Wawancara

Faozan Rizal dan Semesta Imajinasinya dalam Film “Abracadabra”

Tulisan merupakan bagian dari program apprenticeship Infoscreening

Berbicara mengenai magis dalam sinema, maka salah satu tokoh Prancis dari sejarah sinema dunia pada tahun 1890-an bernama Georges Méliès muncul di benak penulis. Méliès yang merupakan pemilik sekaligus anggota dari sebuah kelompok hiburan bernama Théâtre Robert-Houdin mendapatkan kesuksesannya melalui penciptaan ilusi sulap dengan menggunakan medium film. Kini, pada bulan pertama di tahun 2020, film Abracadabra dari rumah produksi Fourcolours Films bersama HOOQ, ideosource, dan Aurora Media mencoba kembali melakukannya.

Film Abracadabra yang ditulis dan disutradarai oleh Faozan Rizal ini mengisahkan petualangan pesulap andal bernama Lukman (Reza Rahadian) yang telah jenuh dengan pekerjaannya. Berniat mengakhiri kariernya di pertunjukan terakhir, Lukman justru dihadapkan dengan kasus hilangnya berbagai individu dikarenakan kotak Yggdrasil. Lukman pun harus bertanggung jawab untuk mengembalikan mereka kembali. Layaknya pembaruan yang dihadirkan oleh Méliès kala itu pada perkembangan medium film, maka Abracadabra pun membawa angin segar pada perfilman Indonesia melalui berbagai keputusan estetik yang tidak biasa.

Uniknya lagi, proses dalam merumuskan tulisan ini pun memberikan rasa baru bagi penulis. Hal ini dikarenakan pada tanggal 8 Januari 2020, secara bersamaan, penulis mengikuti rentetan acara konferensi pers & pemutaran untuk media. Di sela-sela itu, penulis berkesempatan  melakukan wawancara jarak jauh via e-mail dengan Faozan Rizal yang sedang berada di Berlin, Jerman. Rasanya seperti mendapatkan kekuatan dari sumber masalah utama pada film ini, yaitu kotak Yggdrasil, yang mampu membawa kita untuk berpindah-pindah tempat.

Berikut hasil wawancara penulis dengan Faozan Rizal.

Bagaimana proses awal proyek film Abracadabra dimulai?

Proses awalnya panjang sekali, namun karena saya sering menulis menggunakan kamera sebagai seorang Sinematografer, maka aktivitas menulis telah menjadi kebiasaan saya. Singkat kata, beberapa cerita pernah saya tawarkan ke teman sutradara dan produser, namun untuk menemukan produser yang satu visi atau sepenuhnya membantu visi sutradara, itu sulit sekali. Karenanya, cerita-cerita saya banyak yang hanya masuk ke dalam “kotak”.

Sampai akhirnya, saya bertemu Ifa Isfansyah setelah sekian lama tidak bekerja sama dikarenakan kesibukan saya sebagai Sinematografer di Dapur Film. Saya menawarkan tiga cerita untuk diproduksi kepada Ifa selaku sutradara dan produser di Fourcolours Films, dan Ifa pun memilih cerita ini. Selanjutnya, kami mencoba mencari berbagai investor yang akhirnya membawa kami ke Beuchan, Korea. Di sanalah naskah Abracadabra mulai diperhatikan.

Dari sana, saya dan Ifa pun diundang ke Sydney untuk mempresentasikan ide cerita film ini dan memperkenalkan kami dengan Isabel Glachant dari Chinese Shadow, seorang distributor sekaligus produser film asal Beijing, yang kemudian bergabung sebagai konsultan. Cerita ini pun akhirnya terpilih di Udinese, Itali yang  mempertemukan kami dengan Justin Deimen dari Aurora Investation yang menyatakan kesediaannya untuk bergabung dalam produksi film Abracadabra. Dan terakhir, disusul oleh HOOQ dan ideosource.

Baca juga: Membaca Karya Eka Kurniawan dalam Rekam Film

Berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam menggarap proyek Abracadabra?

Proses penulisan dan pencarian investor membutuhkan waktu selama 4 tahun dengan syuting selama 18 hari. Jadi, yang paling banyak memakan waktu sudah pasti mencari dana untuk membuat film ini karena kami harus pergi ke Korea, Sydney, dan Italia.

Pada trailer film Abracadabra menggunakan kata-kata, “Dari Imajinasi Faozan Rizal” bukan “Film oleh Faozan Rizal”. Ada alasan tertentu?

Dunia sulap dan sinema adalah dua dunia yang membuat saya hidup dalam imajinasi saya sendiri, jadi rasanya lebih tepat untuk menggunakan kata imajinasi.

Pada film Abracadabra, Anda berperan sebagai sutradara sekaligus penulis. Lebih menantang melaksanakan peran yang mana?

Ketika sutradara dan penulis merupakan orang yang sama, maka akan jauh lebih mudah dalam menggarapnya, karena sutradara akan sangat paham apa yang ia inginkan dalam filmnya. Seperti visi dan visualisasinya.

Apa yang menginspirasi Anda  untuk mengisahkan dunia magis dalam medium film?

