Artikel

Diskusi Publik Piala Citra 2019: Apa itu Film Bagus?

Saya menghadiri Diskusi Publik Piala Citra 2019 yang diadakan di Kinosaurus, Jakarta tanggal 3 November 2019 dengan topik: Refleksi Film Indonesia 2018-2019. Pembicara pada acara diskusi ini adalah Adrian Jonathan Pasaribu, seorang kritikus film di Cinemapoetica.com; Ben Aryandiaz Herawan, kritikus film di Watchmen ID; dan Totot Indrarto, seorang penulis dan kritikus film yang sekarang menjabat sebagai anggota komite Festival Film Indonesia. Berikut rangkuman diskusi pada acara ini.

Totot Indrarto, anggota komite Festival Film Indonesia menjelaskan bahwa FFI sudah sejak lama ada di Indonesia sebagai kesempatan setiap setahun sekali masyarakat dapat mendiskusikan film-film baik Indonesia. Namun, akhir-akhir ini Totot merasa relevansi FFI dengan perfilman Indonesia semakin berkurang, terbukti dengan film-film yang pernah memenangkan Piala Citra, penontonnya tidak banyak. FFI sekarang berusaha hadir untuk mengurus film-film baik saja dan berusaha membuat film-film yang baik itu diterima banyak penonton. Untuk mengembalikan relevansi FFI di perfilman Indonesia adalah dengan membentuk komite. Kemudian salah satu usaha untuk memperluas penerimaan film-film baik itu, FFI juga dengan mengadakan diskusi umum dan merangkul orang-orang yang aktif membahas film di internet, termasuk media sosial. Seperti Ben Aryandiaz Herawan dari Watchmen ID dan kritikus film Adrian Jonathan Pasaribu dari Cinemapoetica.com pada acara ini.

Apa itu Film Bagus?

Menurut Ben Aryandiaz, film yang bagus dilihat dari plot, teknik, dan value. Ben sudah berusaha mempromosikan lewat Watchmen ID film yang menurutnya bagus, tetapi tidak begitu berhasil karena menurutnya selera masyarakat Indonesia belum dapat menerima film yang dianggap tabu dan berat seperti Kucumbu Tubuh Indahku dan Ave Maryam. Secara pribadi, dia menganggap Love for Sale 2 dan Bebas bagus karena memiliki kesan sentimental dan melebihi ekspektasinya.

Adrian Jonathan dan para penulis Cinema Poetica melihat film pertama-tama dari sisi yang terlihat, yaitu kontennya. Misalnya apakah editing dan sinematografinya baik dan tepat dengan gagasan film itu? Lalu melihat dari konsep apa yang tersirat dari situ dan dicari korelasi antara keduanya. Terakhir, baru dilihat konteksnya, apakah film itu menanggapi fenomena terbaru di masyarakat? Apakah film itu mampu membuka diskusi baru? Atau hanya film senang-senang saja?

Menurut Adrian, review-review yang ada sekarang belum banyak menjawab tiga hal itu: konten, konsep, dan konteks. Padahal menurutnya film dan pengalaman menonton itu selalu terkait dengan hidup kita di dunia nyata, peristiwa di masyarakat, budaya, sejarah, atau dengan film lainnya. Film yang bagus juga sangat subjektif, tergantung pada kebutuhan biologis dan ideologis setiap orang yang menontonnya. Kebutuhan biologis contohnya jika orang yang sedang lelah pulang kerja ingin menonton film yang membuatnya senang. Kebutuhan Ideologis contohnya film bertema LGBT, atau tentang perempuan akan punya bias dan dapat lebih dinikmati oleh kelompok yang direpresentasikan.

