Terdapat empat proyek yang melakukan pitching di Good Pitch Indonesia – forum fundraising inisiasi In-Docs kali ketiga – beberapa waktu lalu. Tidak hanya dalam bentuk film dokumenter sebagai hasil akhir, namun juga ada berbagai program berjalan serta rencana-rencana lainnya. Sehingga proses pitching tidak hanya mempresentasikan karya film itu sendiri, namun juga aktivitas-aktivitas terkait. Sampai hal-hal yang bersifat personal pun ikut meramaikan proses pitching empat proyek tersebut, baik dari cerita-cerita pengalaman para filmmaker, maupun individu-institusi Changemaker yang memberikan pledging.
Tujuan dari Good Pitch Indonesia 2024 dalam memilih empat film dokumenter (dari 49 proyek terdaftar) adalah dengan menitikberatkan pada resiliensi komunitas marjinal. Selain itu, live forum ini mempertemukan changemaker dengan filmmaker, menyalurkan berbagai bentuk dukungan, menggalang kemitraan, membangun jaringan, membuka kemungkinan sumber investasi, dan meningkatkan kualitas masyarakat.
Adapun empat proyek yang terpilih melakukan pitching di live forum adalah: Planet of Love, Senandung Senyap, Pulau yang Ditinggalkan, dan Balek ke Jambi.
Planet of Love (81 menit, Surakarta, Jawa Tengah), proyek dokumenter oleh Ika Wulandari (Sutradara & Produser), John Badalu (Produser), dan Putri Rakhmadhani (Produser Impact) mengajak kita bertemu dengan sekelompok anak dengan HIV/AIDS dan diskriminasi yang mereka terima serta hambatan dalam mengakses hak-hak dasar sejak dini. Selain filmmaker, turut hadir juga dalam pitching pengurus Yayasan Lentera Nusantara. Proyek ini juga berupaya merintis Network of Love, dimana salah satu programnya adalah merintis jaringan sekolah ramah ADHIV di Indonesia.
Senandung Senyap (24 menit, Jakarta) oleh Riani Singgih (Sutradara), Annisa Adjam (Produser), Mohammad Ismail,Hasna Mufidah, dan Sinta Nainggolan (Produser Impact). Permasalahan yang dialami oleh teman-teman tuli dipotret melalui Mufi dalam dokumenter ini. Siswa tuli dituntut untuk memahami siswa dengar, namun tidak sebaliknya. Melalui suaranya dalam seni, terutama musik, Mufi berharap dunia makin mengerti budaya tuli. Proyek film ini memiliki program bertajuk #BerdayaBudaya untuk mendayagunakan bahasa isyarat di pulau-pulau Indonesia, baik di Kota besar maupun pedesaan. Program ini juga merangkai kerjasama antar komunitas tuli dan masyarakat dengar.
Pulau yang Ditinggalkan (95 menit, Pulau Sabu, Kupang, NTT) oleh Lodimeda Kini (Sutradara, Produser, Co-Produser Impact), Armin Septiexan (Sutradara & Sinematografer), Dan Wetangterah & Inda Tagie (Produser Impact). Orang-orang Pulau memiliki pilihan hidup yang minim. Permasalahan ini dihadapi oleh dua lelaki beda generasi penyadap lontar, Ose Haga (38) dan Iky Kitu (19). Keduanya dihadapkan pada pilihan untuk meninggalkan Pulau Sabu demi mengubah hidup. Ose terpaksa pergi ke pulau lain demi menyadap lontar lebih banyak, sedangkan Iky mendapatkan kesempatan untuk berkuliah. Dokumenter ini memiliki program turunan MIMP! UNTUK PULAU yang diupayakan di ruang-ruang komunitas kepulauan NTT, yakni Pulau Sabu, Timor, Flores, Sumba, Alor, Rote, dan Semau. Program ini mengajak dewasa dan muda untuk mengidentifikasi berbagai permasalahan dan merumuskan solusi bersama-sama.
Balek ke Jambi (24 menit, Jambi) oleh Anggun Pradesha (Sutradara), Nia Dinata (Produser), Dinda Anggun, Brahmantyo Putra & Jerell Michael (Produser Impact). Anggun terpaksa hidup di rantau karena memilih jalan hidupnya dan sulit diterima keluarga. Setelah delapan tahun, Anggun memutuskan untuk balik ke Jambi. Namun tidak mudah untuk diterima Ayahnya. Ia pun mencari dukungan dari ibu, teman-teman, serta guru SMK-nya demi mendapatkan keluarganya untuk kembali. Proyek dokumenter ini juga berupaya membantu individu-individu yang pergi dari rumah melalui program Rumah Dialog, terutama di luar Pulau Jawa (Riau, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jambi, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan) dengan harapan keluarga mau menerima anggota mereka secara utuh dan membangun rumah aman bersama-sama. Program ini akan membantu pertemuan tujuh individu dengan keluarga mereka melalui tiga ruang aktivitas: ruang menonton, ruang curah rasa, dan ruang piknik.
Tercatat ada 180 bentuk dukungan yang berhasil dijaring sepanjang pitching yang dilakukan oleh para pembuat film dari empat proyek dokumenter. Dukungan itu berbentuk pendanaan dan bantuan non-finansial. 180 dukungan tersebut terhimpun dari 200 Changemakers yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri. Pendanaan yang berhasil dikumpulkan sebesar 203 juta rupiah, sementara dukungan non-finansial terdiri dari distribusi film, pemutaran film, publikasi di media sosial, fasilitasi diskusi, video animasi, jaringan ke komunitas, teman bicara, pendampingan psikolog, mentor, jaringan ke film festival, jaringan relawan, partner media, relasi dengan pemerintah daerah, dan sebagainya.
Film-film dokumenter memiliki peluang yang sangat besar untuk memantik perubahan. Dengan adanya program-program turunan bahkan berkesinambungan setelah film usai, perubahan tersebut bukan hanya rencana, tapi bisa terwujud nyata.