FFD 2023 menyajikan banyak film dari berbagai negara, tapi fokus saya pribadi adalah menonton film dokumenter Indonesia sebanyak yang saya bisa. Sayangnya niat saya tersebut belum terlaksana dengan sempurna sebab berbagai kendala dan keterbatasan. Dari sekian yang saya saksikan, saya bersyukur bisa melihat variasi cerita dan mendapat pengetahuan dari pengalaman menonton selama berfestival, bekal untuk mengenal Indonesia lebih baik.
Kategori Short Competition terdiri dari tujuh film dokumenter pendek Indonesia dan pemutarannya terbagi dalam dua kelompok jadwal yang berbeda. Topik kompilasi yang pertama lebih bervariasi, sementara yang kedua memiliki keterkaitan yang serupa: musik.
Sailum: Song of The Rustling Leaves (Felix K. Nesi & Moses Parlindungan Ompusunggu, 2023) yang berasal dari Nusa Tenggara Timur menggunakan minuman tradisional sopi dan perjalanan perbuatannya dari penyulingan nira untuk menyentuh beragam isu terkait kebudayaan dan keyakinan. Mother of the Sea (Clarissa Ruth Natan, 2023) adalah cerita nelayan perempuan yang berada di Demak, salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang gigih berjuang di tengah beragam kesulitan, baik kesulitan dalam pekerjaan itu sendiri, hingga pandangan masyarakat. Ada komentar menarik dari penonton ketika sesi diskusi film ini yang patut ditulis. Ia bilang, terkadang tuntutan terhadap kesetaraan itu enggak melulu hal yang rumit. Tercantumnya profesi sebagai “nelayan” di KTP seorang perempuan adalah pengakuan yang cukup. Cerita unik lainnya tentang profesi seorang perempuan bisa dilihat di film Kanaka (Regina Surbakti, 2023) yang memotret seorang pelukis kuku di sebuah daerah di Jogja. Selain mengajak kita melihat keseharian sang tokoh dengan para pelanggannya yang saling berbagi cerita, dokumenter observasional ini membawa kita ke dalam ruang-ruang pribadi dimana perempuan dan lelaki bernegosiasi terkait kebutuhan dan permasalahan rumah tangga. Pendekatan yang diambil film ini membuat perbedaan dokumenter dan fiksi (secara teknis) terasa sangat tipis. Sementara film terakhir dalam kompilasi ini, The Whistle Starts Whispering (Yusuf Jacka, 2023) mengeksplorasi ruang liminal fisik dengan gemuruh suara yang meninggalkannya. Ternyata gambar statis dengan tulisan-tulisan menuntut keadilan, dilengkapi dengan ruh-ruh suporter yang masih tinggal di sekitar bisa sangat dalam untuk mendokumentasikan insiden besar Kanjuruhan yang belum juga terselesaikan.
Kompilasi Short Competition yang kedua terdiri dari tiga film dengan cerita-cerita musik yang berbeda. Wisisi Nit Meke (Arief Budiman, Harun Rumbarar, Bonny Lanny; 2023) mengingatkan pada dance music akhir 90an – awal 2000an dengan sentuhan ritual adat Papua yang bikin penonton ingin ikut joget, tapi cukup terpuaskan dengan manggut-manggut. Ini adalah cerita orang-orang yang sadar teknologi dan tidak segan untuk bermain dan bereksperimen di tengah berbagai keterbatasan. Barangkali juga bisa menjadi celah untuk mengekspresikan hal-hal yang dipaksa untuk disembunyikan. Ke Jakarta, kita kembali melihat pertunjukan musik kekinian yang digandrungi muda-mudi. Namun bukan musisi yang hendak kita tonton, A Sonorous Melody (Riani Singgih, 2022) mengenalkan kita pada tokoh yang istimewa, seorang fasilitator teman-teman tuli. Film ini mengajak kita menikmati musik dengan kejernihan dan melodi yang berbeda. Dan film terakhir, Nasida Ria: Sun Stage (Wisnu Candra, 2023) tidak memilih untuk bercerita tentang masing-masing personil, pun bukan tentang kasidah secara spesifik, tapi lebih memilih fokus pada manajemen grup yang telah bertahan lebih dari 48 tahun. Bocoran dari sang pembuat film, Nasida Ria sendiri tengah mempersiapkan film dokumenter panjang yang detil tentang perjalanan grup legendaris asal Semarang ini.