Sedangkan Totot Indrarto berpendapat beda dengan Adrian dan Ben. Ia menekankan pentingnya kritik film melihat film dari bahasa film itu bukan melulu ceritanya saja, karena menurutnya film itu lebih dari cerita saja. Bahkan penulis novel saja memiliki banyak alat untuk bertutur dan membentuk emosi pembaca seperti gaya bahasa, pemilihan kata, dan lain-lain. Film bahkan memiliki lebih banyak aspek yang dapat membentuk bahasa film, seperti editing, sinematografi, suara, akting, mise en scene, dan lain-lain. Makanya disayangkan kebanyakan film Indonesia sekarang ini sebenarnya hanya mengikuti bahasa film yang dipopulerkan oleh Hollywood bukannya menggunakan kekayaan bahasa film dengan caranya sendiri.

Totot juga melihat banyak kritik dan kajian film yang populer sekarang malah sering membahas yang tidak ada di layar, tidak memberikan masukan secara estetika sama sekali bagi para pembuat filmnya. Contohnya kebanyakan review film Joker malah membahas tentang kesehatan mental dan isu-isu lainnya. Bukan membahas yang ada dalam filmnya, seperti bagaimana cara kamera dan suara digunakan untuk menggambarkan itu. Totot juga menyayangkan beberapa reviewer film yang takut untuk terlihat subjektif dalam penilaiannya, padahal pengalaman menikmati seni, termasuk menonton film, itu memang harus subjektif.
Diskusi masih terus berlanjut tentang apa itu film yang bagus menurut mereka, tentang perfilman Indonesia saat ini, bagaimana seharusnya penonton Indonesia secara umum mendapat pengetahuan tentang film bagus, dan ditutup dengan tanya-jawab.

Saya sendiri condong lebih suka dengan gaya kritik yang disebutkan oleh Totot Indrarto: tidak melenceng dari filmnya dan membahas hal-hal lain di luar film. Itu memang kritik film yang mengkritik filmnya, membangun, dan menarik untuk dibaca para pembuat film agar dapat memperbaiki kualitas filmnya. Penting juga dibaca oleh orang secara umum untuk menambah pengetahuan tentang kualitas film dan belajar bagaimana cara menilai film yang baik, walaupun kritik seperti itu pasti kurang diminati masyarakat umum.

Baca juga: Apa Pentingnya Menghadiri Festival Film?

Namun saya juga sangat menikmati kritik yang membahas isu-isu sosial, politik, filsafat, ideologi, dan masalah lainnya menggunakan film seperti yang sering dilakukan oleh Cinema Poetica dan situs-situs lainnya. Karena benar juga kata Adrian Jonathan bahwa tidak dapat dimungkiri film itu tidak berdiri sendiri, dia juga memiliki hubungan dengan sosial, sejarah, budaya, dan banyak hal. Walaupun pada tulisan-tulisan seperti ini jika keterlaluan melencengnya, bisa terasa filmnya seperti hanya digunakan sebagai clickbait untuk membicarakan hal lain yang memang penulisnya ingin bahas. Mungkin cocok untuk pembaca yang tidak sepenuhnya tertarik untuk mengerti tentang seluk-beluk produksi perfilman tetapi suka memulai diskusi menggunakan suatu film. Mungkin seorang aktivis, orang yang peduli isu sosial, atau siapa saja.

Gaya kritik film yang disebutkan oleh Ben Aryandiaz Herawan juga pasti memiliki banyak pembaca, mungkin cocok ketika kita hanya mau melihat penilaian orang tentang film atau mencari rekomendasi film yang akan ditonton. Memang tidak perlu pembahasan yang berat dan mendalam yang membutuhkan konsentrasi lebih seperti gaya kritik yang dikatakan oleh Totot Indrarto dan Jonathan Adrian Pasaribu.

Jadi tidak semua diskusi dan perdebatan harus mencapai satu kesepakatan, pendapat tentang bagaimana kritik film ditulis itu berbeda-beda dan setiap gaya kritik memiliki pembacanya masing-masing yang tujuannya juga berbeda-beda. Malah bagus jika kita memiliki keragaman dan pilihan seperti ini.

Oh ya, nantikan pengumuman nominasi Piala Citra 2019 pada tanggal 12 November 2019 nanti!

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top