Tulisan merupakan bagian dari program apprenticeship Infoscreening
Pada 22 Februari 1999, Othe dan keluarga beserta 700 keluarga lain yang tinggal di Kampung Batu Merah Dalam terpaksa mengungsi akibat konflik di Ambon, Maluku. Ia mesti berpisah dengan Maimuna serta Nafsiyah, tetangganya satu desa yang beragama Islam. Setelah tinggal di pengungsian, Othe memilih buat menetap di Dusun Kayu Tiga, Desa Soya, Kota Ambon.
Kayu Tiga berjarak tujuh kilometer dari Kampung Batu Merah Dalam. Banyak warga Kristen dari desa tersebut yang bermukim di dusun ini setelah konflik. Tapi, karena rasa rindu, Othe lantas mengajak perempuan lain berkunjung ke Kampung Batu Merah Dalam ketika hari raya Lebaran. Ide itu menakutkan bagi sebagian orang tapi rencana tersebut akhirnya terlaksana.
“Ketika turun di Batu Merah itu mereka berpelukan. Cerita sampai sore lalu malam kita pulang lagi. Tidak bisa Ambon ini dalam kondisi begini terus,” kata Othe.
Kunjungan warga Kayu Tiga itu lantas dibalas oleh warga Muslim Kampung Batu Merah di kesempatan lain. Meski takut, Maimuna tetap memberanikan diri pergi ke tempat di mana Othe tinggal. “Tangan kami keringatan. Doa mulai dari start hingga sampai tak putus,” katanya.
Saling jumpa antarwarga yang tinggal di dua tempat berbeda itu pun sanggup menyemai damai. Tak hanya Othe serta Maimuna, perempuan dan anak muda lain di film Beta Mau Jumpa juga melakukan aksi beragam agar Ambon kembali rukun. Mereka ingin mempererat hubungan seusai konflik yang terjadi 21 tahun lalu.
Trauma Konflik dan Memori Damai
Beta Mau Jumpa merupakan film kedua dari serial dokumenter Indonesian Pluralities yang dibuat Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM, The Pardee School of Global Studies Boston University, serta Watchdoc Documentary. Selasa (28/1) lalu, film ini dirilis di Ambon dan setelahnya diputar di beberapa tempat, salah satunya Studio Audio Visual Puskat Yogyakarta pada Sabtu (31/1).
Selain upaya perempuan dan anak muda membangun kembali Ambon yang damai, Beta Mau Jumpa juga menyinggung kebijakan pemerintah yang lebih memperhatikan pembangunan fisik ketimbang pemulihan trauma pascakonflik. Elga J. Sarapung selaku Direktur Institut Dialog Antariman di Indonesia (DIAN/Interfidei) pun membahas hal yang sama saat diskusi. Ia menanyakan apakah trauma warga Ambon telah pulih saat ini susai sesi nonton bareng selesai.
“Pertanyaan saya sampai sekarang adalah apa benar trauma mereka sudah tersembuhkan? Suatu saat ada mahasiswa Unpatti yang ngomong ke saya, ’Tidak mungkin kami bisa memaafkan saya lihat kok bapak kami dibunuh’ Ini berapa tahun lalu ya? Dua tahun lalu saya masih ke Ambon,” ujarnya.
Elga mengatakan perbaikan yang dilakukan pemerintah memang lebih banyak di bidang infrastruktur. Padahal, menurutnya, pembetulan yang juga mesti dilakukan hingga tuntas adalah psikis masyarakat Ambon.
“Ungkapan mahasiswa Unpatti ini kan mendalam. Apakah ini dilihat oleh pemerintah termasuk tokoh agama? Jangan-jangan mereka tidak melihat hal-hal yang begitu detail karena ini kan menyangkut trauma psikis,” tambahnya.
Apa yang disampaikan Elga lantas diamini oleh Patricia, salah satu peserta nonton bareng dan diskusi. Pendeta asal Ambon tersebut mengatakan saat ini dirinya masih menyembuhkan trauma pascakonflik yang melanda Ambon tahun 1999 hingga 2002.
Baca juga: “The Bajau”: Mengenal Suku Bajo dan Problemnya Hari Ini
“Saya saat ini sedang kuliah di UIN Sunan Kalijaga dan sekolah ini merupakan kelanjutan trauma healing bagi saya. Saya keluar dari Ambon tahun 2000 karena situasi di sana saat itu tidak menyenangkan buat sekolah. Saat di luar Ambon saya sekolah di sekolah Kristen karena trauma. Bahkan menceritakan kisah ini saja sulit bagi saya,” katanya.
Menurutnya, proses pemulihan trauma di Ambon belum selesai karena konflik menyisakan luka yang dalam akibat kehilangan rumah atau kerabat. Ia lantas mencontohkan dirinya yang mesti keluar dari rumah dan hidup terpisah dengan orang tuanya. Patricia juga harus menjaga keselamatan diri ketika sekolah. Sebab salah langkah ia bisa tertembak peluru penembak runduk atau meninggal karena keliru naik angkutan umum.
Patricia lalu menjelaskan bahwa film dokumenter Beta Mau Jumpa mampu menyampaikan pesan pentingnya memunculkan memori damai soal hubungan antarkelompok warga Ambon. Berbekal ingatan tersebut, ia berharap dirinya bisa menyembuhkan trauma lewat banyak pertemuan dengan orang lain di masa mendatang.
“Menonton film ini membuat saya belajar kembali bahwa memori dan narasi damai itu perlu ada supaya kita jadi punya memori yang bisa menyembuhkan luka. Makanya saya bersyukur dengan kegiatan nonton bareng dan diskusi ini. Semoga banyak orang yang masih trauma juga bisa menemukan kesembuhannya sendiri. Seperti judul film, mungkin perjumpaan yang intens nanti yang akan memulihkan kami,” jelasnya.