Film-film dokumenter pendek Indonesia juga di putar di program-program FFD lainnya. Program Ordinary/Extraordinary membuka kembali arsip FFD dan memutar lima cerita penting. The Unseen Words (Wahyu Utami, 2017) dengan kegiatan Distra Budaya (sanggar untuk penyandang tunanetra) mempersiapkan pementasan ketoprak mengingatkan kita bahwa berkesenian adalah hak bagi semua orang tanpa terkecuali. Seandainya… (Diva Suki Larasati, 2019) membawa penonton ke dalam ruang pribadi Munir sebagai seorang Ayah melalui animasi yang dibuat oleh putrinya. Diaspora (Ivonne Kani, 2015) adalah perjalanan mengatasi trauma sekaligus proses untuk mengenal keluarga dan mencari diri sendiri. Sementara melalui observasi Jembatan Sibuk (David Darmadi, 2016), kita melihat sarana-prasarana kehidupan yang nampaknya bisa kita temukan di banyak daerah bersungai di Indonesia, dalam hal ini potretnya diwakilkan oleh Jembatan Gunung Nago yang berada di Kota Padang. Bocah Rapa’i Plok (Nursalliya Ansari B., 2017) yang berasal dari Aceh menuturkan dengan sangat luwes dengan merasuk pada sekumpulan bocah yang menggunakan energi kreatif mereka agar bisa bermain rapa’i. RITUAL, Part IV: The Blends (Robby Ocktavian, 2023) terdapat dalam program Perspektif. Dokumenter yang berangkat dari novel karya Korrie Layun Rampan yang berjudul Upacara ini mengkolase Kota Samarinda, Sungai Mahakam, serta hal-hal terkait di dalamnya. Takarir muncul secara tumpang tindih, seolah mencerminkan permasalahan yang semerawut.
Karya-karya yang juga berangkat dari sastra juga bisa dilihat dari program Minke Project yang diinisiasi oleh Milisifilem Collective, Forum Lenteng. Ada tiga film sebagai respon atas pembacaan Tetralogi Buru yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer yang masih sangat relevan di era sekarang, terutama dalam kaitannya dengan kolonialisme. Pipit dalam Badai (Van Luber Parensen, 2023) menggunakan surat dan suara Miriam de la Croix yang mengiringi kegiatan seorang ahli botani. Surat itu berisi keprihatinan terhadap Hindia Belanda. Kulihat Kau Lihat Dia (Helmi Yusron, 2023) adalah Surveillance yang ditampilkan dalam potret-potret yang tersusun dengan dinamis, terkait buku keempat dari Tetralogi Buru, dimana sudut pandang Minke di buku-buku sebelumnya beralih ke Pangemanan yang melakukan pengawasan melalui rumah kaca yang ia buat. Sementara Peta Gula (Ali Satri Effendi, 2023), karya saya sendiri terinspirasi dari perjalanan psikogeografi yang dilakukan Minke menelusuri kebun tebu tanpa arah pasti. Sebuah usaha untuk mengenal bangsa dan orang-orangnya. Saya pun memutuskan untuk melakukan perjalanan psikogeografi tersebut, melakukan riset arsip, dan menemukan siklus yang berulang.
Ada satu film yang begitu membekas bagi saya pribadi, terutama karena pengemasannya yang bisa dibilang nyentrik. Judulnya En Úma an Únèr I Wà’à (Natasha Tontey, 2022) yang masuk dalam program Grotesque Cinema. Dengan visual atraktif, namun sesekali terkesan campy, film ini menggunakan Upacara Karai di Minahasa untuk mendiskusikan hal-hal terkait manusia (gender, ekologi, teknologi) dan bukan manusia. Film lain dalam program ini adalah Di Balik Rupa (Adlino Dananjaya, 2023) yang dengan menggunakan animasi, ia memvisualisasikan secara linear pengalaman seorang penata rias dalam film propaganda Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI. Ceritanya tentang riset yang menyisakan trauma berkelit-kelindan dengan pengalamannya di masa kecil.
Menonton film-film tersebut (terlepas dari film saya sendiri dan berbagai kondisi) adalah belajar mengenal Indonesia bukan dari visual cantik seperti halnya lukisan mooi indie yang menggoda mata, tapi terutama memahami berbagai isu yang seharusnya menjadi permasalahan bersama.