Artikel

Gara-Gara Joko Anwar! – Catatan pemutaran dan diskusi film cult menyambut Pengabdi Setan

Pukul lima sore, hari Minggu 17 September. Muda-mudi yang rata-rata seusia anak-anak kuliahan mulai membuat antrian, atas inisiatif mereka sendiri. Antrian tersebut memanjang hingga ke halaman depan Kinosaurus menuju pintu toko buku Aksara. “Antrian kita buka jam enam, ya,” seru salah satu pengurus Kinosaurus, “dan antriannya belum tentu disini.”

Earlier today for Sundel Bolong registration. Next: Registration for Pengabdi Setan starts at 6 PM. Don’t miss out!

A post shared by Kinosaurus (@kinosaurusjakarta) on

Tapi kalimat tersebut tidak bisa memutuskan antrian. Mereka tetap berdiri disana hingga jam antrian sesungguhnya dimulai. Ada sekitar lebih dari seratus orang yang melakukan itu. Antrian pun sudah tidak karuan bentuknya. Sementara ruang pemutaran cuma bisa menampung maksimal 40 penonton. Keriuhan ditambah ketika para penonton di pemutaran film sebelumnya juga gigih ingin menonton film berikutnya. Panitia bingung dengan kondisi serunyam itu. Hingga film lawas “Pengabdi Setan” pun diputuskan dua kali pemutaran di acara khusus itu. Tapi suara-suara protes pengunjung tetap berdengung. Ini semua bukan cuma sebab pemutaran film-film klasik yang direstorasi. Ini semua gara-gara Joko Anwar!

***

Ini bukan cuma kali pertama Joko Anwar mengundang para anak muda untuk mengantri. Saya ingat beberapa tahun lalu, pasca ia merilis “Modus Anomali”. Ada acara spesial dimana ia memutar film-film pendeknya disertai dengan diskusi di Reading Room. Antrianpun berkelok melewati meja-meja hingga lemari buku. Dan pemutaranpun harus dilakukan dua kali, demi memenuhi dahaga para penggemarnya. Begitupun pada acara-acara dimana namanya dijadikan tajuk utama, baik itu workshop maupun diskusi biasa, ruangan hampir bisa dipastikan selalu penuh terisi.

“Mas, sesinya Joko Anwar sudah mulai belum, ya?” Tanya seorang anak muda suatu ketika. Dengan wajah kelelahan karena baru sampai. Saya jawab belum. Ia bilang ia jauh-jauh datang ke acara tersebut demi bisa ketemu dengan Joko Anwar.

Saya juga pernah mendengar selentingan obrolan anak-anak muda yang sedang mengobrol. Mereka bilang mereka sangat mengagumi film-film Joko Anwar. Film-filmnya tidak seperti film-film Indonesia lainnya. “Saya mau jadi sutradara seperti dia,” ungkap anak muda yang lain. Dan memang, cerita-cerita Joko Anwar tentang perjalan dan kecintaannya pada film bikin banyak orang-orang yang mendengarnya ingin juga membuat film.

***

Kembali ke Kinosaurus, tuan rumah pemutaran film-film cult Rapi Film dan pemutaran dokumenter pendek terbaru VICE yang bejudul “New Order Exploitation Cinema” yang dimaksudkan sebagai salah satu perayaan dirilisnya film terbaru Joko Anwar: remake dari “Pengabdi Setan”. Para penonton sudah bisa masuk berdesakan, menyisakan banyak calon penonton lainnya yang kecewa di luar. Selagi panitia merapikan posisi penonton yang duduk lesehan, diputarlah alunan ayat kursi yang diambil dari film klasik “Pengabdi Setan”. Ini seperti ruangan rukyah masal, pikir saya. Maghrib pun baru saja lewat. Waktu candik ala. Harus bersiap jika nanti ada yang kejang, histeris, atau teriak-teriak (hehe…).

