Artikel

Images Festival: Pribumi, Teknologi, dan Pandemi

Di tengah pandemi, Images Festival yang ke-33 telah sukses terlaksana beberapa hari lalu secara daring. Dengan demikian, festival ini bisa dinikmati bukan cuma oleh penikmat film yang ada di Kanada, tapi kami yang ada di belahan dunia lain yang bisa mengkases Vimeo (untuk pemutaran film) dan Zoom (beberapa diskusi menggunakan media ini). Setidaknya situasi ini memberikan kemudahan untuk mengakses acara-acara yang belum bisa kami hadiri secara langsung.

Apa itu Images Festival?

Images Festival yang telah berdiri sejak 1987 (awalnya bernama Northern Visions) merupakan platform eksibisi dan diskusi film independen, film eksperimental, seni video, instalasi dan kultur media yang berbasis di Toronto, Kanada. Kala itu, festival ini menjadi alternatif dari Toronto International Film Festival (TIFF). Images Festival memiliki program-program tetap setiap tahunnya, antara lain: On Screen, yakni presentasi sinema, pemutaran film dan seni media;  Off Screen, merupakan pameran galeri dan instalasi dari seniman-seniman kelas dunia; Live, berkaitan dengan ceramah, penampilan dari seniman, dan acara ramah-tamah; Education, diskusi, seminar, workshop, dan forum penelitian; serta Year Round, tur dan proyek khusus. Tiap penyelenggaraan, Images Festival bisa dihadiri lebih dari 30.000 audiens.

Festival ini menampilkan karya-karya artistik yang menantang norma dan risiko serta membangun keterlibatan kritis antara seniman dan publik  yang berhubungan dengan budaya gambar bergerak kontemporer. Karya-karya yang pernah dipamerkan di festival ini antara lain: Trains of Winnipeg (Clive Holden), Cremaster (Matthew Barney), The Lollipop Generation (G.B. Jones), dan sebagainya, serta program retrospektif untuk Richard Fung, Harun Farocki, Nelson Henricks, dan lain-lain.

Images Festival Tahun Ini

Jadwal awal Images Festival yang terdiri dari program dan venue-nya (Sumber: 2020 Images Festival Catalogue).  

Pada tahun ini, Images Festival berlangsung dari 16 hingga 22 April 2020, dan seharusnya dilaksanakan dengan 17 program di bioskop, 14 pameran galeri, 23 program publik, dan empat pertunjukan langsung. Pandemi ini tentunya berpengaruh terhadap beberapa program Images Festival, seperti pembatalan program launch, beberapa pameran yang terpaksa ditunda, penyesuaian program untuk publik dan keseluruhan pemutaran dan sesi Q & A dilakukan secara daring. Pertanyaan-pertanyaan dari audiens ditampung melalui email. Ada pula yang bisa ditanyakan secara langsung melalui diskusi dengan menggunakan aplikasi Zoom.

Direktur Eksekutif Images Festival, Samuel La France (atau akrab disapa dengan Sam) mengatakan dalam wawancara melalui email, selama pandemi, seluruh galeri untuk pameran festival ini tutup. Tapi ada beberapa galeri yang memberikan falisitas private visit dengan janji terlebih dahulu, tapi tentu tidak bisa memberikan jadwal dengan leluasa. Satu atau dua pameran bisa diadaptasi secara daring, seperti karya Charlotte Zang yang bertajuk Pine Street. Ia tidak dapat memastikan saat ini, pameran-pameran apa saja yang ditunda dan dibatalkan setelah situasi membaik.

Untuk online viewing, festival dibuka dengan sebuah dokumenter panjang berjudul malni–towards the ocean, towards the shore karya Sky Hopinka, seorang filmmaker yang tinggal di Vancouver. Film ini menarasikan kehidupan dua orang yang hidup di lembah Sungai Columbia, Amerika Utara. Sepanjang film, kedua orang tersebut menggunakan bahasa chinuk wawa yang merupakan salah satu bahasa asli Amerika yang hampir punah.

Sesi Q & A bersama Saurav Rai (dokumentasi dari keikutsertaan penulis dalam diskusi ini).

