“I am the blood of the dragon. I must be strong. I must have fire in my eyes when I face them, not tears.”
― George R.R. Martin, A Storm of Swords
Selain isu tentang keyakinan dan tanah, isu lainnya yang diangkat di perhelatan ScreenDocs Expanded 2016 adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan perempuan. Sebuah program bertajuk “Strong Women” menampilkan dinamika persoalan perempuan berkaitan dengan adat istiadat, kesetaraan gender, keadilan dan kekerasan seksual. Film Mama’s Soil dan Rising from Shadows diputar di program “Strong Women 1”, sedangkan Unsilent Potato dan Memory and Hope diputar di “Strong Women 2”. Setiap program diikuti dengan diskusi yang dimoderatori oleh PWAG Indonesia dengan berbagai narasumber, baik dari filmmaker maupun aktivis.
Masalah perempuan melalui dua film dengan latar berjauhan
Mama’s Soil (Tanah Mama) pada program “Strong Women 1” bercerita tentang seorang perempuan Papua bernama Mama Halosina, seorang istri, ibu empat orang anak dan pekerja keras. Setelah suaminya menikah lagi, untuk menghidupi dirinya dan anak-anaknya ia mengandalkan ubi dan sayuran hasil kebun. Perjuangannya untuk mendapatkan dukungan malah membuatnya terkena denda adat. Sementara Rising from Shadows menunjukkan masalah Nyai Masriyah Amva setelah sepeninggalan suaminya yang seorang ulama dan pemimpin pesantren di daerah Cirebon. Sementara sistem patriarkal mengharuskan pesantren yang ia urus harus ditutup, ia mencoba membuktikan bahwa perempuan juga bisa setara dengan lelaki dalam kepemimpinan dan menjadi ulama. Dua perempuan dengan ciri fisik, latar belakang, keyakinan dan bahasa yang berbeda, tetapi memiliki persoalan posisi dan inti perjuangan yang sama.
Diskusi “Strong Women 1” dimoderatori oleh Olin Monteiro dari PWAG Indonesia dan dihadiri oleh Asrida Elisabeth (sutradara Mama’s Soil), Norhayati Kaprawi (sutradara Rising from Shadows), serta Heni Lani, seorang aktivis Papua dalam Jaringan Papua Bergerak.
Norhayati Kaprawi, seorang sutradara dokumenter asal Malaysia mengatakan, sebenarnya ia membuat dokumenter tentang delapan orang perempuan, cerita tentang Nyai Masriyah salah satunya. Film ini diproduksi selama kurang lebih satu tahun dan telah diputar di Freedom Film Festival, sebuah festival film tentang HAM serta Tokyo Docs, festival film dokumenter di Jepang. Ia bercerita, di Malaysia tidak ada orang seperti Nyai Masriyah. Perempuan yang berjuang sendiri lalu menjadi seorang ulama. Kalaupun ada, ia tidak berjuang sendiri, melainkan telah dilantik terlebih dahulu oleh kerajaan Malaysia.
Ketika ditanya apakah di Malaysia ada kelompok Islam yang keras seperti di Indonesia, Norhayati menjawab, di Malaysia pun ada. Tapi permasalahan di Indonesia adalah pemerintah yang kurang tegas, menurutnya. Di Malaysia ada kelompok “Lawyers” yang sangat aktif. Jika ada hal-hal yang berbau kekerasan, ataupun berkaitan dengan HAM langsung dibawa ke pengadilan. Jadi tidak diberikan jaringan kekerasan tersebut untuk tumbuh. Tapi di Indonesia telah banyak orang-orang agamis yang cerdas dan berpikiran terbuka. Sedangkan di Malaysia belum banyak orang-orang seperti itu, tegasnya. Namun sayang sekali, film tentang ulama perempuan pemimpin 700 santri dan 500 santriwati ini belum sempat diputar di daerah asalnya, Cirebon.
