JAKARTA – Festival Film Indonesia (FFI) kembali digelar pada tahun kedua pandemi Covid-19 melanda dunia. Sebagai platform apresiasi perfilman terbesar di Indonesia, FFI pun tetap dilaksanakan di tengah krisis dengan terus melakukan adaptasi dan menghasilkan kebaruan. Pada perhelatannya yang ke-41 ini, FFI dinilai perlu semakin inklusif dan menjawab tantangan masa depan.
Kebaruan ini dimulai dengan Komite FFI baru untuk periode 2021-2023, yang ditunjuk untuk melanjutkan kepengurusan sebelumnya. Komite FFI 2021 ini terdiri dari Reza Rahadian (Ketua Komite ); Linda Gozali (Sekretariat); Gita Fara (Keuangan dan Pengembangan Usaha); Garin Nugroho (Ketua Bidang Penjurian); Inet Leimena (Ketua Bidang Acara); Nazira C. Noer (Humas Acara); dan Emira P. Pattiradjawane (Humas Penjurian).
Salah satu aspek kebaruan dalam FFI yang cukup disorot adalah peraturan penjurian. Ketua Bidang Penjurian FFI 2021-2023 Garin Nugroho mengatakan adanya pandemi Covid-19 mengharuskan adaptasi terhadap persyaratan film yang masuk ke penjurian FFI. Di tahun kedua pandemi ini, film-film yang tidak dirilis di bioskop, atau melalui layanan streaming over-the-top (OTT), tetap dibolehkan masuk penjurian.
Selain itu, Garin mengatakan film yang tayang di luar negeri terlebih dahulu tetapi belum sempat untuk tayang di dalam negeri (secara luas), tetap dibolehkan untuk bersaing di FFI.
“Kalau kita haruskan film yang masuk [nominasi] harus diputar di bioskop, wong bioskop tutup. Kan enggak mungkin juga gitu. Oleh karena itu, seluruh dunia tidak hanya Indonesia, Oscars pun di tengah krisis melakukan adaptasi,” kata Garin kepada Infoscreening, Jumat (5/11/2021).
Sejumlah penyesuaian tersebut tidak lepas dari keterkaitan dengan protokol tanggap darurat Covid-19. Seperti yang diketahui, medium utama dalam pemutaran film yaitu bioskop atau teater, mengalami kesulitan besar ketika harus buka-tutup dalam periode kurang dari setahun. Pada Juli tahun ini, aktivitas pemutaran film di teater harus kembali dihentikan sementara–sebelum dibuka lagi September lalu–setelah adanya kebijakan PPKM Darurat untuk menahan laju penyebaran virus Corona varian Delta.
“[Krisis] ini kan punya dua makna dalam bahasa [Mandarin]. Bahaya dan kesempatan atau peluang. Oleh karena itu FFI tahun ini harus menjadi kesempatan, kalau tidak malah menjadi bahaya,” jelas Garin.
Layanan OTT memang berkembang subur di tengah penyebaran Covid-19 yang dimulai sejak awal 2020. Indonesia merupakan salah satu pengguna layanan streaming video on-demand terbesar global. Berdasarkan lembaga riset Kantar Group, lebih dari 66 juta orang penduduk Indonesia telah menjadi pengguna layanan OTT seperti Netflix, Disney+, dan sebagainya.
Garin melihat hal tersebut sebagai tantangan dari media baru. Tantangan ini mengharuskan industri dan ekosistem perfilman untuk beradaptasi, seperti halnya yang sudah berlangsung sejak awal sejarah perfilman.
Sutradara pemenang Piala Citra FFI untuk ‘Kucumbu Tubuh Indahku’ (2019) ini mengatakan bahwa film merupakan “anak” dari teknologi. Industri dan ekosistem harus bisa mengakses teknologi baru seiring dengan perkembangan zaman, tetapi dalam waktu yang sama harus tetap mengerti sejarah perfilman.
“Media baru tidak akan lepas dari sejarah film. Anda lihat waktu video datang, ‘Wah nanti ini bisa ganti bioskop!’ Lalu ketakutan semua. Akhirnya 35 mm diganti kamera video. Jadi sebagai anak teknologi, pertumbuhan film hanya bisa dijalankan dengan baik kalau mengerti sejarah [perfilman],” ujarnya.
“Namun terkait dengan peraturan platform ini, perlu dipertanyakan suatu platform apakah sudah sesuai standar, dan secara hukum memenuhi syarat? Itu menjadi pertanyaan, begitu banyak sekarang kritik film di media baru. Oleh karena itu, festival sekarang harus membaca kemungkinan ke depannya di berbagai ekosistem film,” lanjut Garin.
