Infoscreening.co – Ada yang spesial dalam Singapore International Film Festival (SGIFF) 2017 di mana beberapa film Indonesia pilihan baik film panjang dan pendek akan dihadirkan dalam program bertajuk Focus – Histories of Tomorrow: Indonesian Cinema After The New Order.
Menterjemahkan pengantar singkat program yang dapat dibaca dalam laman khusus, serial Fokus tahun ini menyoroti praktik pembuatan film di Indonesia yang mengusung semangat kebebasan dan berkomunitas dalam berkarya. Mengambil momen lengsernya Suharto melalui gerakan reformasi akhir tahun 90-an, film-film yang ditampilkan mengeksplorasi ragam sinema independen Indonesia sebagai agen perubahan, melalui diseminasi pengetahuan dan keterhubungan terhadap realitas sosial.
Mengetahui tentang program, dan ketertarikan untuk mengangkat tentang ini, penulis berkesempatan untuk mewawancarai Adrian Jonathan Pasaribu yang terlibat dalam program sebagai ko-kurator, melalui line. Pada kesempatan ini Adrian menceritakan seputar latar belakang program, awal mula keterlibatannya, dan mengenai film-film dalam program ini.
P: Bisa cerita tentang awal mula diadakannya program ini?
A: Nah, yang perlu dipahami terlebih dahulu: SGIFF adalah suatu program yang menjadi bagian dari suatu platform besar bernama Singapore Media Festival (SMF). Dalam SMF, selain SGIFF, ada sejumlah program lain macam Asia TV Forum & Market (ATF), ScreenSingapore (SS), dll. Tahun ini SMF mulai mengadakan Focus, yakni highlight keragaman dan kekayaan cerita dari satu negara Asia. Indonesia jadi yang pertama, sebagai bagian dari perayaan 50 tahun hubungan bilateral Indonesia dan Singapura. Masing-masing program dalam platform SMF merespons fokus itu sesuai kekhasan masing-masing program. Dalam SGIFF, yang terwujud adalah program fokus ke perkembangan sinema Indonesia setelah 98, ketika komunitas dan inisiatif sipil menjadi semangat utamanya. (Mengenai program SMF dapat dibaca di halaman ini.)
Itu kenapa ada fokus yang sangat kuat terhadap komunitas film, atau ekosistem informal perfilman Indonesia. Balada Bala Sinema jadi pengantar yang asyik untuk itu, untuk kemudian kita melihat capaian dan penjelajahan sinematik di Indonesia, baik secara estetis maupun secara sosial-politik.
Baca juga: Balada Bala Sinema, Dokumenter Mengenai CLC dan Budaya Sinema Purbalingga
Itu kenapa kemudian Balada Bala Sinema didampingi oleh film macam Masean’s Messages, yang mengulik isu tentang 1965. Atau film macam Ziarah, yang mengulik pemaknaan dan penyusunan sejarah di tingkat akar rumput, yang mana lumrah terjadi pasca 1998. Atau film macam Sunya, yang mengulik pandangan tentang dunia sekitar melalui keyakinan atau kepercayaan kultural.
Dan lewat film-film pendek. Kompilasi 1 alias Redefining Togetherness fokus pada ragam pembacaan akan kebersamaan masyarakat melalui film-film buatan komunitas dan sineas akar rumput. Kompilasi 2 alias Grassroots Cinema fokus pada film-film pelajar dan mahasiswa, pada kekhasan pelakunya.
P: Bisa cerita gimana awal mula terlibat sebagai ko-kurator?
A: Dari SGIFF, pihak yang bertanggungjawab namanya Aishah Abu Bakar dan Low Zu Boon. Mereka sempat main ke Indonesia, tepatnya ke Jakarta dan Jogja, sekitar…. awal Agustus (2017).
Lupa berapa hari. Semingguan. Mereka janjian ketemu beberapa orang. Ada Bekraf, ada APROFI (kalo ga salah), dan sejumlah pribadi yang mereka memang sudah kenal sebelumnya atau pernah dengar namanya melalui jaringan SGIFF (udah mayan tua juga kan nih festival untuk tingkat Asia Tenggara).
Nah, kebetulan mereka sempat cari tahu soal film Indonesia lewat CP International. Kebetulan juga, si Zu Boon itu pernah kerja bareng ane pas zaman restorasi Lewat Djam Malam dulu.
