Yogyakarta, 23 November 2019 – Setelah digelar selama lima hari, festival film tahunan Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 14 “Revival” sampai di akhir pelaksanaannya. JAFF 14 “Revival” menayangkan lebih dari seratus film yang berasal dari 28 negara se-Asia Pasifik. Diselenggarakan di Empire XXI dan LPP Yogyakarta, sekitar 14.000 pengunjung turut hadir memeriahkan JAFF 14 “Revival”.
Rangkaian JAFF 14 ditutup dengan penayangan film Filipina berjudul Motel Acacia (2019). Disutradarai oleh Bradley Liew, Motel Acacia (2019) merupakan film kolaborasi lintas negara Asia yang melibatkan salah satu aktor Indonesia, Nicholas Saputra. Sebelum ditutup, JAFF 14 mengadakan malam penganugerahan dan mengumumkan pemenang dari program film kompetisi.
Baca juga: JAFF 14 “Revival”: Awal yang Optimis Merespons Perkembangan Sinema Asia
Disrupsi yang Sukses
Mengusung tema “Revival” JAFF seperti menindaklanjuti tema “Disruption” pada penyelenggaraan di tahun sebelumnya. Dalam edisi ke-14, festival ini melakukan perubahan yang terbilang ekstrem dengan menggunakan satu tempat utama (Empire XXI) untuk memutar film dari berbagai program, termasuk program kompetisi internasional. Venue program lainnya pun dibuat berdekatan, seperti di LPP berupa layar tancap pemutaran film-film komunitas.
JAFF sendiri beberapa tahun belakangan memiliki masalah berupa kurang meratanya minat penonton antara film-film Indonesia yang premier di sana dengan film-film internasional. Sebagaimana secara “colongan” dikeluhkan oleh Gretjan Zuilhof saat mengisi workshop pemrograman film dalam JAFF 2016, dan juga diakui saat sesi makan malam bersama para pemangku kepentingan festival dalam JAFF 2018 setahun lalu.
Baca juga: Membaca Fenomena Disrupsi Perfilman dalam JAFF “Disruption”
Penggunaan lokasi tunggal untuk program-program khusus dan juga tiket terusan Sahabat Hanoman bekerja sama dengan platform pemesanan tiket Goers sukses mengatasi hal tersebut. Penonton yang sebelumnya terpusat di venue tertentu untuk mengincar film-film yang sedang ramai diberitakan kini berkumpul di satu venue, mereka akan dengan mudah berganti film saat yang diincar sudah habis tiketnya. Adanya Sahabat Hanoman yang “harus” mereka beli agar dapat menonton banyak film sekaligus dengan lebih ekonomis dan tentu saja mendapat kepastian kursi, membuat beberapa penonton jadi memilih untuk menonton film-film yang bisa jadi belum mereka dengar sebelumnya agar tiket Sahabat Hanoman bisa teroptimalkan.
Inovasi-inovasi seperti ini tentu patut diapresiasi karena dapat mendorong lebih jauh budaya apresiasi film alternatif. Diharapkan upaya ini dapat menambah referensi penonton terhadap film luar selain film Hollywood yang sudah marak tayang sehari-hari. Apresiasi juga patut diberikan pada usaha pihak JAFF memesan satu venue Empire XXI untuk lima hari penyelenggaraan, yang mana bioskop ini sendiri merupakan bioskop di luar lokasi perbelanjaan (mal). JAFF sebagai sebuah festival terbesar di Indonesia saat ini dengan posisi tawar yang cukup untuk menawarkan dirinya pada jaringan-jaringan bioskop lain, melalui penyelenggaraan kali ini menunjukan betapa relevannya bioskop-bioskop di luar mal. Hal ini menjadi baik untuk penonton dan bioskop pun terbukti mendapat keuntungan dengan konsep venue luar mal ini karena jaringannya kebanjiran konten, penonton, dan eksposur melalui JAFF.
Satu hal yang juga menggembirakan, aksi nyata dari kampanye antikekerasan seksual di lingkungan perfilman yang dimulai sejak awal tahun turut dikampanyekan dalam JAFF 2019. Tidak sekadar digaungkan, namun aksi nyata yang dimaksud tecermin dengan diadakannya berbagai sesi diskusi seperti perkenalan gerakan #SinematikGakHarusToxic, diskusi dengan berbagai sineas, dan juga beragam workshop. Program-program itu menjadi menarik karena berbagai komunitas dari penjuru Nusantara hadir membawa kesadarannya masing-masing terhadap isu dan membawa hal yang telah mereka lihat sendiri di lingkungan komunitas mereka. Diharap kegiatan ini dapat membuat mereka menjadi agen saat melakukan kegiatan perfilman di ranah komunitas masing-masing atau saat nanti di industri.
Berikut film-film peraih penghargaan dalam JAFF 2019
Golden Hanoman: House of Hummingbird karya Bora Kim (Korea Selatan)
Silver Hanoman: The Science of Fictions karya Yosep Anggi Noen (Indonesia)
Netpac Award: Nakorn-Sawan karya Puangsoi Aksornsawan (Thailand) dan Aurora karya Bezkat Pirmatov (Kyrgyztan)
Blencong Award: Diary of Cattle karya Lidia Afrilita dan David Darmadi
Geber Award: Ma.Ama karya Dominic Sangma (India)
Students Award: Diary of Cattle karya Lidia Afrilita dan David Darmadi
JAFF Indonesian Screen Awards
Skenario Terbaik: Dua Garis Biru oleh Gina S. Noer
Sinematografi Terbaik: Susi Susanti-Love All oleh Yunus Pasolang
Penampilan Terbaik: Laura Basuki dalam Susi Susanti-Love All
Sutradara Terbaik: Gina S. Noer dalam Dua Garis Biru
Film Terbaik: Dua Garis Biru
