Wawancara

Cornelio Sunny dan Film Genre

Film “Death Knot” (Tali Mati) menjadi feature debut Cornelio Sunny (selanjutnya disebut Sunny) sebagai sutradara. Film ini tayang world premiere di Udine Far East Film Festival Italia 2021. Pada Juli ini, film itu juga tayang di Bucheon International Fantastic Film Festival (BIFAN).

“Death Knot” tayang untuk pertama kali di dunia (world premiere) pada ajang Udine Far East Film Festival Italia 2021, dan masuk dalam program Audience Award dan White Mulberry Award. Death Knot juga bakal tayang di Bucheon International Fantastic Film Festival (BIFAN) ke-25 pada 8-18 Juli. Di BIFAN, film itu tayang di program World Fantastic Red, dan menjadi tempat tayang perdana untuk Asia, (Asian Premiere).

Sebelumnya dikenal sebagai aktor dan produser

Sebelumnya, Sunny lebih banyak dikenal bermain di depan layar, dan memproduseri beberapa film yang diproduksi bersama studio bentukannya bersama Ismail Basbeth, Matta Cinema. Arini menjadi debutnya memproduseri ‘film komersil’ yang ketika itu diproduksi bersama Falcon Pictures. Setelah sebelumnya ia juga sudah ikut memproduksi film seperti “Another Trip to The Moon” (2014).

Ide “Death Knot” sudah ada sejak enam tahun silam. Mulanya, (Ismail) Basbeth lah yang akan menggarap film ini. Dari naskah yang ditulis Sunny. Tapi, kemudian Basbeth mengatakan suara Sunny yang terlalu dominan, membuat kursi sutradara harus diambil diri si penulis naskah.

Dalam debut penyutradaraan featurenya itu, Sunny pun juga turut memproduseri bersama Basbeth, menulis bersama Ike Klose, dan ikut bermain bersama Widika Sidmore, Morgan Oey, dan Djenar Maesa Ayu.

Minat Sunny pada film genre sebenarnya sudah sejak mula ketika ia menjadi produser. Tapi minatnya itu baru menguat ketika ia mengikuti program Producers Network di Cannes Film Festival 2019, saat Parasite menang Palme d’Or.

“Ketika itu di Cannes dengan mentor beberapa orang yang punya cukup nama untuk film genre, dari thriller, horor, hingga drama thriller. Sempat juga ngobrol dengan Jason Blum (Blumhouse Productions) saat di Busan. Bahwa film yang cukup keras dan kritis terhadap society, atau secara political, bila dikemas dengan genre, tidak ada protes. Kita bisa lihat contohnya Parasite, orang awam pun bisa menikmati,” kata Sunny, yang ketika itu saya ajak ngobrol dalam kesempatan peringatan hari film nasional IFDC (Indonesian Film Directors Club), Panjang x Lebar, akhir Maret.

Baca juga: Wawancara Fanny Chotimah

Sepulang dari Cannes, Sunny pun kemudian menggali bank naskah yang ada di Matta Cinema. Ia lalu menulis untuk Death Knot, sekaligus menyutradarainya, setelah sebelumnya proyeksinya adalah Basebth yang menggarap.

Death Knot membahas soal proses grieve manusia. Apa saja sih fase-fase ketika kehilangan itu, tetapi dikemasnya dengan horor,” kata Sunny.

“Mimpi soal film genre untukku itu terpenuhi saat pulang dari Cannes. Film genre menjadi pasar baru. Robert Eggers dengan The Witchnya (2015), atau Ari Aster dengan Hereditary dan “Midsommar”-nya. Nah, setelah nonton premiere “Parasite” dan menang di Cannes itu, seakan menjadi jawaban. Arahnya memang ke sini (film genre). Sebagai independent filmmaker, tampaknya banyak yang  pada ‘belok’ ke genre.”

Tren film genre itu juga dilihat Sunny ditangkap oleh para sineas Indonesia. Ia misalnya melihat duo Mira Lesmana-Riri Riza ketika menggarap “Paranoia”, yang bergenre thriller, setelah sebelum-sebelumnya lebih akrab dengan drama. Sunny juga main di film yang sama-sama akan berpartisipasi di BIFAN tahun ini.

Namun, shifting-nya dari produser ke sutradara juga cukup memberi tantangan. Misalnya, ia yang biasanya punya visi produser, saat menyutradarai akhirnya juga harus membatasi ‘keliaran’ demi bujet dan teknis yang terakomodasi.

Sunny juga menilai, film genre menjadi pasar yang stabil di tingkat global. Menurutnya ketakutan menjadi bahasa yang lebih universal dan bisa diterima, ketimbang misalnya komedi atau drama. 

Sense of humor orang terkadang bisa berbeda. Drama, itu bergantung pada latar belakang kultural. Tapi begitu horor, action, thriller, adrenalin,  dan ketakutan, dunia punya satu bahasa yang sama. Makanya meski dengan cerita lokal asal kemasannya adalah ketakutan, akan kemakan.”

Sunny yang tumbuh dan besar di Kanada juga lebih berorientasi pada pasar global, ketimbang pada penonton Indonesia. Sebab itu, ia memilih “Death Knot” masuk pada jalur festival sebagai pintu masuk membawa film itu di audiens internasional.

“Aku dari awal mau fokusnya memang ke audiens global. Besar di Kanada, juga turut memengaruhi taste-ku. Audiens Indonesia memang juta-jutaan. Tapi pola tutur dalam filmku juga kemudian berbeda. Jadi memang lebih fokus ke audiens global, ya itu kemudian menjadi membatasi. Tapi pada akhirnya itu pilihan.

Usai “Death Knot”, Sunny juga sudah menyiapkan feature keduanya. “Deck sudah siap, tinggal financing, skrip juga sudah kelar. Genrenya adalah action horror. Jika semua lancar, rencana syuting tahun depan.”

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top