Sineas yang sudah melanglang buana di tiga festival film terbesar di dunia (Berlin, Cannes, dan Venice) atau “The Big Three” ini, mengatakan dinamika antara OTT dan teater/bioskop membutuhkan transisi. Hal ini, menurutnya, merupakan suatu keniscayaan dalam perkembangan dunia perfilman. Apalagi, dunia termasuk Indonesia saat ini masih dilanda pandemi dan kegiatan di bioskop kerap dibatasi.
Meski begitu, Garin menegaskan dalam masa transisi, menonton film di bioskop untuk sementara waktu merupakan ukuran yang paling vital dalam menilai suatu karya film.
“Peraturan nonton di bioskop itu harus tetap berlaku. Oleh karena itu panitia FFI sekarang memutuskan bahwa ketika masuk ke nominasi akhir, juri harus nonton di bioskop, baik film yang lewat OTT atau tidak. Itu untuk mengambil suatu jalan tengah di tengah krisis. Tapi Oscars pun ketika pandemi terjadi, karena saya seleksi Oscars juga, ada kata bahwa harus mengikuti situasi darurat masing-masing negara,” jelas Garin.
Proses penjurian memang merupakan salah satu bagian yang vital dalam FFI, tidak terkecuali di tahun ini. Sistem penjurian dalam festival film, lanjut Garin, menjadi sentral karena juga harus mengikuti dinamika dunia di sekitarnya.
Berdasarkan pengalaman Garin, juri festival film mencerminkan keberagaman keanggotaan dan visi, serta dipenuhi oleh dialog atau diskusi yang kerap akan menimbulkan pro-kontra. Berbagai aspek tersebut lebih didorong perwujudannya dalam sistem penjurian tahun ini.
Baca juga: Memoar Garin Nugroho: “Dongeng” Lintas Zaman Perfilman Indonesia
Sistem penjurian FFI 2021 merupakan penyempurnaan dari sistem penjurian yang telah ada sebelumnya. Sistem ini dirumuskan dan disempurnakan melalui tiga tahap, yaitu pertemuan luring, pertemuan daring, dan masukan-masukan tertulis dari asosiasi-asosiasi profesi perfilman. Pertemuan luring untuk mengenalkan dan membuka diskusi metode penjurian dilaksankan pada 27 Mei 2021, dihadiri oleh 42 orang perwakilan asosiasi.
Selanjutnya, pertemuan daring pada 5 Juli 2021 dihadiri oleh 31 orang perwakilan asosiasi dan mayoritas setuju dengan catatan beberapa usulan masukan. Terakhir, masukan secara tertulis dari masing-masing asosiasi dengan batas akhir pada tanggal 11 Juli 2021.
“Di tengah krisis, kita harus institution building, karena penguatan organisasi itu penting. Maka, dalam penjurian ini asosiasi ikut terlibat, seperti asosisasi profesi kamerawan, sutradara, dan sebagainya. Karena, pertumbuhan film tanpa asosiasi yang tumbuh itu tidak akan jadi pertumbuhan yang konsisten ke depannya,” ucapnya.
Akhirnya, Dewan Juri yang telah ditentukan untuk melakukan penjurian akhir pada FFI tahun ini diisi oleh unsur ekosistem perfilman yang lebih beragam. Mereka terdiri dari sineas, aktor, budayawan, kritikus hingga akademisi.
Sejumlah nama besar dalam industri perfilman dalam negeri dan pemenang Piala Citra sebelumnya ikut dalam tahap penjurian seperti Joko Anwar (Perempuan Tanah Jahanam), Ernest Prakasa (Imperfect), dan aktris senior Niniek L. Karim (Pacar Ketinggalan Kereta).
Dewan Juri Akhir terbagi menjadi juri akhir untuk film panjang; film non-cerita panjang (film cerita pendek, animasi panjang, animasi pendek, dokumenter panjang dan dokumenter pendek); dan kritik film. Mereka beranggotakan total 28 orang meliputi 15 juri film cerita panjang, tiga juri film cerita pendek, empat juri film animasi panjang dan pendek, tiga juri film dokumenter dan tiga juri kritik film.
Dewan Juri Akhir akan berembuk untuk menentukan pemenang dari 23 kategori penghargaan hingga awal November 2021. Mereka bertugas untuk menentukan satu pemenang dari seluruh nominasi yang telah diumumkan sebelumnya pada pengumuman nominasi FFI, Minggu (10/10/2021).
