Berita

Buruh Perempuan Semarang Nobar Film “Silenced Workers”

Pada Kamis, 6 September 2023, LBH Semarang menyelenggarakan nobar Silenced Workers, sebuah film yang memuat dua cerita kekerasan di industri film dan garment. Kedua cerita yang disutradarai oleh Ani Ema dan Dian Septi Trisnanti ini menceritakan tentang kekerasan di balik gemerlap industri film dan kekerasan ekonomi di sektor garmen. 

Pasca nobar, Dian Septi Trisnanti mengungkapkan alasan dibalik pembuatan film dokumenter Silenced Workers yang menyandingkan dua cerita kekerasan di dua industri yang berbeda. Kekerasan di dunia kerja yang mencakup baik di sektor formal maupun di sektor informal, freelance seperti industri film penting untuk dipaparkan supaya kelas pekerja memahami bahwa kekerasan itu terjadi di semua lapisan pekerja. Dengan demikian, penting bagi kelas pekerja untuk mendefinisikan dirinya kembali di tengah sistem ekonomi yang berlaku telah membagi kelas pekerja ke dalam ragam jenis pekerjaan, dengan banyak lapis pekerjaan, yang makin fleksibel dan individualis. Akibatnya, setiap pekerja tidak menyadari dirinya sebagai satu kesatuan kelas pekerja. 

Baca juga: Dua Film Tentang Buruh Menangkan Viddsee Juree 2019

Sementara, terkait proses kreatif film Silenced Workers, terutama cerita ke dua yang memaparkan seorang buruh perempuan bernama Yuli, Dian menyampaikan menariknya karakter Yuli  untuk diangkat. Meski Yuli dihimpit banyak persoalan dan mudah menangis setiap intimidasi dari atasan mendera, ia tak pernah goyah untuk menolak membayar pungutan liar. Menangis, bukan melambangkan titik lemah, karena sesungguhnya kekuatan itu terletak pada tindakannya, yaitu menolak diperas melalui pungutan liar. Dalam konteks ini, pungutan liar merupakan bagian kekerasan ekonomi seperti yang didefinisikan dalam Konvensi ILO 190. 

Jinawi Rana Putri, seorang jurnalis media cetak ternama membenarkan pernyataan Dian Septi tentang kekerasan di dunia kerja. Sebagai jurnalis, apalagi perempuan, sangat rentan mengalami kekerasan, terlebih dunia jurnalistik masih sangat maskulin. “Saya bahkan pernah ditawar oleh seorang paspamres ketika meliput kegiatan presiden. Itu saya sedang bekerja melakukan liputan” 

Kondisi kerja di media juga sangat memprihatinkan karena sering tak kenal waktu dan harus standby demi mengejar berita. Namun demikian, ritme kerja di industri media jauh lebih tertata dibanding di industri perfilman yang selain fleksibel, namun juga tanpa aturan kerja yang jelas, dengan jam kerja yang tak beraturan. Sebagai orang yang pernah bekerja di industri film, perempuan yang akrab dipanggil Jeje ini menuturkan ia dan rekan – rekannya bisa berhari – hari standby di lokasi syuting dan tidur seadanya. Semua itu dilakukan atas nama passion, namun hati Jeje terasa hampa dan tidak lagi merasai passion tersebut. 

“Kalau saya, di Garment, juga mengalami sejenis pungutan liar” Tambah IIp Novita Sari. Ia menceritakan bagaimana atasannya sering berutang kepada anak buahnya dan tidak pernah membayar. Sementara, banyak teman – temannya sulit menolak karena takut mendapat intimidasi atau diputus kontrak. “Berserikat memang mudah, 10 orang bisa membentuk serikat pekerja, tapi tantangan untuk mempertahankan dan menambah anggota itu besar sekali. Sulit, padahal saya sudah sering mengajak buruh perempuan supaya mau terlibat” Jelas perempuan pengurus Serikat Pekerja di tingkat perusahaan yang berafiliasi dengan Garteks KSBSI (Garment Tekstil – Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) 

Di akhir diskusi, Tuti Wijaya, dari LBH Semarang, selaku moderator menggarisbawahi pentingnya semua pekerja berserikat. Terlebih bagi buruh perempuan, penting untuk membangun aliansi atau persatuan antara buruh perempuan sebagai ajang saling dukung sebagai support system. Dengan demikian, buruh perempuan tidak akan merasa sendiri dan gerak koletif buruh perempuan bisa terwujud. 

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top