Madani Film Festival tahun ini menyajikan sejumlah program menarik yang patut diikuti, salah satunya adalah “Filming Afghanistan”. Program ini fokus mengupas bagaimana filmmaker di Afghanistan bisa tetap memproduksi film di tengah situasi yang penuh ancaman. Dihelat secara virtual pada Senin (30/11) lalu, program ini diawali dengan pemutaran tiga film asal Afghanistan: Water, Elephantbird, dan The Lady with Purple Shoes. Program berlanjut dengan diskusi East Cinema: Filming Afghanistan yang disiarkan melalui kanal Youtube Madani Film Festival. Dipandu oleh Ekky Imanjaya, sesi diskusi ini menghadirkan pembicara Sayed Jalal Rohani, sutradara asal Afghanistan dan Sofia Setyorini, pendiri East Cinema.
Pada sesi ini, Jalal berbagi cerita tentang bagaimana ia dan filmmaker lainnya di Afghanistan memproduksi film di tengah konflik yang penuh tekanan dari berbagai sudut. Sofia juga turut berbagi pandangannya seputar film dan Afghanistan, mengingat ia telah lama mendalami film-film yang diproduksi di negara Timur Tengah. Ia juga bercerita tentang East Cinema yang ia inisiasi, sebuah program yang bergerak untuk mengenalkan film-film dari negara konflik agar dapat dikenal oleh masyarakat luas.
Merawat Imajinasi di Tengah Gejolak
Afghanistan masih berhadapan dengan situasi yang tidak kondusif dan penuh konflik. Namun, keadaan itu tidak menyurutkan imajinasi warganya dalam membuat film, termasuk film-film yang tayang di Madani Film Festival tahun ini. Water, Elephantbird, dan The Lady with Purple Shoes membuktikan bahwa kreativitas mereka tidak kalah dari negara lain. Filmmaker Afghanistan—melalui film-filmnya—berhasil mengawinkan imajinasi dengan situasi yang terjadi di negaranya saat ini.
Hal tersebut dapat dilihat di film Water yang disutradarai oleh Jalal Rohani. Water mengangkat kisah seorang anak yang menjadi korban perdagangan manusia dan harus menjalani kerasnya kehidupan di jalanan. Film Jalal lainnya, Elephantbird, punya cerita berbeda: kisah seorang lelaki tua yang punya keinginan terakhir untuk memberikan “burung-gajah” (kalkun) kesayangannya kepada sang cucu. Meski mengangkat isu personal, film ini menampilkan masalah di Afghanistan secara gamblang, yaitu masih banyaknya perampok bersenjata yang mengancam mereka. Di film Elephantbird Jalal bekerja sama dengan sutradara asal Iran, Amir Masoud Soheili. Keberanian Jalal dalam berimajinasi semakin ditunjukkan lewat film The Lady with Purple Shoes. Film ini berkisah tentang seorang perempuan yang memendam hasrat untuk berhubungan seksual. Tentunya bukan perkara mudah mengungkapkan masalah yang dipandang cukup sensitif seperti itu, apalagi untuk sebuah negara seperti Afghanistan.
Menembus Batas dalam Berkarya
Diskusi East Cinema: Filming Afghanistan menjadi ruang yang mempertemukan penonton dengan Jalal Rohani. Ada banyak perspektif baru yang muncul selama sesi diskusi, terutama cerita yang datang dari Jalal tentang perjalanannya dalam membuat film dan perkembangan film Afghanistan. Ia memulai dengan bercerita tentang sejarah film di Afghanistan, yang mana sejatinya film sudah hadir dan berkembang sejak cukup lama.
Namun, kemunculan Taliban yang kemudian berkuasa menghentikan laju perkembangan film di Afghanistan. “Rezim Taliban mematikan aktivitas film secara keseluruhan, menyita film yang beredar, bahkan menutup bioskop-bioskop yang ada di Afghanistan,” ungkap Jalal.
Baca juga: Memaknai Ulang Diri dan Keberagamaan di Madani Film Festival 2020
Keterbatasan yang masih dirasakan saat ini tidak menghentikan tekad Jalal dan filmmaker lainnya untuk membuat film. Di tengah konflik, mereka terus mencoba menembus batas agar tetap bisa berkarya. Jalal menyebutkan bahwa orang-orang Afghanistan sudah terbiasa dengan keadaan tersebut, sehingga mereka bisa membaca kapan situasi yang paling aman untuk memproduksi film.
Ada cerita dari seorang filmmaker Afghanistan yang disampaikan oleh Sofia Setyorini di sesi diskusi malam itu. Ia menyebutkan bahwa ledakan bom di Afghanistan tidak hanya terjadi setiap minggu, melainkan setiap hari. Itu menandakan bahwa tekanan yang ada di sana memang nyata dan mungkin tidak pernah terbayang oleh orang-orang di luar Afghanistan—termasuk masyarakat Indonesia. Meski begitu, kreativitas mereka dalam menghadapi masalah dan ancaman mampu menghasilkan sejumlah film apik yang patut diapresiasi.
