Artikel

What’s Up VR in Indonesia: Menilik Kondisi dan Potensi Film Virtual Reality

Minikino x VRDays Europe mengadakan panel diskusi bertajuk “What’s Up VR in Indonesia” pada hari Rabu, 24 November 2021 secara daring. Sesi diskusi ini menjadi salah satu rangkaian VRDays Europe, di mana Minikino dipercaya sebagai global partner untuk VRDays Europe tahun ini. Sebelumnya, beberapa event juga diselenggarakan secara offline di Bali pada 13-17 November 2021 dengan mengusung tema “Immersive Tech Week 2021”.

Baca juga: Menyelami Dunia Virtual dan Integrasinya dengan Dunia Nyata dalam VRDays Europe

Sederet kreator dan produser film virtual reality (VR) bergabung sebagai panelis pada diskusi kali ini, di antaranya Aaron Wilson (sutradara/penulis), Annisa Adjam (produser), dan Jonathan Hagard (sutradara/animator/illustrator). Adapun Jolinde Den Haas (Immersive Program di CineMart dan International Film Festival Rotterdam) dan Fransiska Prihadi (Direktur Program Minikino) didapuk menjadi moderator pada diskusi panel tersebut. Diskusi ini membahas pengalaman membuat film VR di Indonesia yang dirasakan oleh masing-masing panelis.

Perjalanan Filmmaker Memasuki Dunia Virtual Reality

Sesi diskusi diawali dengan cerita dari setiap panelis tentang perjalanan mereka menekuni dunia VR filmmaking. Panelis pertama, Annisa Adjam, menuturkan bahwa awal mula dirinya terjun ke ranah virtual and augmented reality yakni pada tahun 2017. Kala itu, ia terpilih sebagai salah satu VR technician untuk Greenpeace UK Mandaru VR Exhibition 2017. Pengalamannya sebagai teknisi sekaligus penonton mendorong Annisa untuk ambil bagian di bidang VR filmmaking. Pada tahun 2019, salah satu project VR Annisa berjudul “The Feelings of Reality” berhasil lolos dalam pitching Virtual Reality Lab yang diselenggarakan oleh Festival Film Dokumenter (FFD) Yogyakarta dan didanai oleh Voice Global. Ia mengangkat cerita tentang seorang seniman tuli asal Yogyakarta dengan berbagai keahlian seperti penari, sutradara teater, sekaligus guru. Dalam format film VR, The Feelings of Reality menyalurkan cerita tentang bagaimana seniman tersebut mengajarkan kesenian, musik, dan tari kepada muridnya yang juga tuli. Menurutnya, format VR dipilih karena memberikan pengalaman yang berbeda dalam menyampaikan cerita semacam ini.

Sementara itu, Aaron Wilson punya pengalaman berbeda tentang karirnya sebagai seorang VR filmmaker. Sebelum berkiprah di bidang VR, Aaron telah lebih dahulu menjadi sutradara dan penulis film pendek, Berbagai film pendek fiksi dan dokumenter telah ia buat sejak tahun 2004, didominasi cerita tentang hubungan Australia dengan negara-negara di sekitarnya. Ia mulai terlibat dalam project VR pada tahun 2016, di mana ia mengerjakan film VR tentang perjalanan empat dapur berbeda di Singapura yang memasak sajian khas Chinese, Indian, Melayu, dan Singapura. Sukses dengan project tersebut, Aaron kemudian melanjutkan kiprahnya dengan membuat film VR berjudul “I’m Not Comfortable in This Family” yang ditampilkan di VRDays Europe Rotterdam 2018. Film ini mengangkat tiga cerita tentang budaya, tradisi, dan komunitas yang menjadi bagian dari masyarakat Australia – Asia Tenggara (orang Indonesia, orang asli Australia, dan orang Samoa). Dari sederet film VR yang telah dikerjakan, Aaron menyebutkan bahwa keberhasilan VR project dipengaruhi oleh dua kolaborator penting: seorang produser yang mumpuni dan technologist yang penuh rasa penasaran serta bertalenta. Kedua hal tersebut bisa jadi catatan bagi siapapun yang ingin memulai kiprahnya di dunia VR.

