Berita
Kembali Memanjakan Mata, Telinga, dan Lidah di Film Musik Makan 2020
Pagi hari menjelang siang, pusat kebudayaan Jerman, Goethe Institute, Jakarta telah ramai oleh anak muda. Sebagian tampak ingin les, namun di sisi lain ada pula kerumunan yang tengah mempersiapkan stan makanan. Ya, hari minggu lalu (8/03/2020) Film Musik Makan (FMM) 2020 digelar. Sebuah acara pemutaran film yang dipadukan dengan konsep bazar makanan dan konser musik kecil-kecilan.
Meski Jakarta masih diliputi kekhawatiran ancaman virus corona, tampaknya tidak mengurungkan niat anak-anak muda itu untuk berkerumun, belajar, dan bersenang-senang. Tentunya dengan sejumlah persiapan, seperti pemeriksaan suhu tubuh di pintu masuk dan disediakannya cairan pembersih tangan di toilet. Lagi pula, bukankah kekhawatiran berlebih juga bagian dari masalah?
Membicarakan Film, Mahasiswa, dan Film Mahasiswa
Sekitar pukul 10.20, FMM 2020 dibuka dengan diskusi bertajuk “Film, Mahasiswa, dan Film Mahasiswa.” Diskusi menghadirkan pembicara Makbul Mubarak (Sutradara dan dosen film UMN), Ekky Imanjaya (Kritikus dan dosen film Binus), Piet Patrik (Sutradara dan Mahasiswa film) serta dipandu oleh moderator Lulu Ratna dari Boemboe Forum.
Membuka diskusi, Ekky Imanjaya melontarkan pernyataan menarik bahwa “nature” dari mahasiswa adalah jiwa muda, pemberontak, dan kritis. Ekky pun mengutip kalimat Cak Nur, “Mahasiswa itu harus ‘kiri’, kiri dalam arti menjadi oposisi.” Ekky seolah ingin menekankan bahwa, pada dasarnya mahasiswa memiliki modal yang baik dalam membuat film.
Diskusi berlanjut membahas seputar perkembangan zaman. Ketika batasan hampir tidak ada lagi, semua seolah melebur dan informasi kian mudah didapatkan. Sehingga pertanyaan yang muncul adalah, “Lalu apa pentingnya sekolah film?”
Mahasiswa film tentu dimudahkan dengan berbagai hal yang telah disediakan. Mulai dari kurikulum, pengajar yang kompeten, sarana dan prasarana, lingkungan yang mendukung, dan jaringan. Meski demikian, semua itu di era seperti saat ini tetap dapat diperoleh walau tak bersekolah film. Konsekuensinya tentu, usaha untuk mendapatkannya harus berkali-kali lipat lebih keras. “Semua orang bisa bikin film, tapi tidak semua orang bisa bikin film bagus” ujar Ekky.
Menyambung pemaparan Ekky, Makbul Mubarak menyinggung betapa pentingnya interaksi mahasiswa film dengan sesamanya dan lingkungan sekitar. “Kunci sukses di film adalah nongkrong” paparnya. Pernyataan Makbul menjawab soal hambatan minimnya keterserapan mahasiswa film dalam industri. Program magang yang lazimnya diberikan, tampaknya tidak begitu berarti tanpa tindak lanjut interaksi yang intens.
Interaksi yang oleh Makbul diistilahkan sebagai “nongkrong” ini tampak sepele dan tidak serius, tapi sebenarnya menjawab salah satu unsur penting menuju industri yaitu jaringan. Selain itu, dalam tongkronganlah sering kali ide-ide cemerlang muncul. Nongkrong pula menjawab masalah lain mahasiswa film yaitu kurangnya literasi keilmuan di bidang lain. Nongkrong dengan mahasiswa filsafat tentu akan memberi perspektif baru, ketimbang hanya berkutat dengan sesama mahasiswa film. Mahasiswa yang “keluar” kampus pun disebut Makbul dapat memberi keragaman pengalaman yang baik bagi pembuat film.
Saat ditanya, sejauh apa mahasiswa film bisa mengeksplorasi idenya, adakah batasan khusus yang perlu dipatuhi? Makbul hanya menggarisbawahi satu hal, “Kebebasan berkreasi itu harus sejalan dengan kemampuan bertanggung jawab.”
Tentang Ona dan Keteguhan Menjaga Subjek
Diskusi berjalan semakin menarik, namun harus disudahi karena keterbatasan waktu. Setelah diskusi, pemutaran film pertama menampilkan karya sutradara Dwi Sujanti Nugraheni berjudul Between The Devil and Deep Blue Sea. Film dokumenter panjang ini menyoroti kisah hidup remaja bernama Ona, di Kaledupa, salah satu pulau kecil di gugusan kepulauan wilayah Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Ona dikisahkan perempuan yang memiliki tekad menjadi ahli biologi kelautan. Apabila mahasiswa kelas menengah di kota-kota besar rata-rata bergulat dengan kemalasannya sendiri. Ona harus bergulat dengan masalah-masalah di luar dirinya seperti kekurangan biaya, diremehkan, masa lalu sebagai penyintas kekerasan, perlakuan diskriminatif, dan penyakit. Pemutaran film ini terasa pas, karena bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional.
Pasca-pemutaran, diskusi dihadiri sang sutrdara Dwi Sujanti Nugraheni dan produser Prima Rusdi, keduanya memaparkan sejumlah kendala semasa produksi. Salah satunya adalah soal bagaimana membangun kepercayaan pada subjek. Prima dan Heni sepakat betapa pentingnya menjaga privasi subjek. Meski terkadang pembuat film harus dihadapkan pada visual atau bahasan yang menarik. “Diskusi antara kita itu sempat lama ya, karena ini menyangkut etika. Heni (sutradara) sangat protektif terhadap subjek, dan kita respect itu. Karena Heni sangat takut memanipulasi subjek.” ujar Prima Rusdi selaku produser.
Heni pun mengungkapkan, salah satu cara ia mendapat kepercayaan subjek dan menghindari manipulasi adalah dengan menunjukan hasil filmnya pada si subjek. “Saya tontonkan filmnya, saya bilang kalau ada yang kamu tidak suka, potong saja tidak papa.”
Baca juga: Film Musik Makan dan Cerita-Cerita Para Penyintas
Setelah pemutaran Between The Devil and Deep Blue Sea, film andalan lainnya pun diputar. Seperti Mountain Song (sutradara: Yusuf Radjamuda), kemudian disusul kompilasi film pendek yang terdiri dari Bura (sutradara: Eden Junjung), Kiwa (sutradara: Loeloe Hendra), Astral (sutradara: Piet Patrik), Jemari yang Menari di Atas Luka-Luka (sutradara: Putri Sarah Amalia), dan A Plastic Cup of Tea Before Her (sutradara: Makbul Mubarak).
Film Musik Makan 2020 berlangsung hingga malam hari. Pemutaran terakhir diisi oleh dokumenter panjang berjudul The Adams: Masa-Masa. Sebuah Dokumenter Pembuatan Album Agterplass (Sutradara: Cakti Prawirabishma). Selayaknya namanya, tentu tidak afdol apabila FMM tanpa kehadiran musik. Di akhir acara, para hadirin yang telah puas menonton dan tentunya kenyang, dihibur oleh Jirapah (DJ Set). Konser mini ini sekaligus menandakan berakhirnya FMM 2020.