Pemutaran

Ihwal Alih Wahana dan Baper yang Berlebihan

Menonton karya film sering kali tak dapat dilepaskan dari ekspektasi, bahkan apabila film itu hasil adaptasi karya lain yang sudah terang benderang jalan ceritanya. Justru dari situ, kerap muncul masalah baru. Bagaimana kalau apa yang dibayangkan penikmat karya aslinya, berbeda dengan adaptasi filmnya? Apalagi ada sebagian orang yang sudah terlanjur menganggap karya aslinya sebagai “kitab suci”, dimana usaha mengalihwahanakan tak ubahnya penistaan, senista-nistanya.

Kurang lebih begitulah gambaran bahasan pada sore menjelang malam di Kineforum, pada Sabtu (14/7). Bulan ini, Kineforum menampilkan tak kurang sepuluh film hasil adaptasi (alih wahana) dan satu sesi diskusi.

Dengan topik “Medium dan Imajinasi”, diskusi kali ini mengangkat tema besar “Lintas Media”. Dipandu oleh Ifan Ismail (Juru Program Kineforum), turut hadir sebagai pembicara Bagus Bramanti (Penulis skenario “Dear Nathan”) dan Ardyan M. Erlangga (Redaktur VICE Indonesia).

Ketika Novel Difilmkan

Hampir 100%, tidak perlu khawatir dan yakinlah pasti beda” (Tertawa)

Begitulah kalimat awal Bagus membuka diskusi pada sesinya, menanggapi penonton yang kerap kali “kaget” dengan karya film hasil alih wahana. Bagus seolah ingin memberi pijakan awal, bahwa sejatinya upaya membanding-bandingkan film dengan bentuk karya sebelumnya tak ubahnya menyiksa diri sendiri.

Pada kenyataannya mengalihwahanakan suatu bentuk karya –yang dalam pembahasan ini akan lebih spesifik pada novel– memang tak akan bisa sama. Karena bagaimana pun novel merupakan bentuk karya tersendiri, dengan medium yang jauh berbeda dengan film.

Perbedaan Proses Kreatif Novel dan Film

Bagus yang beberapa kali pernah terlibat dalam proses adaptasi novel ke film, mencoba memaparkan sejumlah perbedaan proses kreatif antara novel dan film.

 

Pertama, harus disadari bahwa menulis novel merupakan kerja personal, kalaupun ada pihak yang terlibat, masih sekitaran editor dan penerbit. Lain hal dengan film yang merupakan karya kolektif, melibatkan jauh lebih banyak pihak.

Kedua, perlu diingat bahwa novel merupakan karya yang mengandalkan theater of mind. Berbeda dengan film, yang lebih menekankan visual dimana imajinasi penonton telah “dijawab”.

Kita belum masuk dalam hitungan teknis, seperti perbandingan biaya pembuatan antara film dan novel, serta keterbatasan durasi dalam film. Tentunya akan banyak lagi perbedaan proses di antara keduanya apabila ingin diterus-teruskan. Sehingga, sekali lagi membandingkan hasil akhir keduanya tentu tidak akan membawamu pada ketenangan batin.

Perihal Alih Wahana Novel “Bumi Manusia”

Berkaitan dengan novel, dalam diskusi dibahas pula salah satu karya penulis legendaris, Pramoedya Ananta Toer. Dimana beberapa waktu lalu, publik –terutama penikmat film dan karya-karya Pram– sempat dikejutkan dengan pernyataan resmi akan difilmkannya Bumi Manusia oleh Falcon Pictures.

Sesuai dugaan, beragam respons pun bermunculan. Namun yang tentu menarik untuk disorot adalah reaksi mereka yang kontra. Tidak jauh berbeda dengan karya-karya novel lain yang akan difilmkan, respons keberatan berkutat sekitar pemilihan pemain dan sutradara.

Hanya saja dalam kasus Bumi Manusia ini, sedikit lebih ramai. Memangnya, kenapa sih pembaca Bumi Manusia begitu posesif?

“Hastra Mitra menerbitkan (Bumi Manusia) 1981, kemudian novel ini segera dilarang setahun setelahnya oleh kejaksaan. Pada Orde Baru itu sangat bermasalah, apabila kalian mahasiswa kalian bisa dikeluarkan dari kampus. Buku ini bahkan dibagi bab per bab dan difotokopi. Ada yang modelnya dipinjamkan dan harus selesai satu malam.  Jadi untuk membaca saja ada romantisme tertentu.”

