Programa

Cinema Conclave: Urbanisasi dan Perasaan Mereka yang Ditinggalkan

Dengan panjang lintang dan banyak pulau yang ada di dalamnya, pemerataan pembangunan masih merupakan pekerjaan rumah besar bagi pemerintahan. Kota besar masih merupakan surga yang seolah menjadi satu-satunya tempat untuk mencari nafkah, sedangkan desa atau kota yang jauh dari pusat pemerintahan seolah menjadi tempat yang harus ditinggalkan kalau tidak mau terjebak di situ saja.

Neng Kene Aku Ngenteni Koe, Hectic, Semalam Anak Kita Pulang, dan Natalan. Keempat film yang ditampilkan dalam program Cinema Conclave 6 September 2016 mengambil tema urbanisasi dari sudut pandang mereka yang ditinggalkan. Lebih tepatnya, keempat film memfilmkan bagaimana perasaan mereka yang ditinggalkan.

Neng Aku Ngenteni Koe karya Jeihan Angga menceritakan seorang pemuda dengan dedikasinya mengantarkan kekasihnya yang ingin mengadu nasib di ibukota, pergi ke stasiun. Rangkaian interaksi dua insan tersebut menunjukan bagaimana gadis yang ia antar melihat kota dan kita sedikit banyak dapat menelisik masa depan hubungan mereka.

Sementara Semalam Anak Kita Pulang karya Adi Marsono menceritakan rasa kangen yang teramat sangat seorang ibu yang sudah tua. Anaknya berpindah ke kota mencari uang yang cukup agar rumah mereka bisa direnovasi seperti mbok tetangga sebelah.

Menarik sedikit ke tahun-tahun sebelumnya ada Hectic karya Abdul Razzaq. Sesuai judulnya, Hectic bercerita mengenai seorang pemuda dan kepenatannya. Dalam kondisi tersebut, ingatan-ingatan masa lalunya muncul.

Keempat, Natalan karya Sidartha Tata menceritakan tradisi pulang kampung saat hari raya Natal. Sepasang suami istri melalui jalan darat dengan mobil pulang ke rumah sementara ada seorang ibu yang menantikan kedatangan anaknya dengan persiapan semaksimal mungkin.

Secara langsung atau tidak langsung, keempat film memperlihatkan kota besar sebagai kiblat, bahkan dalam Hectic, salah satu scene secara tidak langsung memperlihatkan bahwa mereka yang meninggalkan kota hidupnya lebih maju. Dalam Natalan, kita melihat dua insan yang tinggal di kota, padahal keluarga besar keduanya sama-sama hidup jauh dari ibukota: kampung hanya menjadi tempat singgah saat hari-hari penting; tempatnya yang sudah berumur.

Bagaimana Perasaan Kehilangan Ditampilkan

Dalam keempat film dapat terlihat bagaimana mereka, karakter dalam film, yang tulus menyayangi, memperlihatkan perasaannya saat ditinggalkan. Bagi seorang kekasih, jelas ia mengalami kehilangan dan memikirkan nasib hubungan mereka -apalagi terlihat ada ancang-ancang sang gadis bersiap memutuskan hubungan. Bagi pemuda yang penat dengan kesehariannya yang begitu-begitu saja, ia kemudian berjalan kesana kemari tidak keruan sambil memikirkan masa muda yang tanpa beban bersama sahabat. Bagi seorang ibu pikun kemudian ia senantiasa berkhayal anaknya yang pergi mencari rizki telah pulang. Beda lagi kemudian bagi seorang ibu yang telah kangen namun ternyata hanya menjadi pilihan kedua.

Perasaan kehilangan tersebut diceritakan dengan caranya masing-masing oleh tiap pembuat film. Dalam Neng Kene Aku Ngenteni Koe dapat terlihat bagaimana kehilangan sang pria ditunjukan dengan baik oleh rangkaian reaksi yang ditunjukan karakter utama ditopang dengan akting pemeran utama. Beda lagi dengan Hectic, perasaan kehilangan tersebut dimunculkan dalam bentuk kilas baik, pendekatan tanpa dialog dan shot yang menunjukan kesunyian dan penggunaan kilas balik. Dalam Semalam Anak Kita Pulang menampilkan perasaan tersebut menjadi intisari film: bisa dibilang merupakan keseluruhan dari film dengan cara yang terbilang canggih dalam pembangunan suasana sepanjang film baik dalam tata suara, gambar dan akting. Dalam Natalan, kita tidak melihat langsung bagaimana perasaan sang ibu saat dulu berpisah dengan anaknya, namun dari bagaimana ia mempersiapkan diri, dapat diterka sendiri bagaimana arti pertemuan dan perpisahan bagi si ibu.

Film Pendek Indonesia Kini

Selain kesamaan-kesamaan yang dibacakan di atas, raihan dan bagaimana filem-filem ini tersebar di layar-layar yang dibangun komunitas atau pun festival film dalam beberapa tahun ini menjadi benang merah lain. Neng Kene Aku Ngenteni Koe, Semalam Anak Kita Pulang dan Natalan sejak tahun lalu ramai di berbagai festival dan program kuratorial. Begitupun Hectic yang sempat mendapat penghargaan sutradara terbaik dalam UI Film Festival dan sering muncul dalam pemutaran layar-layar komunitas.

Festival jelas bukan segalanya, namun festival bisa menjadi parameter bagaimana standar perfilman suatu negara, belum lagi soal bagaimana distribusi di negara tersebut. Bagi mereka yang kerap menyambangi layar alternatif, film-film ini bisa jadi telah akrab ditonton. Pun begitu tetap sesuatu yang penting menyajikan film-film ini dalam sebuah konteks.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top