Sementara untuk penutupan, Images Festival memutar film fiksi panjang perdana karya Saurav Rai yang berjudul Nimtoh (Invitation). Saurav Rai adalah pembuat film yang tinggal di Mumbai. Film ini berlatar di sebuah desa di daerah perbukitan antara Darjeeling dan Kalimpong, bagian Timur India, dan bercerita tentang seorang anak kecil yang ditugaskan untuk mengantarkan undangan pernikahan anak tuan tanah. Ia pun menerka, apakah ia juga akan mendapatkan undangan yang sama. Film ini diperankan oleh aktor-aktor non-profesional yang merupakan penduduk setempat dan keluarga sang sutradara sendiri, sehingga sekilas film ini tampak seperti film dokumenter. Dalam Director’s Statement Rai menyatakan, film ini terinspirasi dari pengalamannya sendiri selama tinggal di desanya tersebut, tentang pernikahan, konflik keluarga, dan perjuangan kelas antara mereka yang memiliki dan tidak memiliki.

Dalam program Canadian Spotlight, Images Festival fokus pada karya-karya Skawennati, seorang seniman asal Kahnawake, Quebec, Kanada. Ia memiliki ciri khas dalam bidang multimedia Mohawk yang terkenal dengan karya-karya daring dan machinima-nya yang mengeksplorasi budaya adat kontemporer. Program ini memutar karya seri machinima-nya yang berjudul TimeTraveller™ yang bercerita tentang kematian Mohawk saint Kateri Tekakwitha, pemberontakan Dakota Sioux tahun 1862, Oka Crisis tahun 1990, serta peristiwa-peristiwa sepanjang aliran sungai tentang sejarah pribumi. Program ini juga diikuti dengan artist talk.

Selain tiga program utama di atas, seperti telah disebutkan tentang jadwal tahunan Images Festival, terdapat pula Live line up yang menampilkan performa para seniman, antara lain: Johanna Hedva (Amerika Serikat), Tiara Roxanne (Jerman), dan Justin Barton (UK). Sesi Online Exhibition diisi oleh video instalasi karya Charlotte Zhang yang bertajuk Pine Street, Now and Again.

Sesi Q & A bersama Silvia Kolbowski (dokumentasi dari keikutsertaan penulis dalam diskusi ini).

Images Festival juga menyajikan live stream secara reguler selama acara, di antaranya dalam segmen: Cousin (Adam Khalil, Sky Hopinka, Adam Piron, Alexandra Lazarowich); Thaumaturgy: 4 Elements (Danielle Hyde, Jaene F. Castrillon, Kate Meawasige, Louis Esme); That Monster: An Allegory (Silvia Kolbowski); sesi dokumenter yang memutar karya-karya Morgan Quaintance; dan program live stream lainnya.

Jika diperhatikan keseluruhan jadwal, kita bisa menemukan banyak karya yang bercerita tentang indigenous people/culture. Sam menyatakan, Images Festival sebetulnya tidak memiliki kewajiban untuk menampilkan karya-karya yang berisi konten tentang masayarakat dan adat budaya asli daerah tertentu, tapi kami menerima karya-karya luar biasa dari seniman punduduk asli, baik dari Amerika Utara maupun belahan dunia lainnya. Menampilkan karya mereka memberika gambaran pada kita tentang indigeneous people yang tinggal di Kanada maupun daerah lain, serta membuka percakapan penting tentang isu-isu yang berkaitan dekolonisasi, lingkungan, dan seni.

Adanya penggunaan teknologi dalam karya berbentuk machinima juga hal menarik untuk ditinjau berkaitan dengan hubungan antara seni dan teknologi. Sam juga menyatakan, bahwa pogramer festival tidak memiliki fokus khusus berkaitan dengan hal itu. Skawennati dipilih untuk Canadian Spotlight Artist disebabkan karena cara dia menggunakan machinima tidak hanya untuk berbagi aspek pengalaman hidup, tetapi juga menggambarkan masa depan pribumi dengan cara yang sangat penting.