Sementara pembuatan Mama’s Soil atau Tanah Mama berawal dari Asrida Elisabeth yang membantu kegiatan sosial Pastor John Jonga di Wamena pasca ia menamatkan pendidikan S1. Sutradara dokumenter asal Manggarai, Flores ini selalu mendokumentasikan apa saja yang berkaitan dengan kehidupan warga Papua selama mengikuti sang pastor. Ia bertemu dengan Mama Halosina, sang tokoh dalam Mama’s Soil setahun sebelum pembuatan film. Awalnya ia ingin membuat dokumenter tentang dukun beranak di Papua. Tapi di tengah jalan ia mendapati Mama Halosina ini mengalami masalah yang amat berat, terang perempuan yang ide ceritanya ini terpilih di “Project Change 2013” yang diprakarsai Kalyana Shira Foundation. Suami Mama Halosina menikah lagi. Sementara anehnya hukum adat mengharuskan ia membayar denda kurang lebih satu juta rupiah atau seekor babi.
Untuk lebih jelas lagi mengetahui tentang apa yang sebenarnya terjadi di Papua, terutama bagaimana nasib perempuan-perempuan disana, beberapa aktivis asal Papua turut diundang pada program siang itu. Heni Lani, salah satu aktivis mengatakan, film seperti Mama’s Soil bisa sangat berguna sebagai pintu masuk untuk mengetahui permasalahan yang perempuan Papua hadapi. Orang-orang Papua, lanjutnya, telah mengalami berbagai penindasan, antara lain penindasan politik dan militer. Pada tahun 1962 misalnya, ketika operasi Trikora dilaksanakan. Banyak perempuan mengalami penindasan. Banyak suami-suami dibunuh lantaran stigma OPM. Ketika zaman Soeharto, juga ketika kontrak freeport dimulai, mereka mengambil tanah orang-orang Papua. Para perempuan cuma bisa jadi penonton. Ketika ada demonstrasi dama, perempuan-perempuan itu juga tak lepas dari terjangan peluru karet.
Isu Poligami di Papua
Sementara berkaitan isu poligami yang muncul di film Mama’s Soil, Heni mengungkapkan bahwa poligami ada di semua suku di Papua. Yang paling banyak terjadi di suku-suku yang hidup dengan bertani dan tinggal di pegunungan. Sementara pada suku-suku yang masih hidup meramu, poligami minim terjadi. Berdasarkan hukum adat, lanjut Heni, jika seorang suami ingin menikah lagi, ia harus meminta izin istrinya terlebih dahulu. Semua atas persetujuan istri karena istrilah yang membayar mas kawin. Ketika ditanya apakah banyak perempuan Papua yang lantas meninggalkan suaminya. Heni menanggapi bahwa ada perempuan-perempuan yang melakukan hal itu. Tapi tidak banyak karena butuh keberanian ekstra. Persoalan kebanyakan perempuan Papua bagi Heni adalah kurang adanya kepercayaan diri dan masih sangat patuh dengan hukum adat. Banyak perempuan Papua yang sekolah tinggi, bahkan sampai ke luar negeri. Tapi begitu pulang, mereka juga tidak punya keberanian untuk mengubah. “Saya tidak yakin pendidikan tinggi bisa mengubah,” ujar Heni pesimis.
Dari sedikitnya perempuan-perempuan Papua yang berani meninggalkan suami atas perlakuan yang mereka alami, bagi Asrida itu bisa merupakan bentuk protes dan kritik terhadap hukum adat. Berlainan pendapat dengan Heni, Asrida sebagai perempuan yang bukan berasal dari Papua melihat perempuan-perempuan Papua merupakan perempuan-perempuan yang paling berani. Ia memberikan contoh mengenai sebuah kecelakaan yang pernah terjadi di suatu daerah disana dan merugikan seorang perempuan Papua. Maka Mama-Mama Papua yang lain, meskipun mereka sibuk di pasar, mereka tetap membantu teman mereka tersebut. Memperjuangkan kasus tersebut dengan gigih di pengadilan.
Diskusi siang itu berlangsung khidmat. Dua cerita menarik dari dua daerah nusantara yang amat berbeda tentang dua perempuan yang sama-sama kuat. Norhayati memberikan sedikit bocoran tentang film dokumenter yang ia sedang buat selanjutnya. Film tersebut akan berkaitan tentang seorang perempuan Hindu yang suaminya masuk Islam. Proses pengambilan gambar masih berlangsung sampai ketika diskusi ini dilaksanakan. Sama halnya juga dengan Asrida. Ia pun sedang mempersiapkan proyek dokumenter selanjutnya. Tapi ia belum bisa bercerita banyak tentang apa film dokumenter terbarunya kelak.