Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) didukung oleh Badan Perfilman Indonesia (BPI) kembali menggelar Akatara 2019. Sebuah pergelaran akbar tempat bertemunya para investor dan pekerja kreatif, khususnya di bidang perfilman. Di tahun ketiganya ini, Akatara hadir lebih besar ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Hal itu dapat dilihat dari rangkaian programnya yang bertambah dan antusias peminatnya. Bertempat di Hotel Sultan, Jakarta, Akatara 2019 digelar selama tiga hari, 19-21 September 2019.
Kian Besar, Kian Semarak
Akatara yang awalnya merupakan Indonesian Film and Financing Forum, kini berkembang menjadi Film Market and Business Forum. Sekilas tentang perkembangan Akatara, di tahun pertama diselenggarakan pada 2017, Akatara hanya menerima proposal produksi film. Pada tahun keduanya, Akatara mulai menerima proposal nonproduksi film. Hingga di tahun ketiganya ini Akatara melebarkan jangkauannya, tidak hanya berkutat pada film, namun juga gim, animasi, dan sejumlah program berkaitan dengan Intellectual Property (IP). Apalagi setelah Bekraf berhasil mengeluarkan subsektor film dari Daftar Negatif Investasi pada akhir 2015. BPS mencatat subsektor film, animasi, dan video mengalami pertumbuhan hingga 10,09%.
Dapat dilihat Akatara ingin coba menjadi, bukan sekadar forum pendanaan, namun juga “pasar” yang menampung berbagai kepentingan kreatif dan bisnis. Dari sisi peminat, apabila tahun sebelumnya Akatara menerima 343 proposal, di tahun ini tak kurang 500 proposal telah masuk ke meja panitia. Sebanyak 61 proyek dari 122 orang terfasilitasi dalam Akatara 2019. Dan 20 di antaranya berkesempatan mempresentasikan proyeknya di panggung utama di hadapan investor nasional maupun internasional. Setidaknya ada 40 sumber pendanaan yang hadir selama sesi pitching dan speed dating di Akatara tahun ini.
“Setiap tahun Akatara memperoleh respons positif dari pemangku kepentingan perfilman, khususnya investor. Kami yakin ke depannya, kegiatan ini akan memberikan peran strategis bagi iklim perfilman nasional melalui perputaran investasi yang terjadi. Investasi yang mungkin tidak terwujud dalam waktu dekat, tetapi untuk jangka panjang.” ungkap Triawan Munaf selaku Kepala Bekraf dalam siaran pers.
Ramai-Ramai Kembangkan Intellectual Property
Satu hal yang menarik perhatian di Akatara tahun ini adalah cukup diberinya ruang pada bahasan IP. Beberapa tahun belakangan, memang marak diperbincangkan mengenai IP. Baik rumah produksi, perusahaan kreatif, hingga para pelakunya ramai membahasnya. Definisi Intellectual Property (IP) dikutip dari laman Wolrd Intellectual Property Organization mengacu pada kreasi pikiran, seperti penemuan karya sastra/artistik, desain/simbol, nama, dan gambar yang digunakan dengan tujuan perdagangan. Salah satunya yang terbaru dan hangat dibicarakan adalah saat diumumkannya Jagat Sinema Bumilangit. Sebuah universe yang akan menampung jagoan-jagoan lokal Indonesia. Dari situ mulai ramai bermunculan varian produk Jagat Sinema Bumilangit, mulai dari komik, gim, desain, dll. Ketertarikan mengembangkan sebuah karya menjadi IP salah satunya karena mulai muncul kesadaran adanya potensi pasar yang besar di Indonesia. Melihat potensi itu, Akatara tahun ini pun tak mau ketinggalan. Sejumlah forum dibuat khusus membahas IP. Misalnya diskusi bertajuk “The Rise of Indonesian Creative IP”, membahas seputar perkembangan IP di Indonesia dan tantangannya ke depan. Ada juga “From Book to Screen”, forum bagi penulis dan pekerja film. Semua dilakukan untuk mempertemukan antarbidang kreatif agar terjalin kerja sama yang berkesinambungan.
“Kalau ngomong ekosistem ekonomi kreatif kita bicara intagible asset dan juga melekat IP (Intellectual Property). Kita pernah dengar pembelian Wolverine dari Fox oleh Walt Disney, itukan besarnya luar biasa. Itu menunjukkan IP bisa di-monetize. Kalau saya bikin kreasi, ide, atau suatu service, yang nantinya kita pegang adalah IP-nya. Misalnya film, biasanya orang hanya berpikir film itu cuma mengirimin ke bioskop, tapi sebenarnya seperti kaus atau produk-produk consumer lain bisa jadi turunan IP tadi. Dan itu tidak ada matinya. Kalau film mungkin seminggu dua minggu tayang di bioskop, setelah itu hilang. Kalau kita cuma mengharapkan dari bioskop, kalau filmnya laku its oke. Tapi kalau tidak laku? Kreator dapat duit dari mana? Itu yang kita dorong. Jadi orang film tidak hanya mengharapkan jumlah penonton sebagai revenue tapi bisa dari IP.” Ujar Syaifullah selaku Direktur Akses Nonperbankan Bekraf.