Seperti yang saya katakan sebelumnya, dunia magis dan sinema sama-sama membuat saya dapat hidup dalam imajinasi saya sendiri. Apalagi, dalam sejarah film dunia, orang pertama yang menghibur penontonnya ya film yang dibuat oleh pesulap sekaligus sutradara bernama Georges Méliès.

Sebagai sinematografer yang dikenal dengan proyek-proyek eksperimental, apakah film Abracadabra merupakan salah satu perwujudan akan proyek eksperimental Anda sebagai seorang sutradara?

Bisa dibilang begitu, karena pendekatan film Abracadabra adalah pendekatan panggung. Artinya saya membuat koreografi dan framing layaknya panggung teater.

Bagaimana pengaruh latar belakang Anda sebagai seorang sinematografer dalam proses kreatif menyutradarai sebuah film?

Tentu saja, latar belakang sebagai penata kamera sangat membantu saya dalam menyutradarai. Saya punya sensibilitas sendiri terhadap framing, pencahayaan, visualisasi yang nantinya terdapat pada layar dan berbagai elemen lain.

Banyak yang mengatakan bahwa sinematografi dalam film Abracadabra mengingatkan mereka pada gaya sutradara Wes Anderson. Bagaimana Anda menyikapi pendapat tersebut?

Mungkin penggunaan warna pink dan komposisi simetris pada film Abracadabra mengingatkan banyak orang pada film-film milik Wes Anderson. Memang saya terinspirasi dari film-film miliknya. Saya pun berteman baik dengan Simon Weisse asal Berlin yang menciptakan key art direction karya Wes Anderson, jadi berdasarkan kedekatan kami, sudah pasti saya terinspirasi akan visual miliknya. Tapi, saya juga banyak meminjam framing milik Da Vinci, Escher, Salvador Dali, La Chapelle, Caspar David Friederich. Mungkin karena jarang dilihat jadi semuanya seakan-akan hanya terinspirasi dari Wes Anderson. Padahal, insipirasinya diambil dari berbagai visual dari pelukis hingga film yang sudah ada. Toh, Wes Anderson pun terinspirasi dari Hitchcock dalam mendesain framing miliknya.

Ada alasan mengapa tokoh utama bernama Lukman?

Pada naskah awalnya, Lukman bernama Lucas. Namun, Isabel menyarankan untuk mengganti semua nama menjadi nama Indonesia saja.

Selain itu banyak nama terkenal bermain dalam film ini, seperti Butet Kertaradjasa dan Jajang C. Noer. Anda langsung terpikir  aktor dan aktris tersebut atau melewati proses casting terlebih dahulu?

Semua karakter sesuai dengan tokoh-tokoh dalam penulisan, jadi sistemnya bukan casting, tapi lebih menghubungin mereka untuk minta tolong bermain dalam film ini. Ketika mencari peramal kembar yang looknya sangat “fashion” pun membuat kami memutuskan untuk mengajak model yang benar-benar kembar.

Baca juga: Film Bertema Sulap Bergenre Fantasi, “Abracadabra”, Tayang Serentak Awal 2020

Kill The DJ main dalam film ini sekaligus membuat salah satu soundtrack berjudul “Ngalor-Ngidul”. Boleh diceritakan prosesnya?

Ya, Kill The DJ itu teman saya dari dulu dan saat itu, kita butuh sesuatu yang “breaking the mind setelah menonton, jadi kita minta Kill The DJ untuk membuat musik ending film ini.

Apa kendala terberat dalam melaksanakan proyek ini?

Kendalanya itu sulitnya mencari investor atau produser yang mau menerima dan mendukung visi sutradara sepenuhnya. Saya baru menemukan satu di Indonesia, yaitu Ifa Isfansyah dari Fourcolours Films dan kebetulan karena dirinya juga seorang sutradara, jadi sepertinya lebih paham bahwa visi sutradara sudah seharusnya didukung secara penuh.

Kejadian menarik dalam melaksanakan proyek ini?

Kejadian menarik mungkin di penulisan, karena saya mengikuti kartu tarot dalam menyusun setiap scene pada adegannya. Apalagi, saya sering menghapus cerita, jadi jatohnya kita punya 4 cerita yang totally different, jadi ketika akan diproduksi, saya dan Ifa menggabungkan dua skenario, yaitu draf 2 dan draf 4 menjadi satu. Jadi kalau gak nyambung, ya sudahlah yah, kan Abracadabra.

Apa harapan Anda untuk film Abracadabra?

Harapan untuk film ini agar dapat menyumbang visi dalam bersinema di Indonesia.

Apa harapan Anda untuk perfilman Indonesia?

Harapan untuk film nasional semoga tak lagi seragam, dan lebih banyak lagi film untuk anak-anak atau film semua umur. Negeri ini butuh hiburan.

 

Katanya tahun baru menandakan diri baru, karenanya memasuki dekade baru seharusnya membuat kita berani untuk mencicipi film-film Indonesia dengan gaya baru. Tertarik? Yuk, datang ke bioskop terdekat karena film Abracadabra sudah dapat disaksikan secara serentak sejak 9 Januari 2020!

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top