Organisasi Boemboe tahun ini kembali mengadakan Boemboe Forum, sebuah pemutaran yang sekaligus jadi ajang bertemunya para pembuat film untuk saling merespons karya. Namun yang spesial kali ini, Boemboe Forum digelar (31/10) dalam format daring (online) akibat pandemi Covid-19. Total ada tujuh film yang dibawa Boemboe Forum, yaitu Suburbia (2019), Kasat Mata (2020), Sunny Side of The Street (2019), When You Lost and Lose (2019), Peramal Kode Buntut (2019), Cornelias (2020), dan Back up! (2020).
Dunia Lain dan Racun
Pada sesi pertama, film yang diputar adalah Suburbia dari sutradara Winnie Benjamin. Film ini berkisah tentang negara yang mengatur urusan personal warganya, bahkan sampai urusan jodoh. Sepanjang film penonton disuguhkan kekalutan sepasang remaja yang saling mencintai tapi terbentur aturan. Karena tak main-main, semesta film ini menggambarkan orang yang melanggar akan dipenjara dan dirisak.
“Inspirasinya dari masa SMA. Hidupku bosan banget, gak banyak hiburan. Ngelakuin hal-hal membosankan, nongkrong di mobil, sepedaan. Pengen bikin film yang manislah. Soal masa-masa SMA. Sekalian curhat. Haha” terang Winnie soal inspirasi filmnya.
Meski tidak ramai menggunakan efek khusus atau tata artistik yang “wah”, film ini cukup berhasil mengesankan “dunia lain.”
Lalu film kedua ada Kasat Mata dari sutradara Sari Pololessy. Film dokumenter animasi ini bercerita tentang pencemaran di laut Timor oleh ledakan anjungan minyak Montara pada 2009. Film ini menyoroti penderitaan warga yang lautnya tercemar, bahkan beracun.
“Selang 10 tahun setelah kejadian, ternyata banyak orang tidak tahu kasus ini. Padahal kasus ini sangat merugikan, 12.000 orang kehilang pekerjaaan. Seperti para nelayan dan petani rumput laut. Menurutku ini penting banget, makanya aku membawakannya ke dokumenter animasi” ujar Sari ketika ditanya alasannya mengangkat masalah ini.
Melihat Masa Lalu
Pada sesi kedua, film pertama yang ditayangkan adalah Sunny Side of The Street dari sutradara Andrew Kose. Film yang mengangkat latar waktu Mei 98 ini, berkisah tentang kerusuhan dan penjarahan yang terjadi di Jakarta. Salah satu yang menjadi korban adalah warga Tionghoa, termasuk orang tua Kose. Ya, film ini berdasarkan kisah ibu sang sutradara. Sepanjang film penonton diajak mengikuti “ibu Kose” yang ketakutan dan mencari perlindungan.
“Kejadiannya sudah lebih dari 20 tahun, tapi aku merasa ingin memproduksi film ini karena perlu ada perspektif lain, untuk refleksi. Mungkin film ini lebih sering diputar di festival, tapi aku pikir tetap perlu ada representasi dari suara minoritas” ungkap Kose.
Baca juga: Festival Film Daring, Gaya Baru Merayakan Sinema di Tengah Pandemi
Film selanjutnya adalah When You Lost and Lose dari sutradara Daniel Victory. Film ini mencoba menggambarkan perasaan seorang ibu yang kehilangan anaknya karena menjadi korban pelanggaran HAM.
“Sebenarnya saya tidak berkaitan dan mengalami langsung kejadian ini. Tapi menurutku ini penting diproduksi. Film ini sekaligus sebagai partisipasi dan support saya kepada keluarga korban yang mengalami pelanggaran HAM” ungkap Daniel.
Rencanaya film ini akan dibawa berkeliling, bekerja sama dengan Kontras. Namun karena pandemi, pemutaran itu pun ditunda.
Film terakhir di sesi kedua adalah Peramal Kode Buntut dari sutradara Stefanus Cancan. Film yang mengambil latar waktu tahun 1980-an ini, berkisah tentang masyarakat Jawa Tengah pedesaan yang kala itu mayoritas belum bisa membaca. Namun di saat bersamaan, banyak warga yang gemar bermain togel. Kisah yang diangkat dari novel Maman Suherman ini merupakan bagian dari tugas kuliah sang sutradara di ISI Yogyakarta.
“Waktu kecil aku sering ditanya mimpi. Bahkan pernah sekonyol ditanya dapat nilai berapa di sekolah. Baru aku tahu ternyata itu untuk togel. Jadi aku relate dengan cerita ini. Hahaha” terang Cancan.
Perjuangan dan Masa Kritis
Sesi ketiga diawali film Cornelias dari sutradara Stephanie Cornelia. Film dokumenter pendek ini mengisahkan keluarga sang sutradara sendiri bersama saudari-saudarinya yang begitu mencintai balet. Film ini memperlihatkan betapa menjadi seorang balerina tidaklah mudah. Namun tak sampai di situ, Stephanie memasukkan unsur kekeluargaan dalam film ini. Seperti bagaimana mereka menilai dan saling menyemangati satu sama lain.
“Kesulitannya sih, menempatkan antara aku sebagai filmmaker atau sebagai anggota keluarga ya. Seperti di adegan adekku menangis itu, aku bingung antara terus merekam atau memeluk dia. Sama paling, memilih footage mana yang perlu dimasukkan karena ada yang cukup personal” ujar Stephanie menerangkan kesulitannya selama proses produksi.
Film terakhir di sesi ketiga, sekaligus sebagai penutup Boemboe Forum tahun ini adalah film Back up! dari sutradara Wawan I Wibowo. Film dokudrama ini berisi kisah-kisah para editor yang pernah mengalami masalah yang amat dikutuk oleh semua pembuat film, file hilang.
“Film ini idenya dari teman-teman di Inafed. Saking dekatnya, kita sering berbagi cerita pribadi. Apalagi untuk editor-editor dulu, masalah seperti ini sangat berpengaruh pada karier mereka. Jadi ketakutan mereka, imajinasi mereka, aku visualisasikan” ungkap Wawan.
Meski banyak dibalut komedi, film ini mampu memberi kengeriannya sendiri. Terutama bagi siapa pun yang pernah merasakan membuat film. Pesan penting film ini adalah “Back up, back up, back up!”