Bukan Sekadar Bertemu
Di tahun ketiganya digelar, Akatara mulai menjadi agenda tahunan bagi para kreator, khususnya pegiat film untuk bertemu. Mulai dari pemula hingga profesional, berkumpul, bertukar pikiran, dan mencari celah kerja sama. “Kita sudah sangat bersyukur masuk di Akatara, setidaknya kita bisa mengenalkan sedikit lebih luas bahwa di Cilacap, atau di Sanganparan ini ada kegiatan (kreatif) yang masih berjalan. Walaupun nanti kita belum bisa mendapat investasi, yang penting kita bisa membuka akses-akses itu.” Ujar Muslihan, peserta dengan proyek Rumah Belajar Sangkanparan.
Hal senada pun disampaikan salah satu peserta dari kategori produksi film. Anna Adjam, selaku produser “Senandung Senyap”, satu-satunya film dokumenter pendek yang tembus di Akatara 2019. “Setelah tahun ini saya terpilih, menurut saya ini (Akatara) seperti sekolah sih. Jadi mulai dari hari pertama dibekali, saya merasa ilmu yang sudah ada atau materi project yang sudah ada itu benar-benar bisa diasah, dikembangkan lagi.”
Di kesempatan berbeda, kami mewawancarai Yosep Anggi Noen, sutradara yang film-filmnya pernah mendapat dukungan dari sejumlah festival dan lembaga, tentang apa perbedaan Akatara ini dengan inisiatif sejenis di luar negeri. “Kurang lebih sama, ada banyak stakeholder yang datang. Perbedaannya mungkin hanya soal exsposure internasionalnya saja. Mungkin suatu saat Akatara juga akan punya kekuatan untuk menarik stakeholder film dari luar. Secara umum sama, hanya memang banyak modelnya kan. Ada model pitching seperti ini, ada yang pertemuan di meja-meja, one on one session”.
Akatara dan Pembangunan Industri Kreatif
Bukan hanya bertemu dan menjalin kerja sama, Akatara tahun ini juga mencatatkan sejumlah forum menarik guna menguatkan ekosistem kreatif Indonesia. Bekraf, bekerja sama dengan Lembaga Sertifikasi Perfilman (LSP) Kreator Film dan Televisi mengadakan sertifikasi profesi pekerja film. Para peserta baik dari Jakarta, maupun dari luar, ramai datang untuk melakukan uji kompetensi. Terdapat empat pilihan skema dalam uji sertifikasi ini yaitu tata artistik film, tata kamera film, tata suara film, dan editing film.
Baca juga: Para Penerima Dukungan di Akatara 2019
“Ketika kita ketemu orang film, mereka bertanya, ‘Kapan sih ada sertifikasi?’. Pertanyaan saya, kenapa? Ternyata ketika mereka ada proyek dari luar negeri datang ke Indonesia untuk membuat film dan butuh bantuan dari teman-teman film. Nah, yang pertama ditanya itu sertifikat. Ketika mereka (orang film kita) tidak bisa menunjukkan sertifikat, ya perlakuan mereka (orang film luar) akan berbeda. Termasuk berpengaruh juga pada sallary-nya. Di situlah kami ingin membantu agar kompetensi mereka diakui, termasuk di luar negeri”. Terang Budi Triwinanta selaku Kepala Subdirektorat Standardisasi dan Sertifikasi Bekraf.
Hal senada pun disampaikan oleh Yulia Evina Bhara dalam diskusi bertajuk “Open Doors Locarno International Film Festival”. Menurut pengalaman Yulia memproduseri sejumlah film untuk mendapatkan pendanaan dari lembaga luar, pengakuan pemerintah dalam berbagai bentuk sangat diperlukan. Secara tidak langsung hal tersebut juga meningkatkan rasa percaya diri pekerja film di hadapan pihak pendukung/pendonor.
Terkait dengan tingkat kepercayaan produser atau investor luar terhadap perfilman Indonesia pun sedikit dapat diilustrasikan dalam diskusi bertajuk “Pemandangan Umum Industri Film Indonesia”. Sheila Timothy sebagai salah satu pembicara, membagikan pengalamannya saat proses penggarapan Wiro Sableng. “Ketika kita melakukan co-production dengan 21st Century Fox, dengan kedewasaan market mereka, mereka minta data. Ketika kita bilang Wiro Sableng film genre fantastic action, mereka minta data film similiar genre yang pernah diproduksi di Indonesia”. Dalam pernyataannya, Seila menekankan bahwa betapa pentingnya pendataan dalam perfilman Indonesia. Dengan begitu, keputusan-keputusan strategis pun akan lebih mudah diambil produser dan pihak investor.
Selama tiga hari digelar, Akatara 2019 meninggalkan banyak kesan baik bagi peserta maupun pengunjungnya. Meski demikian, sejumlah pekerjaan rumah masih menanti. Sejumlah inisiataif yang telah dimulai, sedianya tetap dilanjutkan di tahun-tahun selanjutnya. Setidaknya, untuk tahun ini kita bisa sedikit berbahagia karena Pak Budi Triwinanta selaku Kepala Subdirektorat Standardisasi dan Sertifikasi Bekraf memberi sinyal positif untuk Akatara selanjutnya. Bekraf akan berusaha memperluas lagi cakupan bidang Akatara. “Tahun depan insyallah dengan melihat tren begini, bukan lagi Indonesia Film Market and Busniess Forum tapi Indonesia Contens Market and Business Forum.”