Berita

Dokumenter “House No.15” Berkompetisi di RAI Ethnographic Film Festival 2021

Siaran Pers

Film dokumenter pendek House No.15 karya Aryo Danusiri kembali berkompetisi di RAI Film Festival 2021, London. Film ini akan berkompetisi untuk The RAI & Marsh Short Film Prize. Setelah world premiere di Jogja Asian Film festival (JAFF) pada 2018, karya ini sudah melanglang buana ke berbagai festival dan biennial, termasuk Toronto Biennial 2019.

Tentang House No.15

Dalam dokumenter House No.15 ini, Aryo memvisualkan pengalamannya terlibat dalam kehidupan masyarakat bantaran kali Ciliwung di Kampung Bukit Duri, sebelum digusur rata tahun 2016. Ketimbang menangkap adegan-adegan kekejaman bulldozer, Aryo memilih berbagi perjumpaan etnografisnya lewat adegan-adegan keseharian yang melibatkan anak-anak, seorang nenek, dan musim hujan di bulan Desember 2014. Dengan gaya single-shot-cinema, Aryo menyajikan adegan non-hiruk-pikuk politik ini hanya dalam kamera statis berdurasi 7 menit. Melalui karya ini Aryo tidak berambisi untuk memekikkan pandangan politik. Namun sebuah kritik budaya dalam perubahan cepat urbanitas Jakarta yang meminggirkan orang-orang kecil.

“Keberpihakan tidak hanya disampaikan lewat hard facts atas kasus politik yang terjadi, tetapi juga berbagai pengalaman, experiential facts juga penting,“ jelas Aryo.

Aryo pun menambahkan, sering kali adegan keseharian yang memperlihatkan aspek kemanusiaan terabaikan dalam film-film yang terlalu fokus pada kampanye politik.

Mengenal Sensory Ethnography Lab

Film House No. 15 diproduksi oleh Aryo di Sensory Ethnography Lab (SEL) Harvard University, sebagai karya disertasinya. Aryo telah menyelesaikan studi doktoral yang unik, yaitu menggabungkan disiplin antropologi dan film. Dalam beberapa tahun terakhir ini, SEL dianggap sebagai new voice dalam perkembangan dokumenter avant-garde dunia. Dokumenter Leviathan (2012) atau Manakamana (2012) adalah beberapa yang diproduksi di SEL. Bersama SEL, rumah produksi Ragam Media Network pun turut berkontribusi dalam terwujudnya House No. 15.

Kiprah Aryo Danusiri

Film-film Aryo telah banyak ditayangkan di berbagai festival film hak asasi manusia tingkat dunia. Menurut David Hanan, seorang ahli film dari Universitas Monash (Australia), Aryo adalah pionir untuk film observasional di Indonesia. Film pertamanya, Kameng Gampoeng (The Village Goat), tentang penderitaan rakyat Aceh di bawah terror DOM (Daerah Operasi Militer), mengikuti kompetisi Amnesty Film Festival 2001 di Amsterdam. Di festival Amnesty ini, Aryo berkesempatan menyaksikan berbagai film yang di luar stereotipe film HAM yang umumnya fokus pada penderitaan korban atau heroisme aktivis. Film-film yang non-stereotipikal tersebut tidak berambisi untuk berkhotbah. Namun menyajikan bahan dialog atau krisitisme dengan menampilkan figur-figur manusia yang kompleks: quasi-korban sekaligus quasi-perlawanan.

“Saya berlajar banyak dari Amnesty Film Festival, yang mengubah – tidak saja pandangan saya tentang kampanye HAM – tetapi juga antropologi HAM,” tambah Aryo.

Selain itu, film ke-4 Aryo mengenai Aceh, Playing Between Elephants, meraih penghargaan Film HAM Terbaik di Jakarta International Film Festival ke-9 tahun 2007.

RAI Ethnographic Film Festival

Film etnografi adalah genre dokumenter yang memiliki sensitifitas terhadap pengalaman kemanusian dan budaya masyarakat dengan pendekatan antropologis. Sejak tahun 1982, RAI Festival memiliki keistimewaan sebagai festival film etnografi dua tahunan, yang fokus pada inovasi baru dalam merepresentasikan dinamika sosial, budaya, dan politik. Alih-alih mereproduksi gambaran yang eksotis dan romantik mengenai suatu masyarakat, film-film dalam festival ini justru mengkritisi marginalisasi dan rasisme.

Film House No.15 masuk dalam program Spark! Experimental short form pushing the boundaries of ethnographic film. Termasuk dalam program ini ialah tiga film dari Democratic Republic of the Congo, Tanzania, dan Senegal. Film dari negara-negara ini tidak memberikan imaji-imaji mengenai perdukunan atau tari-tarian tradisional, namun wajah-wajah muram pembangunan dari global south (negara-negara selatan).

Baca juga: Film “Berlabuh” Berkompetisi di Festival Film Pendek Oberhausen 2021

Aryo sudah membuat film sejak tahun 1999, dan masih terus aktif membuat film dokumenter dan etnografi experimental. Aryo saat ini sedang mempersiapkan film panjang ethnofictionnya yang berjudul Lelaki yang Bertelur Emas. Karya film ini didasarkan atas kisah-kisah etnografis yang dikumpulkan Aryo di sebuah kampung di belahan utara kota Jakarta.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top