Infoscreening.co – Banyak hal terjadi di sekeliling, namun pandangan tiap individu pada hal yang sama bisa berbeda sama sekali. Dalam proses membuat film, tiap sineas tidak hanya punya keleluasaan menangkap kejadian di sekitar mereka, namun juga menumpahkan pandangan mereka akan kejadian tersebut.
Paling tidak itu yang terlihat dalam pemutaran dan diskusi Gemar Film Pendek #6 lalu di Kineforum melalui film Ojek Lusi (Winner Wijaya, 2017), Pekak (Joko Wiradinata, 2018), The Nameless Boy (Diego Batara Mahameru, 2017), Amin (Vedy Santoso, 2015), dan C’est La Vie (Ratrikarla Bhre Aditya, 2017) (14/4). Melalui program ini, penonton dapat melihat kembali kejadian-kejadian penting di Indonesia dan pandangan pembuat film atas kejadian tersebut. Mulai dari seputar lumpur Lapindo di Sidoarjo dalam Ojek Lusi, demo buruh dalam Pekak, harapan dan doa yang dipanjatkan melalui sebuah layangan dalam film Amin, demo beruntun sebagai reaksi terhadap pidato Gubernur saat itu –Basuki Tjahaja Purnama– dalam dalam film The Nameless Boy, sampai pada seputar korban paska ’65 dalam film C’est La Vie.
Dalam Gemar Film Pendek #6, hadir pula para pembuat film untuk melengkapi sesi diskusi. Melalui sesi diskusi, penonton mengonfirmasi langsung pandangan dan persepsi pembuat film atas berbagai isu yang diangkat.
Program Gemar Film Pendek #6 kali ini berada dalam Rumput Tetangga, sebuah program besar Kineforum untuk bulan April 2018. Novia Puspa Sari, dari organisasi Boemboe, menjelaskan, “Program Gemar Film Pendek #6 menggambarkan keberadaan Indonesia sebagai bagian dari Asia Tenggara dengan sejarah masa lalu yang terus menghantui, radikalisasi agama yang meningkat, ketimpangan ekonomi, kesenjangan sosial hingga tergerusnya nilai-nilai tradisi.”
Baca juga: Mengintip Sibuk Sendiri Negara Asia Tenggara dalam Rumput Tetangga
Kejadian dan Perspektif
Ojek Lusi dibuat oleh Winner Wijaya, seorang mahasiswa program S1 yang tentu masih sangat muda ketika luapan lumpur bermula. Film Ojek Lusi menjadi amat apa adanya (artian positif), tanpa tendensi atau mendramatisasi. Namun film ini tetap tidak meninggalkan hal-hal penting dari sisi tukang ojek, sebagai pengungsi yang rumahnya terendam. Bahkan salah satu tukang ojek ikut berbagi teori konspirasi atas tragedi Lumpur Sidoarjo. Pelancong yang mendatangi lokasi bencana mau tidak mau telah melihat pemandangan ini sebagai hal yang kasual, walaupun ada juga yang terlihat menumpahkan emosinya di depan kamera.
Usai pemutaran, Winner menceritakan bahwa ia mendapat cerita seputar tukang ojek yang jualan DVD (dokumenter bencana Lapindo) dari temannya, Antonius Wilson –produser Ojek Lusi. Menurut Winner dan Antonius, tukang ojek di sekitar Lumpur Lapindo sangat unik dan mungkin hanya ada satu-satunya di dunia. “Bencana dijadikan tempat wisata, terus para korbannya malah yang jadi tour guide-nya.”
Keunikan ini, menjadi sumber utama ketertarikannya untuk membuat film Ojek Lusi. “Kayaknya belum ada yang membuat film tentang itu, biasanya yang difilmkan cuma lumpurnya aja sedih-sedihnya aja, tapi nggak pernah orang-orang ini,” terang Winner.
Dengan hiruk pikuk perdebatan media sosial dan pembingkaian media seputar tuntutan buruh yang terjadi tiap tahun, kehadiran pembuat film membuat kita dapat melihat sudut pandang yang terbengkalai. Film Pekak menghadirkan sisi lain yang tidak terlihat saat demo, yaitu keseharian seorang buruh perempuan dalam mengelola urusan rumah tangga dengan cermat. Belum lagi drama yang terjadi di dalamnya. Melalui rangkaian sekuens, pembuat film menyampaikan gagasannya tentang demo/unjuk rasa yang menjadi cara untuk menyuarakan beban rumah tangga yang semakin tinggi sementara penghasilan kerja tidak dapat memenuhi kebutuhan.
Demo berjlid jelang pemilihan kepala daerah 2017 yang merupakan reaksi atas pidato gubernur petahana, diangkat dalam film pendek The Nameless Boy. Haikal, editor The Nameless Boy, menyampaikan bahwa alasan dibalik pembuatan film ini adalah ujaran kebencian yang disuarakan di tempat umum –tempat banyak anak di bawah umur yang dapat mendengar dan terpengaruh.
Dalam film dan diskusi, terlihat bagaimana perspektif pembuat film atas kejadian, dan sebagaimana yang dijelaskan di awal, seorang pembuat film bebas memiliki perspektif yang berbeda terhadap kejadian yang sama. Berlawanan dengan perspektif yang diambil dalam film pendek The Nameless Boy, di layar arus utama sendiri peristiwa ini diambil dalam sudut pandang berbeda melalui sebuah film panjang yang akan tayang. Bahkan kebebasan perspektif juga muncul dalam ruang menonton Kineforum. Sebuah komentar seputar terjemahan dipaparkan oleh penonton, yang bisa jadi merupakan manifestasi akan pandangan yang berbeda dengan pembuat film.
Telah tiga kali menonton C’est La Vie termasuk pada pemutaran kali ini, dan selalu merasakan hal yang sama. Kesempatan kali ini digunakan penulis untuk menanyakan seputar ganjalan yang dirasakan dari saat pertama menonton; yaitu editing yang menghadirkan teks besar “ITULAH HIDUP” usai bagian kredit yang menyebutkan para penyitas tragedi ‘65. Merupakan kejadian yang dekat bagi Ratikarla Bhre Aditya (biasa disapa Bhre), ia kemudian memaparkan pandangan pribadinya terhadap peristiwa yang terjadi. Pandangan pribadi tersebut termanifestasikan melalui judul yang muncul berulang-ulang selama film, yang kemudian menjadi pesan pribadi terhadap para penyitas. Pandangan ini rasa-rasanya juga bukan hal yang umum. Bhre sendiri mengaku mendapat komentar serupa seputar bagian kredit, namun menurutnya, pesan terhadap para penyitas yang ia sampaikan melalui film, merupakan caranya sendiri untuk berempati terhadap para korban. Tanya jawab seputar film C’est La Vie berlangsung intens, penonton lain turut bertanya seputar riset dan proses kreatif yang dipaparkan secara kronologis oleh Bhre dan produsernya.
Baca juga: Cairnya Asia dan Pelaku Filmnya dalam JAFF 12
Bila ditarik semua hal di atas, Gemar Film Pendek #6 ternyata tidak hanya menjadi ruang berbagi pandang dari pembuat film. Namun juga penonton dan juru programnya sendiri.
Daniel Rudi Haryanto
03/05/2018 at 5:52 am
Catatan yang menarik💐💐💐
Winner Wijaya
03/05/2018 at 7:52 am
Terima kasih Mas Panji