Tapi pemutaran film yang dirilis tahun 1980 itu berjalan lancar. Ada saat-saat penonton ketakutan, tapi banyak juga yang membuat mereka tertawa karena adegan-adegan yang “dianggap lucu” pada era sekarang. Lalu tanpa membuang jeda, film dokumenter pendek VICE terbaru tentang film eksploitasi zaman orde baru diputar. Film tersebut berdurasi sekitar sepuluh menit, dengan menampilkan Joko Anwar, Imam Tantowi, Gope T. Samtani dan master artistik dan spesial efek Indonesia, El Badrun. Sementara sesi diskusi dengan Joko Anwar dilaksanakan di halaman depan Kinosaurus. Dengan demikian para pengunjung yang tidak bisa menonton dan belum pulang juga bisa menyaksikan sesi diskusi. Sang Mpu Rapi Film, Gope T. Samtani dan Sunil Samtani juga hadir di lokasi.

Pada sesi tersebut, Joko Anwar kembali menceritakan masa kecilnya bersama film, dimana ia harus menempuh perjalanan kurang lebih satu jam demi bisa menonton. Itu pun banyak yang ia cuma bisa lakukan dari lubang angin. Menonton “Pengabdi Setan” saat itu adalah pengalaman menonton yang paling asyik, ujarnya. Dimana ia sampai gemetaran dan berharap malam tidak datang. Ia amat mengagumi atmosfir film karya sutradara Sisworo Gautama Putra tersebut dan berkeinginan kuat ingin membuatnya ulang. Dengan berbagai cara dan celah yang ia coba dan teror yang ia berikan pada Rapi Film, akhirnya proyek impiannya ini jatuh juga ke tangannya.

Atmosfir. Itulah yang tetap dipertahankan oleh Joko Anwar untuk remake “Pengabdi Setan” versinya. Salah satu cara untuk melakukan itu adalah, sebelum pengambilan gambar dimulai, ia banyak berdiskusi dengan sound designer. Begitu pula dengan penggunaan spesial efek. Ia memilih cara yang organik seperti versi lawasnya. Film zaman dulu dibuat dengan usaha yang sangat tinggi, ujarnya, dengan cara organik walau tidak menggunakan keterampilan khusus, sehingga hasilnya lebih mengagumkan. Sementara hal yang pasti diubah dari versi klasiknya adalah sensibilitas. Ia tata dengan kontemporer dan disesuaikan dengan “ketakutan” penonton zaman sekarang.

Ketika ditanya, apakah versinya akan menampilkan sosok Ustadz dan porsi agama yang eksplisit. Ia cuma menjawab, sosok Ustadz tetap ada, tapi tidak seputih seperti film versi dulu. Ia berusaha membuat film ini se-universal mungkin, tidak cuma untuk status sosial atau segmen tertentu, walaupun masih ada religious tone-nya. Horor adalah genre yang paling jujur. We want to bring cinematic experience! Tegasnya.

Apa tantangannya bekerja sama dengan Joko Anwar? Sunil Samtani menjawab kalau Joko Anwar adalah orang yang all out. Dia tidak lepas tangan setelah produksi film selesai. Dia turut mengawasi hingga editing dan sebagainya. Dia juga orang yang tidak suka ada yang ribut ketika proses syuting. Pesan Sunil pada Joko Anwar pada awalnya, kualitas remake ini jangan sampai turun dari film aslinya. Tapi setelah film ini rampung, menurutnya remake ini two steps higher (than the original).

Di penghujung diskusi, Joko Anwar menegaskan kembali kalau ia tidak mencoba menjadi sutradara yang idealis atau pun yang berbeda. Ia cuma berusaha berkarya dengan jujur. Karena kalau ia berusaha menjadi orang yang berbeda, itu malah akan membuatnya menghasilkan sesuatu dengan ketidakjujuran.

Semoga tidak cuma di acara seperti ini saja penonton membludak. Semoga pas tanggal rilis nanti, gara-gara Joko Anwar film remake “Penganbdi Setan” ini laris.
Sebentar… semoga gara-gara film Indonesia orang-orang ke bioskop ramai-ramai! (Ali Satri Efendi)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top