Jadi ane ikutan diajak miting pas mereka di Jakarta. Ada Dimas (Jayasrana) juga ikutan waktu itu. Jadilah kami cerita-cerita soal apa yang kami pahami tentang sinema Indonesia. Tentunya kebanyakan soal komunitas film, sesederhana karena kami tumbuhnya di situ.
Mereka juga dapet cerita dari banyak angle lain juga. Angle-nya BEKRAF atau APROFI pasti beda, misalnya. Atau dari kawan-kawan di Jogja (yang gue ga terlalu tau siapa aja yang mereka temuin, di antaranya sih ada cah JAFF sama FFD).
Sekembalinya mereka ke Singapur, mereka email semua orang yang mereka ajak ngobrol di Indonesia. Termasuk ane. Beberapa hari kemudian, mereka email ane lagi. Setelah mereka diskusi internal, mereka merasa lebih oke untuk mengulik angle komunitas film (secara khusus) atau angle sinema akar rumput (secara umum). Dan mereka merasa gue orang yang tepat buat nemenin mereka ngulik angle itu. (mungkin juga karena mereka tereksposnya ke tulisan-tulisan di CP International, yang kalo kata Zu Boon tulisannya sungguh “left-wing”).
Prosesnya simpel sebenernya. Mereka minta ane cerita lagi dengan lebih detail, sambil ngasih beberapa film yang bisa mereka jadiin referensi awal. Jadilah gue menunjukkan 9808 sama Balada Bala Sinema. Sama Kantata Takwa.
Dari situ mulai kesusun programnya. Tentunya ada beberapa “aturan” festival yang harus diikuti. Misalkan, tayangkan film yang belum pernah tayang di SGIFF sebelumnya. Itu kenapa 9808 sama Kantata jadi ga bisa tayang di program ini, padahal pas banget sebenernya. Atau, jangan tayangin film yang terlalu tua atau di bawah 2010, supaya dapet rasa kontemporer-nya. Itu arahan-arahan dari petinggi festivalnya sih. Aishah sama Zu Boon mah selow sebenernya.
Dan keselowan itu kelihatan dengan mereka buka kesempatan buat film-film pelajar, misalnya. Itu kan jenis-jenis film yang kita tahu punya value di sini, tapi bakal susah nembus festival film internasional. Sesederhana karena capaian teknisnya atau lokalitasnya ga bakal bunyi di luar sana.
Makanya di kompilasi Grassroots Cinema itu bisa masuk film kaya Urut Sewu Bercerita sama Ijolan sama Cermin. Tiga-tiganya bikinan nak SMA (setidaknya pas dibikin, sekarang sih beberapa dah kuliah bocahe).
Keselowan itu sih yang menarique dari Aishah dan Zu Boon ini.
Berikut daftar film dalam Focus – Histories of Tomorrow: Indonesian Cinema After The New Order:
Film panjang
Massean Messages –Dir: Dwitra J. Ariana (2016)
Balada Bala Sinema – Dir: Yuda Kurniawan (2017)
Sunya –Dir: Hari Suharyadi (2016)
Ziarah – Dir: BW. Purba Negara (2016)
Kompilasi Film Pendek
Focus – Programme 1: Grassroot Cinema
Ijolan – Dir: Eka Susilawati (2015)
Cermin – Dir: Sarah Adilah (2015)
Urut Sewu Bercerita – Dir: Dewi Nur Aeni (2016)
Menenggelamkan Mata – Dir: Feranda Aries Monica (2016)
Jalan Pulang – Dir: Ignasius Somalinggi (2015)
Dewi Pulang – Dir: Candra Aditya (2017)
Focus – Programme 2: Redefining Togetherness
The Nameless Boy – Dir: Diego Batara Mahameru (2017)
Sepanjang Jalan Satu Arah – Dir: Bani Nasution (2016)
Pangreh – Dir: Harvan Agustriansyah (2016)
Mesin Tanah – Dir: Wimar Herdanto (2016)
Seorang Kambing – Dir: Tunggul Banjaransari (2017)
Informasi lebih lanjut mengenai program dan festival diunggah secara berkala pada website festival.
Mengenai Adrian Jonathan Pasaribu
Dari 2007 sampai 2010, mondar-mandir sebagai pengurus program di Kinoki, bioskop alternatif di Yogyakarta. Sempat terlibat di filmindonesia.or.id sebagai anggota redaksi, Festival Film Solo sebagai kurator, dan Berlinale Talent Campus 2013 sebagai kritikus film. Saat ini menjabat sebagai Ketua bidang Apresiasi, Literasi dan Pengarsipan di Badan Perfilman Indonesia.