Baca juga: UCIFEST 11: Mereka yang Menang dan Meraih Penghargaan D.A Peransi

Ketika ditanya tentang hal segar apa yang ditemukan dalam submisi tahun ini, Sam mengaku mereka juga mendapatkan submisi dari seniman-seniman yang sebelumnya pernah menampilkan karyanya dalam Images Festival. That Cloud Never Left, sebuah dokumenter naratif karya filmmaker asal India, Yashaswini Raghunandan,  adalah salah satu submisi luar biasa yang mereka terima tahun ini. Film tersebut juga pernah ditayangkan di International Film Festival Rotterdam (IFFR). Karya luar biasa lainnya yang sayang sekali tidak bisa ditampilkan di Images Festival tahun ini adalah Real Performance dari Laurie Robins dan Grace Phillips. Tapi kami akan berupaya untuk menampilkannya di lain kesempatan.

Lantas, kendala apa saja yang dihadapi ketika melaksanakan Images Festival dengan cara daring seperti ini? Terlalu banyak untuk disebutkan, ungkap Sam. Antara lain: biaya peralatan dan teknologi. Kami beruntung masih bisa mendapatkan perlatan mahal untuk online broadcasting tersebut, tambahnya. Para staf juga melakukan monitoring sepanjang waktu, yang mana sulit untuk diatur dalam masa menjaga jarak fisik (physical distancing) seperti saat ini. Kendala lainnya adalah kompensasi untuk para seniman. Sebetulnya ada jumlah khusus dari Kanada yang bisa diberikan untuk para artis, tapi jumlah tersebut tidak berlaku untuk streaming langsung dan presentasi secara daring. Itulah sebabnya kenapa karya mereka ditampilakn cuma sekali dalam setiap program demi keadilan kompensasi yang diterima oleh para artis.

Mengatur tanya jawab adalah tantangan lain. Sam mengatakan, kami harus mencari cara agar percakapan dapat diakses oleh audiens kami. Kami akhirnya melakukan hal paling sederhana, yakni mengundang para audiens untuk mengirim pertanyaan mereka melalui email. Hal itu akhirnya bekerja dengan sangat baik. Sam menambahkan, kendala terakhir adalah kami sering mendengar audiens kami mengalami masalah dengan streaming, dan sayangnya kami tidak memiliki kendali atas koneksi internet setiap orang, kecepatan unduh, sistem operasi, dan sebagainya.

2020 Images Awards Ceremony

Sebelum film penutup diputar, Images Festival mengumumkan karya siapa saja yang mendapatkan penghargaan tahun ini. Para Juri terdiri dari: programmer film dan desainer grafis, Rupali Morzaria; seniman, Francisco-Fernando Granados; dan kurator, Kathleen McLean.

York University Award for Best Student Work On Screen

CHENG-HSU CHUNG dengan karyanya: ADORABLE
Yang disponsori oleh York University’s Department of Cinema & Media Arts. Karya ini dianggap figuratif dan abstrak, cemerlang dan menyenangkan. Karya yang menceritakan kesunyian, transformasi, kelembutan, seks dan keraguan diri yang jujur.

Steam Whistle Homebrew Award

LOUIS ESMÉ dengan karyanya: Loose Lips
Honours excellence and promise in a local artist.
Film yang dianggap memiliki visual, konseptual, dan politik yang kaya, yang bercerita secara puitik tentang sejarah dan masa depan.

AstroLab x Future of Film Showcase Production Emerging Canadian Award

SETH CARDINAL DODGINGHORSE dengan karyanya: Nisguya Chu
With an Honorable Mention to
DANIELLE PEERS & ALICE SHEPPARD dengan karya mereka: Inclinations
Penghargaan ini diberikan kepada pembuat film Kanada dengan karya yang memiliki inovasi dan eskperimen yang menarik.

Overkill Award

THIRZA CUTHAND dengan karyanya: Less Lethal Fetishes
Disponsori oleh donatur anonim. Karya video ini dianggap cerdas, cantik, lucu yang mampu menggambarkan situasi-situasi yang rumit.

More With Less Award

NAZLI DINÇEL dengan karyanya: Instructions on How to Make a Film
MIKO REVEREZA dengan karyanya: Biometrics
Disponsori oleh CFMDC, Charles Street Video, Dames Making Games, Gamma Space, LIFT, Reel Asian, SAW Video, Trinity Square Video, dan anonim.
Dimulai sejak tahun 2015 untuk menghormati Scott Miller Berry, anugerah ini diberikan untuk karya yang menunjukkan konten artistik yang luas, doing more with less.

