan teknologi digital yang pesat. “Waktu itu kita bertemu 75 lebih komunitas, dan kita sadar hampir semuanya concern produksi. Semua fokus membuat film, terus siapa nih yang akan nonton? Di titik itu kita sadar, kita butuh ruang.” Ungkap Ifa Isfansyah.

Meski di tahun pertamanya JAFF sudah menghadapi kendala serius berupa bencana gempa Jogja 2006, nyatanya tidak menyurutkan semangat penyelenggara untuk terus maju. “Banyak (gerakan) sinema yang lahir di tengah krisis, bahkan festival tertua Venice digagas di tengah perang dunia, jadi kita sadar justru ini kebangkitan.” Lanjut Ifa.

Menyambung soal kebangkitan, hal tersebut juga linier dengan tema JAFF tahun ini “Revival”. Tema ini diangkat atas kesadaran bahwa Asia sebagai sebuah regional yang selama ini dibayang-bayangi oleh Barat, sebenarnya sudah mampu berdikari. “Pada dasarnya, kami berharap bangsa Asia sadar bahwa mereka mesti lebih banyak belajar dengan sesamanya ketimbang pada masyarakat Barat.” Terang Budi Irawanto dikutip dalam rilis JAFF.

Menanti yang Baru dari JAFF

Membicarakan sebuah gelaran tahunan, tentu yang paling dinanti adalah soal pembaruan. Dari sisi internal, JAFF tahun ini menarik karena sejumlah posisi pengurus mulai digantikan dengan generasi-generasi baru. Selain dapat terjadi transfer ilmu dan pengalaman, diharap generasi selanjutnya ini mampu memberi gaya dan perspektif segar.

Dari sisi penyelenggaraan, tahun ini JAFF akan dihelat di satu tempat terpusat yaitu Empire XXI Yogyakarta. Ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang digelar di sejumlah tempat di Yogyakarta. Hal ini dilakukan agar program-program yang telah disiapkan lebih efisien, sekaligus memastikan film-film yang diputar mendapat dukungan fasilitas dan alat yang layak dan memadai.

Baca juga: German Cinema 2019: Kisah-Kisah Seputar Berpisahnya Jerman Barat dan Jerman Timur

Dari sisi peniketan, tahun ini JAFF bekerja sama dengan Goers. Aplikasi Goers ini nantinya yang akan memudahkan calon penonton mendapatkan tiket. Dari sisi panitia, kerja sama ini akan memberi keuntungan berupa pendataan penonton yang lebih baik lagi. Inisiatif ini menindaklanjuti masalah peniketan yang selama ini kerap muncul. Karena di tahun-tahun sebelumnya, peniketan hanya ditangani oleh para volunteer dan tak sedikit calon penonton yang kecewa akibat down-nya situs JAFF akibat pengunjung yang membeludak. Salah satu yang turut diperkenalkan soal peniketan adalah sistem tiket terusan yang disebut “Sahabat Hanoman”. “Harapannya dengan semakin banyak ‘Sahabat Hanoman’, dapat menjadi fondasi JAFF untuk dapat mandiri.” Jelas Ajish Dibyo selaku Direktur Eksekutif JAFF tahun ini.

Melanjutkan kesuksesan Program JAFF Education di tahun sebelumnya, lokakarya tahun ini menghadirkan salah satu rigging gaffer profesional asal New Zaeland, Sean O’Neill. Sean turut terlibat dalam departemen sinematografi film-film Hollywood seperti The Great Wall (2016), Alien: Convenant (2017), dan yang terbaru Mulan (2020).

Seperti di tahun-tahun sebelumnya juga, JAFF masih dengan misi membuka ruang kolaborasi dengan seniman-seniman lokal, khususnya dari Jogja. Kali ini artwork dari poster JAFF dikerjakan oleh Tempa. Tahun ini juga, JAFF memberi penghargaan khusus pada almarhum Hasmi, sang kreator jagoan lokal Gundala atas jasanya pada dunia kreatif, khususnya komik Indonesia selama ini.

Suguhan Film JAFF Tahun Ini

Dari sisi pengurasian film-film yang masuk, terdapat perkembangan yang cukup signifikan. Apabila tahun lalu (2018) sekitar 500-an, kini ada 745 film dari 39 negara yang masuk ke JAFF. Menjadi sulit bagi panitia menyeleksi karya-karya yang masuk karena slot penayangan tahun ini kian sedikit, dampak pemusatan lokasi di Empire XXI.

Sebagai bagian dari pergerakan film Asia, JAFF tahun ini juga akan memberi penghormatan dengan merayakan 100 tahun salah satu festival tertua di Asia, Bengali Cinema di India. Tiga film dari Bengali Cinema akan diputar di JAFF. Harapannya publik kita dapat sedikit mengintip bagaimana perkembangan India beserta sinemanya.

Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) ke-14 “Revival” akan diselenggarakan mulai 19-23 November 2019 bertempat di Empire XXI. JAFF kali ini akan menampilkan 107 film dari 23 negara hasil seleksi. Beberapa film yang menarik dan sayang untuk dilewatkan di antaranya Abracadabra sutradara Faozan Rizal yang akan menjadi film pembuka festival. Lalu ada Motel Acacia, sebuah film dari Filipina, sekaligus yang akan menjadi film penutup. Ada juga The Science of Fiction karya sutradara Yosep Anggi Noen yang beberapa waktu lalu meraih penghargaan di Festival Film Locarno. Kemudian dari filmmaker Palu, Yusuf Radjamuda dengan filmnya Mountain Song yang beberapa waktu lalu mendapat penghargaan di Shanghai International Film Festival. Ada pula film yang turut berkompetisi di Busan tahun ini Tak Ada yang Gila di Kota Ini karya sutradara muda Wregas Bhanuteja. Serta masih banyak lagi film kompetisi maupun nonkompetisi yang tak kalah menarik untuk ditonton. Untuk daftar film selengkapnya dapat dilihat di situs resmi jaff.filmfest.org.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top