Wawancara

Film Anak-Anak, Harapan dan Dunia yang Suram (Sebuah Wawancara dengan Brian Durnin, Sutradara Spilt Milk)

Bicara tentang film anak-anak biasanya di benak kita hadir dunia yang ringan dan menyenangkan, keluarga yang mencintai dan teman-teman yang mengasihi. Tapi jangan harap hidup minim beban itu ada di film arahan Brian Durnin – paling tidak lewat film panjang perdananya Spilt Milk (2024) – yang berlatar Irlandia tahun 80-an, di mana resesi memicu banyak pengangguran dan anak-anak muda terjebak dalam candu obat-obatan. Dalam situasi suram ini, kita dipertemukan dengan karakter bernama Bobby, bocah sebelas tahun yang terobsesi menjadi detektif seperti Kojak, tokoh di serial TV. Lewat sudut pandang Bobby, Brian Durnin tidak berusaha menyembunyikan topik sensitif dan gelap dari cerita anak-anak yang ia buat. Di dalam kondisi yang berat, memang nasib tidak tebang pilih, siapapun terkena dampak. Termasuk Bobby yang menyaksikan kakaknya terjerat narkoba, orang tua temannya yang susah dapat pekerjaan, hingga konflik domestik di rumahnya sendiri.

Meski tema yang diangkat cukup berat, namun terlihat ada batasan yang dibuat Brian Durnin di dalam Spilt Milk. Ada optimisme yang muncul seperti dalam film anak-anak pada umumnya dengan perubahan menuju lebih baik. Di dalam sesi Film Talk setelah pemutaran filmnya di Europe on Screen 2025, Durnin menitikberatkan beberapa hal dalam membuat film anak-anak, antara lain jangan sungkan memasukkan isu yang “berat”, karena orang dewasa sendiri juga bisa belajar pada bagaimana anak-anak bisa menghadapi masa sulit. Ia juga mengingatkan, jangan anggap remeh pemikiran anak-anak dengan membuat cerita semudah mungkin supaya anak-anak paham. Karena mereka juga “pintar”.

Di sela aktivitas Brian Durnin di Europe on Screen, saya sempat mengobrol sejenak dengannya terkait film Irlandia, film anak-anak, dan dunia yang semakin suram.

(IS = Infoscreening, BD = Brian Durnin)

IS = Jadi, apa yang membuatmu tertarik pada film? Apa yang membuatmu ingin membuat film?

BD = Pertanyaan ini mengingatkan saya pada masa-masa menonton film bersama ayah saya waktu saya kecil, kegiatan yang sangat saya suka. Salah satu film yang kami tonton adalah The Sting (1973), filmnya Robert Redford. Saya selalu terikat dengan film-film Robert Redford. Menonton film adalah momen yang menakjubkan. Tapi saat itu, tidak terlintas dalam benak saya untuk membuat film, karena membuat film adalah ide gila.

Waktu saya kuliah, saya belajar filsafat, sejarah dan bahasa Inggris dalam waktu yang singkat. Dan saya mulai berpikir, saya juga ingin sekali menjadi seorang dramawan. Saya juga aktif bermusik. Saya ngeband dan mencoba menuliskan ide-ide kecil saya, tapi belum mengarah pada film. 

Benih-benih sebagai pembuat film mulai muncul kemudian. Saya membuat sebuah film pendek yang sangat sederhana dengan teman saya dan saya menikmati prosesnya. Saya mencoba mendaftar kampus seni. Walaupun film jelek itu tidak membuat saya masuk ke kampus seni. Tapi setelah itu, saya memutuskan untuk lebih serius. Saya pun mengambil S2, dan ternyata ada jurusan berkaitan dengan film yang diisi oleh orang-orang dari industri. 

Saya juga semakin banyak nonton film. Saya menonton film-film Martin Scorsese yang sangat saya kagumi. Saya menonton film-film David Fincher. Jika di film Scorsese saya belajar tentang penuturan, akting, penggunaan voiceover, di film Fincher saya mempelajari desain produksi, tonality, sinematografi. Selain itu, saya juga menonton film-film Alexander Payne yang memiliki simplicity dan character focus yang menginspirasi saya. Saya juga belajar character-based dari film-film Coen Brothers.

IS = Saya percaya semua latar belakang pendidikan bisa berhubungan dengan film. Bagaimana kamu menghubungkan latar belakang pendidikanmu di filsafat dan sejarah pada film?