Berikut daftar Dewan Juri Akhir berdasarkan kategori nominasi:
– Film Cerita Panjang:
* Aghi Narottama (Penata Musik);
* Allan Sebastian (Penata Musik);
* Arturo GP (Penyunting Gambar);
* Ernest Prakasa (Sutradara/Komedian);
* Faozan Rizal (Pengarah Sinematografi);
* Hikmat Darmawan (Kritikus Film);
* Joko Anwar (Sutradara/Penulis);
* Karsono Hadi (Penyunting Gambar/Penulis/Sutradara);
* Niniek L. Karim (Aktris);
* Putut Widjanarko (Produser);
* Rayya Makarim (Penulis);
* Rukman Rosadi (Aktor);
* Sheila Timothy (Produser);
* Tommy F Awuy (Budayawan);
* Wina Armada (Wartawan).
– Film Cerita Pendek:
* Ajeng Parameswari (Direktur Bisnis Digital Bioskop Online Jakarta);
* Dr. Budi Irawanto (Presiden Jogja-NETPAC Asian Film Festival/Dosen Komunikasi Fisipol UGM);
* Edo Wulia (Direktur Minikino Film Week Bali International Short Film Festival).
– Film Animasi Panjang:
* Chandra Endroputro (Direktur Studio Temotion);
* Daryl Wilson (Direktur Kumata Studio);
* Wahyu Aditya (Pendiri Hellomotion/Fun Cican).
– Film Dokumenter:
* Dudit Widodo (Produser Program Dokumenter TV dan Film Dokumenter);
* Dwi Sujanti Nugraheni (Pembuat/Produser/Kurator Film Dokumenter);
* Tonny Trimarsanto (Produser/Sutradara/Pengajar Film Dokumenter).
– Kritik Film:
* Hariyadi (Dosen/Peneliti Film);
* Panji Wibowo (Pengkaji/Pembuat Film);
* Sazkia Noor Anggraini (Dosen/Peneliti Film).
Tentunya, sistem yang ada baik penjurian dan-lain-lain, ke depannya masih akan harus dilengkapi atau diperbaiki. Garin menyampaikan bahwa tidak ada sistem yang sempurna, oleh karena itu selalu terbuka oleh perubahan dan perbaikan.
Garin menekankan bahwa penting bagi FFI untuk mengikutsertakan seluruh ekosistem perfilman, tidak hanya unsur di dalam industri perfilman saja. Menurutnya, kritikus film, pendidik/pengajar film, dan budayawan harus diikutsertakan untuk mewujudkan ekosistem perfilman yang lebih baik.
Mendorong Inklusi dalam Festival Film Indonesia
FFI tahun ini mendorong inklusi tidak hanya dari segi film, tetapi juga ekosistem perfilman secara makro. Baik dengan melibatkan asosiasi perfilman, unsur ekosistem secara luas, hingga penonton film.
Tidak hanya dalam urusan keterlibatan dalam pelaksanaan FFI, inklusi juga didorong melalui pengenalan kategori-kategori penghargaan baru. Contohnya, kategori Kritik Film Terbaik.
Kategori Kritik Film Terbaik sebenarnya sudah pernah diadakan pada perhelatan FFI yang lalu. Komite FFI 2021-2023 tahun ini memutuskan untuk mengadakan kembali kategori tersebut. Garin mengatakan hal itu dilakukan agar FFI bisa mengikutsertakan ekosistem perfilman lebih luas, seperti kritik film. Ibarat simbiosis mutualisme, film tidak akan bisa hidup tanpa adanya kritik.
“Film tanpa kritik, film tanpa review, bagaimana bisa hidup. Tanpa pengamat dan pendidik, bagaimana juga film bisa hidup. Oleh karena itu, justru tahun ini kita memutuskan kita harus jadi bagian dari ekosistem. Ada pendidikan, apresiasi, penciptaan, dan sebagainya. Maka kritik film yang sebelumnya tidak muncul sebagai bagian dari festival, kita angkat kembali,” kata Garin.
Garin menyebut keputusan Komite FFI itu guna mendorong partisipasi masyarakat dalam ekosistem perfilman yang lebih baik. Dia mengatakan ke depannya, kategori ini akan menjadi kategori tetap (permanen) dalam FFI.
“Kritik film wajib ada. Bahkan, kritik film tahun ini yang masuk ada 150 [karya], dan itu menunjukkan suatu perkembangan yang akan dibaca ke depan,” tambahnya. Untuk mendorong keikutsertaan, partisipasi masyarakat atau penonton film turut didorong pada FFI tahun ini. Hal itu dilakukan melalui kategori Film Favorit, Aktor Favorit, dan Aktris Favorit.
Komite FFI awalnya melampirkan data film dan data nama aktor dan aktris sesuai dengan film yang diperankan selama periode 1 Oktober 2020 – 31 Agustus 2021 melalui situs resmi FFI 2021. Nantinya, masyarakat dapat menuliskan film, aktris, dan aktor terfavorit mereka melalui formulir yang tersedia di situs resmi FFI 2021.
