Pemutaran

Jangan Ada Lagi Glorifikasi Disabilitas dalam Film Indonesia

Tulisan merupakan bagian dari program apprenticeship Infoscreening

Rangkaian pemutaran film “Mengenal Marginal” 21–23 Februari 2020 kolaborasi dari Kineforum dan Program Peduli sudah tuntas. Bisa dibilang acara yang digelar dalam rangka memperingati “Hari Keadilan Sosial Sedunia” yang jatuh pada 20 Februari ini meninggalkan catatan penting dalam industri sinema, untuk berhenti menempatkan isu disabilitas sebagai tema haru-biru, bumbu penyemangat mereka dengan kondisi normal.

“Kaum disabilitas juga sama seperti orang-orang pada umumnya, punya jatuh-bangunnya sendiri sama seperti yang lain juga. Kalau saya melihat, ada glorifikasi ketika isu disabilitas ditempatkan di medium film. Misalnya, kalau ada orang disabilitas meraih S-3, sangat dielu-elukan,” kata Bahrul Fuad, pegiat isu disabilitas dan juga anggota Komnas Perempuan, dalam diskusi “Kehidupan Difabel di Timur Indonesia.”

Disabilitas, Kultur, dan Sudut Pandang

Bahrul Fuad atau yang biasa disapa Cak Fu yang menjadi pembicara dalam diskusi, Minggu (23/2) di Paviliun 28 menambahkan, menanggapi kondisi disabilitas sebenarnya tergantung kepada kultur dan sudut pandang seseorang.

Cak Fu mencontohkan dalam budaya pewayangan, di mana penyandang disabilitas menjadi penasihat pemimpin. Punakawan yang terdiri dari Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong punya “kelemahan.” Gareng kakinya pincang dan Bagong sendiri down syndrome. “Ini adalah sisi yang bisa kita lihat bagaimana kearifan lokal memandang sosok dengan disabilitas,” tambahnya kembali.

Namun, pandangan ataupun konsep ini berubah seketika ketika kolonial datang mengubah tata struktur tersebut. Apalagi ketika di Eropa terjadi revolusi industri, dan manusia tidak ubahnya adalah mesin-mesin produksi. Jadi, yang tidak memenuhi standar “semua” harus direhabilitasi.

Diskusi mengenai rekam disabilitas dalam bentuk film menjadi bahasan yang menarik. Semacam pengingat untuk menempatkan segala sesuatu sesuai dengan proporsinya masing-masing. Jangan karena demi mendulang air mata dan merebut simpati penonton, melebih-lebihkan situasi ketika mengambil tema dalam sebuah film.

Mengenal Marginal dalam “Sebelum Berangkat”

Sebelum Berangkat adalah salah satu film yang diputar dalam rangkaian acara “Mengenal Marginal”. Dirmawan Hatta selaku sutradara yang hadir sebagai narasumber dalam diskusi tersebut, berbagi mengenai proses pembuatan film tersebut.

“Film ini tidak hanya tentang disabilitas tetapi pentingnya komunikasi antarkeluarga,” jelasnya. Ada beberapa cerita yang diangkat dalam film Sebelum Berangkat. Tentang Maya kecewa karena keluarga pacarnya tidak suka dengan kulit albinonya, ada juga Mardi perempuan bertubuh mungil yang ingin tetap kelihatan cantik, dan juga Erlis remaja setengah tuli yang memiliki ibu sangat protektif sehingga dia tidak bisa mengaktualiasasi diri.

Baca juga: Film “Beta Mau Jumpa”, Upaya Merawat Damai Pascakonflik Ambon

Film berdurasi 94 menit ini dikemas dengan sederhana. Permasalahan sehari-hari yang juga dialami oleh orang-orang “normal” lainnya. Karena seperti yang disampaikan oleh Cak Fu sebelumnya, tentang saudara-saudari dengan disabilitas bukan hanya cerita tentang kesuksesan atau ketangguhan mereka dalam menjalani hidup, “Penyandang disabilitas juga punya jatuh-bangunnya, janganlah lagi menempatkan sosok disabilitas dalam posisi ekstrem dalam sebuah film. Harus ada kejujuran dan kenyataan. Bukan glorifikasi,” tegas Cak Fu.

Selain Sebelum Berangkat, film-film lain yang diputar ada Istri orang, Turah, Jalan Raya Pipikoro, Di Tepi Kali Progo, Bermula dari A, dan Heaven for Insanity.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top