Berita

Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival Kembali Diadakan Untuk Kesembilan Kalinya

Dari Siaran Pers

Jakarta – Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival kembali diadakan untuk kesembilan kalinya. ARKIPEL diniatkan untuk dapat menghadirkan filem dokumenter berkualitas (bukan dokumenter televisi) dan capaian eksperimentasi dalam sinema kepada penonton Indonesia, Asia Tenggara dan internasional. Selain itu, festival ini akan selalu melihat perkembangan bahasa sinema secara kritis, terlepas dari terminologi “sinema industri” atau “sinema independen”.

Untuk itulah, ARKIPEL akan selalu menghadirkan wacana kritis dalam melihat perkembangan sinema melalui program kuratorial, simposium, dan kuliah umum untuk menambah wawasan tentang perkembangan estetika sinema mutakhir. ARKIPEL tahun ini akan diadakan pada 25 November hingga 3 Desember 2022, bertempat di Bioskopforlen, Forum Lenteng, Jl.H.Shibi No.69, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Tahun ini, ARKIPEL mengangkat tema Catch-22. Dalam kerangkanya, kesepakatan-kesepakatan besar yang mendasari peradaban manusia, sedang kembali ke putaran yang sama. Aturan main perdagangan regional yang mendasari hubungan trans-benua, berevolusi melewati kolonialisme, kebangkitan konsep negara-bangsa dan horor dua Perang Dunia, serta konflik ideologi yang memecah belah dunia. Eksperimen diplomatik global tersebut mengorbankan masyarakat di lokus masing-masing wilayah. Laju peradaban yang kendati selalu menghasilkan pergeseran paradigma ilmu kemanusiaan, sekali lagi sampai pada mobilisasi militer skala besar dan kecemasan yang mengiringinya.

Pandemi dan eskalasi konflik Eropa Timur hari ini menjadi pemicu untuk memikirkan ulang tidak hanya hubungan antar manusia dengan sistem aturan-aturan, tapi juga dengan materialitasnya sendiri. Sebagaimana tokoh Yosarian dalam novel Catch-22 karangan Joseph Heller, yang menginginkan untuk selamat dari perang dan ingin hidup untuk selamanya. Tetapi, Yossarian menyadari sesuatu dari peristiwa yang menimpa kawan-kawannya di medan perang, bahwa manusia itu materi yang rapuh. Imajinasi posthuman atau transhuman dalam narasi fiksi ilmiah belakangan menemukan wadah baru bagi manusia yang bisa membuatnya hidup abadi.

Baca juga: Banyak Festival Film yang Belum Memiliki Unique Selling Proposition

Dunia-dunia fiksi ilmiah tersebut selalu dilatar belakangi oleh perang; perang terhadap mesin itu sendiri, birokrasi, atau manusia lain yang lebih tinggi, perang atas kontrol pangan dan energi, hasrat ekspansi dan perang terhadap suatu kekuasaan hegemonik. Perang selalu menjadi akar atau abadi dalam bagaimanapun kondisi manusia, baik itu rapuh atau transendental. Seperti argumen utama dalam kritik Catch-22 bahwa hanya ada pilihan paradoks yang berujung sama, tidak ada pilihan “selain perang”, dalam kondisi waras atau pun gila. Manusia hanya bisa bebas dari perang jika dan hanya jika berperang. Sebuah konstruksi dengan kesimpulan absolut.

ARKIPEL Catch-22 mencoba untuk menyelami spektrum yang mendasari konflik dan membongkar struktur yang memungkinkan eskalasinya. Dengan pemilihan Catch-22 sebagai titik berangkat dan menariknya ke wilayah sinematik, kita mungkin dapat membingkai fenomena global terkini dan memperlihatkan metode kerja di belakangnya serta memeriksa premis-premis yang membangunnya.

Sepanjang sejarahnya, sinema selalu hadir untuk menjelajahi parit-parit yang luput dari tuntutan informasi atas peristiwa manusia terkini. Hasrat sinema mengendapkan peristiwa-peristiwa, merekayasanya balik dengan konstruksi puitik menuju suatu absolutisme atau keterbukaan. Tawaran yang merefleksikan dilema, rasionalisasi dan dampak dari keputusan-keputusan manusia di tengah konflik, dengan kesadaran atas perkembangan teknologi medium sinema. Catch-22 dapat menjadi sebuah preseden dalam memetakan di mana kita berdiri sekarang dan mengurai petunjuk-petunjuk di dalam lingkaran serba-paradoks ini untuk kemungkinan de-eskalasi.

Program yang hadir pada ARKIPEL Catch-22 adalah Kompetisi Internasional, Forum Festival, simposium film yang menghadirkan 2 (dua) panel; Panel 1 – “Catch-22 dalam Modernisme Negara Selatan”, pembicara: Risa Permanadeli (Indonesia, akademisi, penulis, Direktur Pusat Kajian Representasi Sosial), JJ Rizal (Indonesia, sejarawan, penulis, pendiri penerbitan Komunitas Bambu); Panel 2 – “Jejaring Produksi Kultural dan Strategi Artistik Sinema Utara-Selatan”, pembicara: Akbar Yumni (Indonesia, penulis, seniman, kritikus filem), Abhishek Nilamber & Laura Kloeckner (Jerman, penulis dan kurator, artistic producer di
Savvy Contemporary). Candrawala, pembacaan atas kecenderungan filem Indonesia hari ini yang dikuratori oleh I Gde Mika. Presentasi Spesial dari Abhishek Nilamber dan Laura Kloeckner (SAVVY Contemporary, Berlin), Ding Dawei (Beijing International Short Film Festival).

Kali ini, ARKIPEL juga menayangkan film Pesantren (karya Shalahuddin Siregar) dan Expedition Content (karya Veronika Kusumaryati dan Ernst Karel). Dengan bangga, ARKIPEL juga menayangkan film esai yang diproduksi oleh Milisifilem Collective, Segudang Wajah Para Penantang Masa Depan (karya I Gde Mika dan Yuki Aditya). Seluruh penayangan film di ARKIPEL adalah gratis dan untuk umum dengan melakukan registrasi sebelumnya yang akan dibuka melalui media sosial.[]

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top