Hasil pemungutan suara akan dihitung dan pemenangnya akan diumumkan pada Malam Anugerah 10 November mendatang.
“Ini sebagai bentuk bagaimana FFI ingin engage dengan para penontonnya melalui kategori ini akan di-vote oleh pecinta film Indonesia. Mereka akan merasa bahwa mereka juga bagian,” ujar Ketua Komite FFI 2021 Reza Rahadian secara terpisah, pada konferensi pers FFI, pekan lalu.
SINEMA INDONESIA DI KALA PANDEMI
Perfilman Indonesia terus menunjukkan optimisme lewat produktivitas yang tinggi meski di tengah pandemi Covid-19. Di tengah krisis yang dialami teater/bioskop dan protokol Covid-19 yang ketat, para sineas dan ekosistem perfilman Indonesia masih tetap menghasilkan karya-karya perlu diapresiasi.
Berbeda dengan FFI tahun sebelumnya, Garin tidak menampik bahwa tantangan yang dihadapi oleh industri perfilman Tanah Air tahun ini cukup besar. Rata-rata film Indonesia, khususnya yang menjadi nomine FFI 2021, dibuat saat pandemi Covid-19 sudah mulai melanda.
“Kalau tahun lalu, sebagian [film] dibikin sebelum pandemi. Kalau sekarang mayoritas dibuat saat pandemi, harus mengikuti protokol Covid, ada krisis bioskop dan sebagainya. Namun, jumlah film kita menarik di tengah pandemi sampai 70 film dalam periode setahun. Itu cukup adaptif dan merupakan kemenangan kreatif. Oleh karena itu, FFI harus bisa adaptasi dan menyesuaikan di tengah krisis,” ucapnya.
Senada, Wakil Ketua Badan Perfilman Indonesia (BFI) Dewi Umaya Rachman mengatakan, meskipun pandemi Covid-19 masih melanda Tanah Air, perfilman nasional justru kembali memperlihatkan geliatnya.
“Pada kondisi pandemi seperti ini, kemudian perfilman nasional kembali bergiat. Kita melihat bahwa jajaran film yang masuk sebagai nomine juga sangat luar biasa,” ujar Dewi pada konferensi pers FFI, pekan lalu.
Sejak awal pandemi pada Maret 2020, Dewi mengatakan perfilman Indonesia ditantang untuk menjadi lebih adaptif terhadap kondisi apapun. Sinema Tanah Air dinilai perlu mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi dan kondisi, baik dari sisi produksi maupun distribusinya.
“Struggling itu biasa. Kita dari dulu juga struggling. Tantangannya itu adalah untuk menciptakan gairah [perfilman], dan terus menghasilkan karya-karya yang baik mau ditayangkan di media manapun. Justru saat pandemi ini kita membuka jalan-jalan baru,” jelas Dewi.
Beberapa film yang dinobatkan sebagai nomine pun tidak ditayangkan di bioskop seperti biasanya. Contohnya, Ali & Ratu Ratu Queens (Lucky Kuswandi) langsung ditayangkan di platform layanan streaming pada Juni 2021 lalu. Film ini bahkan berhasil mendapatkan 16 nominasi termasuk film panjang, sutradara dan skenario terbaik.
Baca juga: Berdaya di Tengah Pandemi – Upaya Menjaga Kewarasan
Tidak hanya itu, sejumlah film yang dinobatkan sebagai nomine pada FFI tahun ini juga diputar dan ada yang memenangkan penghargaan di festival film internasional. Beberapa di antaranya adalah film panjang Yuni (Kamila Andini) dan Penyalin Cahaya (Wregas Bhanuteja), serta film pendek Dear To Me (Monica Vanessa Tedja).
Prestasi dari film-film Indonesia tahun ini dinilai menjadi angin segar bagi industri perfilman dalam negeri, maupun kancah perfilman dunia.
“Maka saya harapkan film Indonesia dengan media baru ini mampu melakukan standardisasi untuk [lebih] produktif, bukan kita jadi pasar besar pengkonsumsi produk-produk dunia. Itu harapan saya yang terbesar,” tutup Garin.
Malam Anugerah Piala Citra FFI 2021 akan diadakan pada 10 November 2021, dan bertepatan dengan Hari Pahlawan. Komite FFI menyampaikan bahwa gelaran ini sengaja dilaksanakan bertepatan dengan momen tersebut untuk mendukung Bapak Perfilman Indonesia, Usmar Ismail, sebagai pahlawan nasional.
Acara tersebut akan disiarkan langsung melalui Kompas TV serta kanal YouTube Festival Film Indonesia dan Kemendikbudristek RI.