BD = Menurut saya, semua orang harus belajar filsafat, mempertanyakan banyak hal, menelaah bagaimana otak kita bekerja dan memahami dunia. Karena di dalam film, kita mempresentasikan dunia melalui lensa sesuai dengan apa yang kita pahami. Terkait ilmu sejarah, saat ini saya mengerjakan program TV yang berhubungan dengan sejarah. Tapi di balik itu semua, saya sangat menyukai penelitian. Saya bisa sangat serius ketika meneliti. 

Untuk Spilt Milk, saya mempunyai begitu banyak sumber yang saya teliti. Bahkan untuk hal terkecil. Karena tiap hal kecil yang saya temukan itu bisa membuat saya lebih mengerti dunia. Dan saya juga mengalami bagaimana hidup di Irlandia di tahun 1984 (latar tahun Spilt Milk). Walaupun ketika itu saya masih kecil. Jadi saya bertanya pada orang tua saya, pada siapapun, terutama orang-orang yang hidup di Dublin kala itu: Bagaimana keadaan waktu itu? Bagaimana kehidupanmu? Apa kau merasa dipinggirkan? Apakah kamu pikir pemerintah tidak peduli dengan kondisi yang terjadi? Menurut saya, Irlandia saat itu memang tertinggal. Jadi, sejarah adalah bagian penting dalam hidup saya. Saya sangat suka membaca sejarah. 

IS = Tadi kamu bilang, kamu suka Scorsese, Fincher, Payne, Coen Brothers. Kita sama-sama tahu bagaimana film mereka. Sementara film pendek dan film panjangmu memiliki karakter utama anak-anak, dunia anak-anak. Bagaimana karya-karya mereka memberi inspirasi dunia anak-anakmu?

BD = Saya merasa, saya ini seperti burung murai yang mengumpulkan benda-benda dari banyak tempat. Saya mencungkil sedikit-sedikit dari mana saja. Saya tidak pernah berusaha membuat film saya sepenuhnya seperti film orang lain. Saya biasa memulai dengan menuliskan ide di atas kertas, cerita-cerita yang membuat saya terkoneksi. Kemudian saya bertanya-tanya: bagaimana jika bagian ini “dikerjakan” oleh Coen Brothers. Bagaimana mereka mengatur ritme dialog dengan sangat baik? Cara Loftus menuliskan ritme yang menarik di skenario Spilt Milk. Misalnya ketika karakter-karakter berbicara satu sama lain, lalu karakter yang lain menimpali dan semuanya saling tumpang tindih. Ini sangat menarik.

Dari segi sinematografi, saya selalu mencari sesuatu yang terasa kaya. Saya juga menyukai hal-hal yang sangat grafis. Ada beberapa komposisi di film ini yang cukup mencolok. Wide shots, yang terinspirasi dari The Florida Project (2017) milik Sean Baker. Di film itu ada huge, wide shots di mana anak-anak melewatinya. Saya berpikir… mereka begitu kecil di dunia yang besar ini. Dan itu terasa sangat relevan dengan cerita Bobby di Spilt Milk. Dia dan Nell berkeliaran di dunia besar yang tidak mereka pahami.

IS = Jadi kamu terinspirasi oleh banyak pembuat film?

BD = Ya. Saya selalu menonton film. Sedikit cinephile.

IS = Tahun lalu di Europe on Screen saya menonton film Irlandia karya Pat Collins. Judulnya That They May Face the Rising Sun. Penulisnya, Eamon Little datang ke Indonesia untuk Film Talk. Salah satu yang paling menarik buat saya adalah bagaimana lanskap Irlandia disajikan dalam film itu. Itu yang membuat film ini “Irlandia”. Bagaimana dengan filmmu? Apa yang membuat filmu disebut film Irlandia?

BD = Film ini sangat Dublin. Memotret lokasi yang spesifik di Dublin. Orang-orang dengan gaya bicara yang spesial, juga cara berinteraksi. Penuh cinta. Hangat. Murah hati. Ketika kau berada di jalan, bingung, tidak tahu mau kemana, Orang Dublin betulan akan mengajakmu masuk ke rumahnya, menyediakan teh, dan mencari cara supaya bisa membantu. Saya sangat percaya pada Dublin. Kami punya solidaritas, hasrat untuk saling membantu.

