Berita

Membaca Fenomena Disrupsi Perfilman dalam Program JAFF 2018

Infoscreening.co – Di era digital, dan kemunculan berbagai usaha rintisan yang melahirkan berbagai aplikasi ponsel, disrupsi menjadi kata yang semakin populer beberapa tahun ke belakang. Sering kita dengar bahwa bisnis rintisan digital menjadi disrupsi, “mengganggu” tatanan yang telah ajeg. Memaksa kita, dari masyarakat pada umumnya hingga para raksasa bisnis, untuk berubah dan berbenah apabila tidak ingin ketinggalan. Lalu apakah fenomena disrupsi hanya ada baru-baru ini saja? Di sektor tertentu saja?

Baca juga: Film-film yang Diputar Perdana pada JAFF 2018

Menggunakan tema “Disruption” pada penyelenggarannya tahun ini, Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) telah membaca fenomena disrupsi pada perfilman belakangan ini yang semakin marak. Tema tersebut kemudian diturunkan ke berbagai program, di antaranya selama penulis mengikuti JAFF ada topik seputar disrupsi digital yang mendorong pencipta konten audio visual untuk menemukan potensi, berpikir konten seperti apa yang cocok untuk medium ini-itu, dan sebagainya. Mengenai maraknya penulisan ulasan film yang terdorong dengan perkembangan media pun juga turut dibahas pada hari yang sama dengan mengundang kritikus serta pegiat film tanah air. Dan tentu sebagai festival film, ditayangkan berbagai film dari berbagai sineas yang dianggap telah konsisten membuat film-film yang keluar dari pakem, mencari dan menemukan tempatnya sendiri. Sesuai pengantar Garin Nugroho saat membuka pemutaran film Love is a Bird karya Richard Oh.

Bicara tentang hal-hal di luar kebiasaan, JAFF tahun ini menggunakan venue Jogja National Museum (JNM) sebagai tempat saling bertatap muka dan menyelenggarakan pameran berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya di Taman Budaya Yogyakarta. Vanis dari tim media JAFF pun turut menjelaskan bahwa tim panitia kemudian memiliki tugas untuk membangun festivity dan nuansa kekeluargaan di area JNM. Suatu hal yang tidak mudah, namun bukan hal yang mustahil melihat hal ini sedikit demi sedikit mulai terbangun walau baru tahun pertama.

2 Desember malam dalam acara makan malam bersama pemangku kepentingan festival, Ifa Isfansyah melakukan pemaparan perkembangan JAFF dari tahun ke tahun dan masalah yang dihadapi. Melalui sesi tersebut, JAFF sebagai sebuah festival seolah memberikan pernyataan bahwa disrupsi bukan semata jargon kosong namun bahwa ia siap untuk mendisrupsi dirinya, melakukan perubahan baik melalui program yang telah ada, dan juga membangun budaya apresiasi pada film-film internasional yang ditayangkan agar banyak memperoleh penonton. Ifa, dalam sesi ini mendapat banyak masukan dari tamu pegiat festival luar dan dalam negeri terutama pada ukuran dan program-program yang ada belakangan ini. Bagaimana masukan-masukan ini dan proses setelahnya memberi perubahan, baru bisa kita lihat bersama pada penyelenggaraan setelahnya.

Sebagai penutup, berikut mari kita lihat judul-judul film yang meraih penghargaan dalam JAFF 2018 dan membaca sendiri konteks disrupsi setelah menontonnya:

  • Golden Hanoman: “27 Steps of May” (Ravi Bharwani)
  • Silver Hanoman: “Nervous Translation” (Shireen Seno)
  • NETPAC Award: “The Song of Grassroots” (Yuda Kurniawan)
  • Geber Award: “Passage of Life” (Akio Fujimoto)
  • Light of Asia: “Facing Death with Wirecutter” (Sarwar Abdullah)
  • JAFF Indonesian Screen Awards – Skenario Terbaik: “Love for Sale” oleh Andibachtiar Yusuf
  • JAFF Indonesian Screen Awards – Sinematografi Terbaik: “Aruna dan Lidahnya” oleh Amalia T.S.
  • JAFF Indonesian Screen Awards – Penampilan Terbaik: “If This is My Story” oleh Reza Rahadian
  • JAFF Indonesian Screen Awards – Sutradara Terbaik: “Sultan Agung” oleh Hanung Bramantyo
  • JAFF Indonesian Screen Awards – Film Terbaik: “Petualangan Menangkap Petir” oleh Kuntz Agus
  • Film Pendek Terbaik Pilihan Murid Sekolah Film di Jogja: “Grandma’s Home” oleh Nguyen Hoang Bao Anh dari Vietnam
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top