Uncategorized

Catatan Pasca Pemutaran Lokasinema #2: Was-Was-An Transgender dalam Media dan Realita

Cuaca Kota Bandung yang dingin dengan gerimis kecil turut meramaikan malam pemutaran film dokumenter Bulu Mata pada program Lokasinema #2: Was-Was-An Transgender dalam Media dan Realita pada Rabu (21/2) di Lo.Ka.Si, Bandung. Di depan ruang pemutaran tampak para penonton sedang menunggu pemutaran dimulai. Selang beberapa saat, para penonton masuk dan film dokumenter yang berdurasi 60 menit ini pun diputar.

Menonton kehidupan para transgender dari dekat jadi hal yang menarik bagi para penonton yang jauh dari kehidupan tersebut.Film dokumenter Bulu Mata karya Tonny Trimarsanto ini menampilkan cerita para transgender mulai dari kesulitan membuat KTP hingga selama sembilan tahun mereka tak punya kartu identitas, dicegat Wilayatul Hisbah alias polisi syariah karena pakaian yang tidak sesuai dengan syariat Islam, hingga sikap orang tua yang menerima pilihan anaknya “mengingkari kodrat”. Terlebih latar film dokumenter ini berada di Aceh, daerah islami lengkap dengan peraturan daerah Qanun Jinayah yang menambah pelikcerita para transgender.

Setelah film selesai, acara dilanjutkan dengan diskusi yang dipandu Iyus, panggilan Yustinus Kristianto dengan beberapa narasumber lain seperti Esa Hari Akbar (sineas dokumenter) dan Teguh (SuaraKita) yang ikut terlibat dalam pembuatan Bulu Mata. Para penonton tampak antusias mengikuti diskusi setelah pemutaran. Terbukti dengan tidak ada seorang pun yang meninggalkan ruang pemutaran saat diskusi.

Bulu Mata merupakan karya ketiga Tonny Trimarsanto yang sebelumnya juga mengangkat isu transgender dalam karyanyaRenita, Renita dan The Mangoes. Apresiasi patut diberikan kepada Tonny atas usahanya beradapatasi dengan para subjek yang bebeda dengannya. Setelah masuk ke lingkungan subjek pun, Tonny mampu menggali informasi dari subjeknya tersebut. Dalam pembuatan film dokumenter Bulu Mata, Tonny melakukan pendekatan tempati terhadap kelompok transgender, hingga dianggap sebagai sahabat yang dapat dipercaya untuk berbagi cerita dan kehidupannya yang sangat pribadi.[1]

Esa mengawali diskusi dengan bahasan mengenai bagaimana film dokumenter biasanya mengambil isu-isu sensitif dan mengolah fakta-fakta yang ada sedemikian rupa menjadi cerita naratif agar penonton dapat menerimanya dengan baik. Hal ini jadi lebih menarik ketika seorang penonton mengungkapkan opininya bahwa ia tidak mendapatkan sisi emosi dalam film ini. Teguh sebagai perwakilan dari pembuat film memberikan pernyataan bahwa tersajinya fakta dan informasi menjadi proritas utama dalam Bulu Mata.

Bulu Mata memang hadir dengan keadaan apa adanya. Potongan gambar mengenai keseharian para transgender datang silih berganti begitu saja, seakan tak ada permasalahan yang perlu diselesaikan. Seperti pada adegan pembuka saat kita mengikuti dua orang transgender berbelanja di pasar. Sepanjang jalan,banyak orang yang menggoda, meledek bahkan menghina mereka. Namun Jihan dan temannya melewatinya sambil lalu. Cerita terus bergulir, mulai dari keseharian di salon mereka yang khusus dikelola oleh para transgender, merias pengantin di sebuah desa, dan pergi melintasi kota dengan bus malam demi menghadiri acara fashion show para transgender.

Selain diisi dengankegiatan-kegiatan tokoh di lingkungannya, Bulu Mata juga menghadirkan reaksi lingkungan sosial terhadap para transgender. Mulai dari ancaman seorang kakak secara fisik terhadap adiknya yang transgender, ibu yang masih selalu berharap anaknya kembali ke jalan yang benar, atau polisi syariah yang menawarkan dua pilihan tegas: menjadi wanita atau pria. Sebuah penawaran yang dianggap bukanlah sikap toleransi, melainkan bentuk lain dari opresi.

Hukum Qanun Jinayat yang diresmikan pada tahun 2014 oleh DPR dan berlaku setahun kemudian, menjadi awal mula terbentuknya proyek Bulu Mata. Sebuah keinginan untuk melihat respon dari para transgender terhadap pasal hukum yang berpotensi mengkriminalkan golongan LGBT. Seiring berjalannya pembuatan film, muncul dimensi-dimensi humanis yang dirasa perlu diketahui oleh kalangan umum bahkan oleh para transgender lain tentang kehidupan mereka.

Di penghujung diskusi muncul obrolan tentang sebuah kebutuhan bagi masyarakat untuk menentukan sikap mengenai isu transgender atau LGBT secara lebih luas. Seorang penonton yang sering membantu orang-orang yang terkena HIV menyatakan bahwa posisi pro atau kontra tidak lebih bermanfaat daripada langsung membantu para individu yang terdampak tersebut.Meski muncul juga pendapat bahwa memilih satu sikap adalah sesuatu yang tak bisa dielakkan. Sang sutradara sendiri mempunyai pernyataan, “Mereka itu manusia, ciptaan Tuhan, selayaknya diakui. Di film ini, saya tak bisa bersikap abu-abu, saya berada di pihak yang mendukung hak mereka untuk hidup tanpa diskriminasi.”[2]

 Tulisan ini juga dimuat di laman Bahasinema (http://bahasinema.com/catatan-pasca-pemutaran-lokasinema-2-was-was-an-transgender-dalam-media-dan-realita/)

[1]https://www.rappler.com/indonesia/ayo-indonesia/183294-tonny-trimarsanto-sutradara-dokumenter-transgender

[2]https://www.rappler.com/indonesia/ayo-indonesia/166549-film-bulu-mata-transgender-aceh

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top