Spilt Milk sangat Irlandia karena lokasi yang spesifik, latar waktu yang spesifik pula di tahun 80-an. Masa itu adalah masa yang sangat penting bagi evolusi sebuah kota, perubahan negara secara general. Kami mengalami resesi ekonomi yang berat, susah cari uang, anak-anak muda bermigrasi. Orang-orang yang bertahan punya ketabahan. Mereka harus memiliki tekad yang kuat. Mereka juga harus tangguh. Kami memang tinggal di negara kecil. Kami hidup miskin. Tapi kami bisa menghadapi tantangan apapun. Kami ingin menunjukkan bahwa kami tidak peduli. Kami tangguh. Saya ingin menyerap semangat itu di karya saya.

Setelah itu kami mengalami periode ledakan ekonomi yang sangat besar (Celtic Tiger). Ledakan tersebut mengubah masyarakat. Mereka memiliki banyak barang. Mobil mewah. Rumah-rumah menjadi lebih besar. Semuanya berubah.

IS = Latar waktu Spilt Milk adalah dekade 80-an. Bagaimana kamu mengatur desain produksi. Menurut saya itu hal yang sangat rumit. Bagaimana kamu mendapat pendanaan?

BD = Kami sangat beruntung karena ada penyandang dana dari pemerintah yang disebut Screen Ireland. Melalui mereka, kami mendapatkan pendanaan utama untuk proyek ini. Kami juga mendapat dana dari CNN yang mendanai proyek TV dan film. Juga ada bantuan dari Screen Scotland. Mereka yakin dengan proyek ini. Mereka sepenuhnya mendukung kami. Tapi meskipun begitu, anggarannya masih sangat ketat. Maka kami harus berpikir cerdik. Kami tidak bisa menghadirkan lokasi yang berbeda-beda sepanjang film. Usaha dan dana yang diperlukan sangat besar. Sehingga di dalam film yang kamu tonton, ada banyak sekali perangkat modern yang dipindahkan. Untungnya tampilan rumah susun itu sendiri hampir sama persis dengan yang ada di tahun 80-an. Kami sangat beruntung menemukan bangunan itu. Kami bisa memanfaatkannya secara keseluruhan setiap hari sebagai basis kami.

Pada bagian interior, saya sangat memperhatikan setiap detail dari setiap properti. Itu semua penting. Seperti Coen Brothers yang memperlakukan properti dengan sangat penting. Kami punya tim yang brilian. Ada Shane McEnroe sebagai desainer produksi kami. Dia ikut serta menyempurnakan semua detail-detail kecil, juga menemukan lokasi utama. Rumah susun itu ternyata sudah memiliki banyak sekali perlengkapan masa lalu. Kami tidak pernah merasa kami kekurangan. Yang menjadi kendala besar hanyalah ketika kami harus merekam area yang lebih luas. Kami berusaha mencari tempat yang bisa kami gunakan untuk syuting di Dublin. Karena saya mengenal Dublin dengan cukup baik. Jadi saya bisa menunjukkan lokasi yang bisa kami gunakan untuk syuting dan mengakali benda-benda yang terlihat modern, seperti tiang lampu.

IS = Kita tahu apa yang tengah terjadi di dunia ini sekarang. Semuanya sedang tidak baik-baik. Bagaimana kamu memposisikan karyamu dalam situasi seperti ini?

BD = Ini pertanyaan yang sangat sulit dijawab. Saya merasa semakin banyak saya membaca berita online, semakin saya merasa sangat tertekan. Memang sangat mudah untuk menyerah begitu saja. Ibu saya lahir di New York. Jadi kami memiliki hubungan dengan Amerika. Sungguh tidak menyenangkan melihat yang terjadi. Serasa berjalan mundur.

Saya khawatir atas apa yang akan terjadi. Dan ya… setiap hari kami juga merasa sedih dengan kondisi Palestina. Maka, menjawab pertanyaanmu, saya rasa film ini menunjukkan bahwa selalu ada harapan.

Ini adalah masa yang sangat suram. Andai kita mengalami apa yang dialami oleh para tokoh dalam dunia Bobby O’Brien di Spilt Milk, bisa saja kita menyerah begitu saja. Mereka tidak menyerah. Mereka berjuang. Dan mereka menang. Harapan selalu ada dalam berbagai situasi.

Kita butuh film yang bisa membangkitkan semangat kita saat ini. Ini adalah alasan yang sangat baik untuk berkarya, untuk membuat film. Seolah kita bisa memberikan sedikit harapan, sedikit cahaya.

***

Saat ini Brian Durnin sedang mengerjakan film panjang selanjutnya. Karakternya anak-anak dengan kebutuhan khusus. Masih dengan harapan di dalam dunia yang suram.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top