Setelah Sembilan hari diselenggarakan terhitung sejak malam pembuka 24 Agustus 2024, Jakarta International Documentary Experimental Film Festival (Arkipel) Garden of Earthly Delights selesai diselenggarakan. Kembali bertempat di Forum Lenteng (1 September 2024), malam penutupan Arkipel kembali terasa intim dengan penyelenggaraannya yang ketiga di markas organisasi tersebut.
Baca juga: ARKIPEL Catch-22: Aturan-Aturan dan Melangkah ke Depan
Memberikan sambutan, Hafiz Rancajale yang pada tahun ini tidak lagi menjabat sebagai direktur artistik festival mengingatkan bahwa di situasi sekitar yang genting saat ini, ada hal yang lebih penting ketimbang film, yaitu bagaimana kita semua harus peka terhadap lingkungan sekitar. Penulis yang tertarik mengenai hal ini dan meminta pernyataan lebih lanjut kepada Hafiz dan ia pun menjelaskan bahwa dalam kondisi saat ini di mana berbagai ornament masyarakat bergerak, bukan hal yang relevan untuk berkutat membicarakan estetika semata. Lanjut Hafiz, film saja tentu tidak cukup untuk membuat perubahan sosial, namun demikian ia menganggap bahwa film dapat menjadi pemantik untuk berpikir kritis akan apa yang terjadi saat ini.
Ali Hussein AlAdawy: Mulailah dari Subjektivitas
Ditanyai pengalamannya mengenai Arkipel, salah satu juri, Ali Hussein AlAdawy dari mesir mengaku merasa bahwa film-film Indonesia yang ia temukan tahun lalu sebagai pengunjung lebih berkesan dibanding tahun ini. Ia melihat bahwa film-film tahun ini lebih kulturil, sementara tahun lalu lebih terasa sosial politiknya. Ia menganggap bahwa hal ini ada hubungannya dengan kejelasan pemilihan film. Ditanyai mengenai preferensi dan tips bagi pembuat film, Ali melihat bahwa yang terpenting bagi pembuat film eksperimental dan documenter adalah untuk selalu mencoba mengembangkan bahasa pembuatan film pada konteks di mana mereka ingin mengangkat konteks tersebut; mereka harus tahu bahwa tiap produksi film tidak bisa dilepaskan dari sisi politis dan estetik, lalu juga untuk mencoba untuk memulai dari subjektivitas mereka sendiri.
Daftar pemenang:
Penghargaan FORUM LENTENG diberikan pada Staying Put (Nico Bunnik)
Pernyataan:
Filem ini bermain dengan konstelasi geopolitik dan lapisan sejarah yang kompleks lewat gaya carangan yang dialogis nan jenaka antara sineas kulit putih dan subjek yang beragensi. Keagensian tokoh filem dalam menarik kartografinya sendiri dan memiliki daya gubah (carangan) untuk mengkonstruksi pengetahuan dan keputusannya sendiri merupakan praktik kewargaan yang turut diperjuangkan oleh Forum Lenteng sejak berdiri.
Penghargaan JURY diberikan kepada Bleared Eyes of Blue Glass (Kyujae Park)
Film pendek tanpa suara ini bermain dengan cahaya dan pantulannya. Kelap-kelip cahaya, yang kadang mengingatkan kita pada api yang bernyala, membentuk sebuah pengalaman memfilmkan dan melihat. Secara perlahan dan akhirnya, bayangan menjadi sebuah sesuatu yang substansial. Ini adalah sebuah karya dengan kerja craftmanship yang luar biasa. Dengan cara yang sangat personal, bahasa puitis dalam film ini membangkitkan sebuah kesenangan yang baru dalam merespon teks sastra yang terkenal. Film ini menelusuri jejak tradisi sinema eksperimental, di mana ia berpegang pada semangat mengeksplorasi materi.
Penghargaan ARKIPEL diberikan kepada filem Ocean Mud Pickle (Paribartana Mohanty)
Sinema itu sendiri semacam kesaksian, meski pada awalnya sinema dimonopoli oleh individu karena temuan teknis dari alat perekam analog yang pada masa itu sangat sentralistik, dalam perkembangannya, sinema digital yang terbuka untuk akses penggunaan dan kepemilikan, juga membuka peluang terhadap kesaksian-kesaksian komunitas. Ini semacam mengembalikan pengetahuan kepada sumbernya, yakni komunitas, dan bukan monopoli dan milik individu. Dan tentu saja mengembalikan sinema. “Ocean Mud Pickle” sendiri adalah kemungkinan-kemungkinan warga, yang secara performatif melakukan konstetasi terhadap ruang-ruang kosong (horor vacue) yang selama ini didominasi oleh korpus material arsip kartography terhadap sebuah desa yang terbengkalai karena bencana. Ruang kosong tersebut seakan niscaya, dan selalu diisi dan dinarasikan dalam kontestasi tegangan antara individu dan komunitas, yang tekstual dan yang performatif, yang terdokumentasikan dan yang termemorikan, dan seterusnya, sampai kemudian ‘permukaan’ itu akan menjadi temporalitas yang terus bergerak karena masa lalu selalu terbuka untuk ditafsirkan. Sampai kemudian realitas itu sendiri sudah tidak memadai karena terus menerus bergerak dan diproduksi.