Artikel

Gaduh Revitalisasi TIM dan Nasib Ruang Putar Kita

“Taman Ismail Marzuki (TIM) bagaimana pun dia adalah ruang yang membesarkan banyak orang. Mungkin hampir seluruh orang yang ada di ruangan ini.”

Begitulah sepenggal pendapat Hikmat Darmawan selaku Ketua Komite Film Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada acara diskusi bertajuk “Revitalisasi TIM: Membayangkan Pusat Kesenian Ideal Masa Depan” (20/12/2019) di kantor Tempo. Turut menemani Hikmat adalah Mario F Lawi seorang sastrawan muda, dan Imam Hadi Purnomo Kepala Unit Pengelola Pusat Kesenian Jakarta (UP PKJ) TIM. Dimoderatori oleh Iwan Kurniawan dari Teras Budaya selaku salah satu penyelenggara acara.

Penggalan kalimat Hikmat dilanjutkan dengan sejumlah kisah nostalgianya mengenang masa-masa bergiat di TIM. Bagi para pegiat dan penikmat seni, TIM bukan hanya sekadar ruang– wilayah dan bangunan. Melampaui itu, TIM adalah “laboratorium”. Ada pula yang menyebut–meminjam istilah Mario F Lawi–TIM tak sekadar ruang namun juga situasi. Telah banyak seniman besar, dengan karya besar lahir dari TIM, tentunya beserta kenangan-kenangan berprosesnya.

Gaduh Revitalisasi TIM

Namun setahun belakangan ini, publik, terutama di Jakarta, dibuat ramai dengan direvitalisasinya TIM. Pro dan kontra ramai bermunculan, terutama soal pembangunan hotel di TIM. Mereka yang kontra merasa arah dari pembangunan ini tidak jauh dari upaya komersialisasi TIM.

Namun selain soal komersialisasi, isu yang juga menjadi perbincangan hangat adalah rancangan bangunan TIM. Bagaimana pun TIM merupakan ruang yang memiliki banyak kegunaan, berbagai kepentingan seniman dan masyarakat ada di situ. Mulai dari teater, tari, musik, seni rupa, sastra, film dan masih banyak lagi. Tidak hanya sebagai tempat berproses, TIM bahkan sebagai tempat memamerkan dan menyimpan karya. Setiap bidang itu adalah unik, membutuhkan spesifikasi sarana dan prasarana yang berbeda-beda.

“Ada banyak PR. Saya lihat maketnya, bagus dari luar. Tapi saat kita gali memang banyak pertanyaan. Sederhana saja, kemarin waktu ada pameran di Galnas (Galeri Nasional) ada orang film, produser, tanya ke stafnya ‘Ini Kineforum ada di mana ya?’ Lalu stafnya bilang ‘Kineforum apa ya?’ jadi memang tidak terjadi percakapan langsung. Risetnya adalah riset arsip, bukan riset bicara langsung” ungkap Hikmat dalam diskusi.

Nasib Ruang Putar Kita

Bagi mereka para pegiat dan pencinta film, terutama di Jakarta, kemungkinan besar tahu, TIM memiliki dua ruang pemutaran film yaitu Kineforum dan XXI. Kineforum adalah ruang putar berkonsep microcinema yang kebanyakan memutar film alternatif/auteur. Satunya lagi telah populer kita kenal sebagai salah satu jaringan bioskop besar di Indonesia.

Diwawancarai secara terpisah, Hikmat Darmawan menerangkan bahwa menurut presentasi terakhir dari pihak pemegang proyek PT Jakarta Propertindo (Jakpro), nantinya akan tetap ada dua ruang putar. Namun belum jelas apakah Kineforum akan berkonsep sama seperti sebelumnya atau tidak, dan untuk bioskop XXI pun belum diketahui akan tetap dipegang XXI atau jaringan bioskop lain.

Hikmat pun menerangkan dalam proses revitalisasi ini, perubahan rencana (revisi) adalah hal yang biasa. Termasuk soal nasib dua ruang putar di TIM itu.

“Disediakan namanya ‘pusat film’, nah rupanya belum ada informasi yang jelas bagi para perancang itu. Itu seharusnya Kineforum kan. Jadi ‘pusat film’ itu hanya disebutkan, dia ada fungsinya tapi belum jelas perinciannya. Nah, di situlah kami dari Komite Film mengadvokasi bahwa, ya jangan sampai gak ada Kineforum itu.”

Pentingnya Interaksi

Apa yang disampaikan Hikmat, dapat menjadi gambaran betapa kurangnya interaksi antara pemegang proyek dan pelaku/pengguna TIM. Padahal, seperti yang disinggung sebelumnya, setiap bidang dalam TIM memiliki spesifikasi yang berbeda dan unik. Dan sudah barang tentu, pihak yang paling tahu spesifikasi itu adalah para pelaku/pengguna TIM.

Berbicara soal revitalisasi, tentu yang ditunggu-tunggu adalah pembaruan. Hikmat mengatakan, berbagai aspek soal standar ruang pemutaran di TIM, termasuk soal kapasitas, sedang dalam proses pendetailan.

Baca juga: Film “Semesta” dari Produser Nicholas Saputra Siap Tayang Awal 2020

“Saya mengadvokasikan, bahwa pengelola Kineforum selama ini harus dilibatkan untuk spesifikasi teknis. Karena kami mempunyai standar pemutaran” terang Hikmat.

Diskusi berjalan cukup panas, namun sayang harus diakhiri karena keterbatasan waktu. Sejumlah peserta diskusi tampak belum puas menyampaikan aspirasinya. Namun demikian, setidaknya sejumlah poin penting telah diutarakan. Satu hal yang jelas, keriuhan beberapa bulan ini harus bermuara pada dampak positif. Bukan sebaliknya, membawa TIM pada ketidakjelasan pembangunan. Dan untuk pihak pemprov serta pemegang proyek, semoga tidak memandang “jeritan” seniman dan masyarakat sebagai penghambat, namun merupakan bentuk kepedulian mereka pada ruang bernama Taman Ismail Marzuki.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top