Selanjutnya, Jonathan Hagard bercerita tentang film VR pertamanya berjudul Penggantian (Replacements) yang merupakan follow up dari film pendek Time Lapse (2009). “Penggantian” bercerita tentang keluarga Jawa yang tinggal di lingkungan fiksi di Jakarta, terinspirasi dari orang-orang yang menjadi saksi transformasi urban, lingkungan, dan budaya metropolis dari tahun 1980 hingga 2020. Format VR dipilih karena Hagard berharap penonton dapat “masuk” ke dalam realitas yang ada di film dan merasakan suasana Jakarta dengan ruang dan waktu yang tergambar di film. Menurut Hagard, format ini juga menambah kesan nostalgia dan instospeksi terutama bagi penonton Indonesia yang pernah berada di Jakarta.

Menakar Permasalahan dan Prospek Film VR di Masa Depan

Panel diskusi yang masih dapat disaksikan via YouTube Minikino ini juga membahas kondisi industri VR saat ini, di mana terdapat beberapa hal yang masih perlu dikembangkan. Salah satu permasalahan yang perlu banyak perhatian adalah soal distribusi. Meski ada banyak film VR yang bisa diakses cukup dengan aplikasi tertentu, beberapa project VR nyatanya masih sulit didistribusikan. Penyebabnya adalah beberapa film membutuhkan banyak interaktivitas dengan ruang yang luas untuk memasang instalasi. Keterbatasan alat ini menjadi catatan bagi para produser festival agar teknologi tidak lagi menghambat akses masyarakat terhadap VR.

Sementara itu di Indonesia, terdapat potensi distribusi di luar pemutaran independen atau festival film tingkat lokal. Annisa Adjam menyebutkan bahwa film-film yang ada juga bisa didistribusikan melalui beberapa perusahaan yang fokus ke bidang edukasi seputar VR. Selain memperluas distribusi, penyaluran ini juga menjadi peluang bagi film VR agar dapat dijangkau oleh para pelajar.

Pengembangan dan prospek film VR juga tidak luput dibahas pada diskusi ini, di mana terdapat beberapa pandangan yang bisa dijadikan catatan. Seperti yang disampaikan sebelumnya, Aaron Wilson menyebutkan pentingnya berkolaborasi, membangun komunitas, dan memperluas jaringan di bidang VR filmmaking. Tiga hal tersebut bagi Aaron wajib dipenuhi bagi orang-orang yang baru memasuki industri ini. Aspek edukasi juga patut disoroti karena terdapat beberapa pihak yang mulai menaruh perhatian ke industri ini. Menurut Annisa, sejumlah universitas di Indonesia mulai mempelajari dunia VR meskipun masih dalam tahap pengenalan dan pengembangan. Hal ini menjadi sinyal positif, terutama untuk pengembangan VR di tanah air.

Terakhir, akses film ke masyarakat juga menjadi concern bersama karena alat dan teknologi VR yang masih terlalu mahal dan sering mengalami perubahan. Di masa depan, dibutuhkan ruang komunal yang mudah diakses agar audiens bisa lebih interaktif dan imersif terhadap VR. Hal ini dikarenakan poin penting dari film VR adalah menghadirkan cerita dengan medium dan realitas baru yang dapat dinikmati secara inklusif.

Baca juga artikel menarik lainnya dari Feraldi pada halaman berikut.

1 Comment

1 Comment

  1. salam

    21/07/2023 at 1:56 pm

    Artikel blognya sangat informatif tentang diskusi VR. Teknologi selalu membuka peluang yang baru untuk kita merasakan dunia di sekitar kita. Virtual Reality Indonesia merupakan teknologi simulasi komputer yang memungkinkan pengguna untuk berinteraksi dan merasakan pengalaman yang tampak nyata dalam lingkungan buatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top