Images Festival Awards Ceremony secara daring (Sumber: website Images Festival)

Pengaruh Images Festival di Indonesia

Indonesia sendiri memiliki ARKIPEL: Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival yang dilaksanakan secara rutin sejak tahun 2013. Dalam wawancara melalui media Whatsapp dengan Yuki Aditya, Direktur Festival ARKIPEL sejak awal pelaksanaan, ia berpendapat bahwa Images Festival merupakan festival audio visual terbesar di Amerika Utara dimana penyelenggaraannya dilakukan secara intim dan orang-orang yang terlibat di dalamnya adalah para aktivis moving image penting di sana.

Yuki sendiri bersama komite ARKIPEL dan anggota Forum Lenteng pernah mengunjungi festival tersebut. Hafiz Rancajale, Ketua Forum Lenteng dan Direktur Artistik ARKIPEL dengan programnya “Akumassa” diundang untuk membuat pameran dan instalasi di Images Festival tahun 2012. Sementara Yuki dan Otty Widasari mengunjungi festival tersebut pada tahun 2015 di mana mereka menjadi pembicara di sebuah simposium. Otty Widasari juga mempresentasikan karya video Gerimis Sepanjang Tahun yang lahir dari lokakarya program Akumassa dengan Komunitas Ciranggon di Kampung Wates, Desa Jatisura rentang Januari-Maret 2015 dan merupakan kerja sama Forum Lenteng dengan Jatiwangi Art Factory (JaF). Bagi Yuki, simposium yang dilaksanakan di sana selalu dipenuhi oleh audiens dan mereka sangat aktif bertanya.

Baca juga: #KawanSinema: Berdonasi Saat Ramadan Melalui Streaming Film Pendek dan Diskusi

Banyak yang bisa dipelajari ketika berkunjung di sana, antara lain bagaimana menjalin hubungan baik dengan komunitas seni, pengorganisasian (di mana dengan komite inti yang sedikit bisa menyelengggarakan acara tersebut dengan rapi), dalam hal program (bagaimana bisa efisien dengan program yang penuh dan memberikan pengalaman menonton baru pada audiens), akses pendanaan, hubungan dengan sineman Kanada, cara bernegosiasi, serta membangun jaringan. Sementara kerja sama ARKIPEL dengan Images Festival sendiri berlangsung antara lain dalam hal program. Scott Miller Berry sebagai salah satu komite Images Festival pernah mengurus program tamu di penyelenggaraan ARKIPEL pertama pada tahun 2013. Beliau pun rutin datang mengunjungi ARKIPEL setiap tahunnya dan seringkali berperan sebagai juri. Sementara dalam hal pemilihan film diserahkan pada otoritas masing-masing organisasi.

ARKIPEL tahun ini direncanakan akan dilaksanakan pada minggu ketiga bulan Agustus. Mengingat situasi yang belum menentu saat ini, Yuki mengatakan, ada kemungkinan restrukturisasi program dan organisasi, di samping juga menunggu keputusan lembaga-lembaga, pemerintah, serta para tamu. Mengadakan ARKIPEL secara daring adalah salah satu opsi, tapi perlu dipikirkan lebih lanjut, apalagi ada hal-hal rumit yang musti diurus, antara lain dalam hal administrasi, perizinan dan teknis. Yuki menambahkan, kami masih menentukan arahnya, entah melakukan hal itu atau menunda pelaksanaan.

ARKIPEL sendiri cukup aktif selama Ramadan ini, antara lain dengan membuat program bertajuk AMARCORD: Memori Sinema Bersama Yuki Aditya yang live di Instagram mulai dari pukul 03.00 sampai 04.00 WIB. Tiap sesi ditemani dengan Kawan Bicara yang berbeda, topik yang berbeda juga tentunya.

Pada akhirnya, manusia sebagai makhluk paling sempurna harus pintar-pintar beradaptasi dengan pergerakan zaman yang sulit ditebak. Seperti film itu sendiri, eksperimen musti dilakukan demi pengalaman dan bentuk baru.

*Terima kasih banyak untuk Scott Miller Berry dan Yuki Aditya*

 

Images Festival website:
https://imagesfestival.com/

2020 Images Festival Catalogue:
https://issuu.com/imagesfestival/docs/if20_catalogue_final_digital_mar18

Awards Presentation:
https://imagesfestival.com/news/awards-presentation-2020

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top