Dari pernyataan Ardyan, sebenarnya dapat dilihat bahwa ketidakrelaan dari para pembaca Bumi Manusia sangat dapat dipahami. Terutama mereka yang sekaligus pernah merasakan langsung betapa represifnya Orde Baru.

“Membaca Bumi Manusia adalah upaya melawan Orde Baru itu sendiri,” sambungnya. Bahkan semakin kesini, muncul seloroh, “Pembaca Pram yang lebih Pram daripada Pram itu sendiri.”

Lantas, apakah Bumi Manusia begitu sakral sehingga tak sepantasnya dialihwahanakan menjadi film?

Perihal Tanggung Jawab Moral

Sejalan dengan itu, seorang peserta kemudian menanyakan, perihal tanggung jawab moral. Terkait bagaimana seorang pembuat film, mampu menjaga visi sang pemilik karya asli. Adakah yang disebut tanggung jawab moral itu?

“Kalau mau membahas moral, moral adalah sesuatu yang tidak tangible (tak terukur). Tetapi kalau mau membahas profesional alat ukurnya jelas, kontraknya ke siapa, ekspektasinya seperti apa, brief produser seperti apa. Kalau saya membebaskan diri dari tuntutan-tuntutan, teror dan sebagainya. Karena bagi saya, prinsip kerja pembuatan film itu ya triangle antara penulis skenario, sutradara, produser.”

Sepaham dengan Bagus, Ardyan pun berkomentar serupa. “Tanggung jawab moral pada penulis aslinya bagaimana? Ya tidak ada. Tanggungjawabnya ya dibayar atau tidak rights-nya. Yaudah itu aja.”

Membahas tanggung jawab moral kemudian memang menjadi sesuatu yang abstrak, karena seperti yang sudah dikatakan, tidak ada alat ukur tertentu. Lagi pula, siapa yang bisa menjamin pilihan kreatif sang pembuat film dapat memuaskan seluruh pihak?

Baca juga: Menengok Film-Film Pendek Indonesia dan Aktivitas Terkini Pembuatnya dalam Boemboe Forum 2018

Semisal Dilan 1990 dibuat dengan pendekatan arthouse, dengan pemilihan tokoh yang tidak setampan Iqbaal –karena ada yang berpendapat karakter Iqbaal terlalu tampan dan kekinian. Apakah lantas semua pihak akan senang?

Pembuat Film Perlu Mengambil Sikap

Seperti yang disampaikan Bagus dalam diskusi, bahwa sutradara, penulis skenario dan produser sejak awal memang sudah harus menentukan sikap, pada siapa film ini akan diperuntukkan? Apakah penggemar dari si pengarang dan karyanya? Pembaca secara umum? Anak muda pencinta film? Atau anak muda secara umum?

Sehingga dari situ mau tidak mau, penonton pun harus siap menentukan sikap. Apakah hasil alih wahana ini dibuat untuk saya?

Baca juga: Kekuatan Baru Docs By The Sea

Meski demikian, tentu sebagai penonton, kita tak ingin menonton sebuah hasil yang benar-benar berbeda dari karya aslinya. Terutama apabila itu mereduksi visi atau ideologi penulis di karya aslinya. Menjadi tugas pembuat film, mengompromikan itu.

Di satu sisi kepentingan internal– terkait ekonomi mungkin, terpenuhi– di sisi lain ekspektasi penikmat karya asli dan penulis juga terakomodasi. Selain itu kemampuan teknis yang mempuni pun tampaknya perlu diperhatikan para pembuat film. Bukankah banyak juga film-film Hollywood yang dianggap “menyimpang” dari karya aslinya, tetapi kita bahagia-bahagia saja menontonnya?

Pesan Penutup

Sebagai penutup, rasanya pernyataan Ardyan ini cukup pas untuk kalian yang sering dag dig dug sebelum menonton film hasil alih wahana.

“Kalau kita ingin membangun ekspektasi, bangunlah ekspektasi dari keberhasilan cerita itu diangkat dalam medium. Saya punya beberapa ekspektasi, itu wajar. Semua orang pasti punya ekspektasi. Ekspektasi saya tidak terpenuhi tetapi saya mendapatkan kejutan menyenangkan lain. Ya sebatas itu yang saya pertimbangkan ketika mengukur hasil alih wahana. Bahwa oke dia sebagai film menarik ya.”

Jadi, sudah siap nonton Bumi Manusia?

Click to comment

0 Comments

  1. Pingback: ALIH WAHANA DAN PENIKMAT YANG POSESIF

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top