Artikel

Film Nyanyian Akar Rumput: Monumen Ingatan HAM di Tahun Politik

Dokumenter garapan Yuda Kurniawan ini baru saja diumumkan masuk seleksi Busan International Film Festival ke-23, dalam seksi Wide Angle. Kami sempat mewawancarainya beberapa waktu lalu dan berbincang seputar ide gagasannya dalam film yang ia garap.

Arah Film “Nyanyian Akar Rumput”

Medio 2013 di Taman Ismail Marzuki (TIM), ada anak muda tampil di panggung dengan gitarnya. Dalam suatu helatan Asean Literary Festival, di situlah Yuda Kurniawan melihat aksi panggung Fajar Merah. Sejak itu pula ia mengetahui sosok yang ia saksikan itu, merupakan anak dari penyair yang hilang, Wiji Thukul. Tokoh yang Yuda kenal pertama kali semasa ia Sekolah Dasar, ketika selebaran puisi Wiji dibawa oleh Om sang sutradara.

Baca juga: Gemar Film Pendek #8: Suara dari Pinggir Kemerdekaan

Sutradara Balada Bala Sinema ini pun kemudian semakin tertarik untuk memasukkan Fajar masuk frame-nya. Meski belum tahu apa yang akan digarapnya. Hingga kemudian, ia melihat footage yang dimiliki sahabatnya, Lexy Rambadeta yang kerap mendokumentasikan aksi Fajar.

Titik yang kemudian menjadi salah satu penentu arah film, footage milik Lexy itu berisi saat calon presiden Joko Widodo berkampanye dengan Nawacitanya dan berjanji akan menuntaskan kasus-kasus HAM. Termasuk pengungkapan kasus Wiji Thukul, jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan wartawan.

Di Tengah Kemeriahan Jelang Pemilihan

Beberapa bulan jelang pencoblosan presiden, Yuda mengutarakan keinginannya pada Fajar untuk membuat film, ketika ia menyambanginya ke Solo, di tengah kondisi dinamika politik yang semakin meriah.

“Akhirnya seiring waktu, ngikutin keluarga mereka (Fajar Merah), ngikutin manggung, belum bisa nentuin arahnya (film) mau ke mana. Namun, semakin menuju ke pemilihan semakin intens. Kelihatan jelas sikap politik yang berharap besar kasus HAM untuk diselesaikan,” kenang Yuda saat menceritakan kembali, di Paviliun 28, Jakarta Selatan (4/7).

Dari kacamata pengamatannya, keluarga Sipon (istri Wiji Thukul) sangat berharap pada salah satu kandidat, yaitu Jokowi. Apa lagi, semasa menjadi Walikota Solo, Jokowi sempat datang ke pernikahan Fitri Nganthi Wani, kakak Fajar Merah.

“Karena mereka sudah lelah, 16 tahun kasus tidak diperhatikan. Butuh sosok, figur yang bisa dipercaya menyelesaikan kasus. Dari zaman Gusdur sampai Jokowi kan makan waktu yang cukup capek, saya pun merasakan banget ketika tinggal di sana.”

Yuda menambahkan, “Ketika muncul sosok ini, mereka menaruh harapan gede. Jokowi berjanji secara langsung ketika ia jadi Walikota, akan membantu menyelesaikan kasus Wiji Thukul. Datangnya Jokowi ke acara walimahan Fitri memberikan rasa percaya diri, seperti diperhatikan. Ditambah ketika itu, statement Jokowi yang ngomong ke media (saat jelang Pilpres).”

20 Tahun Tragedi Mei

Film yang digarap hampir selama tiga tahun dengan Yuda sebagai videografer tunggal ini juga merekam perjalanan Fajar Merah mengenal bapaknya, lewat lagu-lagunya, termasuk puisi yang dilagukannya. Yuda merencanakan awalnya film ini selesai ketika Fajar menyelesaikan album. Namun, usai itu rupanya berlanjut.

“Memang dari awal rencana rilis tahun 2018, bertepatan dengan 20 tahun tragedi Mei, dan ternyata sampai saat ini tidak terjadi apa-apa. Diem aja pemerintah. AksiKamisan masih melakukan aksinya tiap Kamis, tidak ada respon serius. Itu baru kemarin aja ada respon, itu juga menjelang pilpres lagi,” kata Yuda.

“Selama empat tahun ini ngapain aja? Kita tahu pemerintah tidak serius. Padahal keluarga terus berharap, mereka capek. Lewat film ini juga sebagai upaya trauma healing buat mereka. Supaya penonton juga punya spirit, keluarga penyintas saja masih bisa berkarya. Tanpa harus berlarut dalam kesedihan.”

Baca juga: Membingkai Perjuangan 25 Tahun Lalu: Marsinah

Yuda memang sengaja menghadirkan gambaran pilpres empat tahun silam. Ketika ada seorang anak yang kehilangan bapaknya, hingga 16 tahun kemudian muncul figur yang diharapkan, yang mampu menyelesaikan kasus HAM. Termasuk kasus bapaknya, yang dihilangkan negara.

Kini, Pilpres sebentar lagi digelar. Mengulang head-to-head pilpres sebelumnya. Mengiringi itu, Nyanyian Akar Rumput (2018) hadir, “Sebagai monument ingatan buat semua, bahwa ini pernah terjadi di Indonesia. Di sisi lain, ini juga jadi penanda zaman dari gejolak jiwa muda di tengah pilpres 2014 silam,” tutup Yuda.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top