Konon di balik keindahan sebuah film ada tumpukan sampah yang menggunung. Benarkah demikian? Faktanya memang benar. Menurut data yang dipublikasikan oleh BAFTA (British Academy of Film and Television Arts), disebutkan kalau memproduksi satu jam acara televisi di UK baik fiksi maupun nonfiksi bisa menghasilkan 13 metrik ton karbondioksida.
Di Indonesia sendiri, ada berapa banyak film yang pada akhirnya memicu produksi sampah. Misalnya film 5 Cm yang akibat euforia menontonnya, Ranu Kumbolo sempat dibanjiri sampah akibat kunjungan yang membeludak.
Bukan bermaksud menyalahkan film, tetapi kesadaran supaya film tidak berhenti hanya di layar saja itu penting. Setidaknya kalaupun memberikan efek, yang diharapkan adalah dampak positif, mengimbau dan membagi inspirasi untuk kehidupan yang lebih baik.
Motivasi inilah yang membuat produser Aryanna Yuris dan sutradara Yongki Ongestu menyelipkan kampanye zero waste dalam film Detak. “Agak lucu sih, kalau dalam film kami memperkenalkan satu budaya tapi tindakannya enggak berbudaya, itu enggak make sense,” jelas Yongki Ongestu.
Sebelum proses syuting dimulai, para kru dan aktor dikumpulkan untuk mensosialisasikan aturan ini. Bukan hanya aturan standar misalnya dilarang buang sampah sembarangan, penggunaan gelas isi ulang dan piring rotan pun diberlakukan. “Di hari terakhir syuting kami juga melakukan aksi bersih-bersih di lokasi syuting. Setidaknya kalau enggak bisa mengurangi janganlah sampai menambahi,” tambah Yongki lagi.
Baca juga: Film “Semesta” dari Produser Nicholas Saputra Siap Tayang Awal 2020
Obrolan dengan dua movie maker kali ini menjadi sesuatu yang berbeda. Percakapan tidak hanya terbatas pada kreativitas tetapi juga green living, anti-kekerasan terhadap perempuan, dan tentu saja passion—sesuatu yang membuat Anda tetap bertahan di dunia yang penuh rutinitas untuk memenuhi sejengkal perut dan gengsi ini.
Jadi selain kampanye zero waste, Aryanna dan Yongki juga menerapkan produksi film yang ramah terhadap perempuan? Alasannya apa?
Aryanna (A): Pertama karena saya perempuan dan punya pengalaman beririsan dengan hal-hal yang seperti itu. Teman-teman perempuan saya juga kerap merasakan hal yang demikian di-cat call, dimintain nomor teleponnya saat lewat di jalan.
Yongki (Y): Terkadang sebagai laki-laki, juga kurang sadar saat bercanda, mungkin sesama laki-laki enggak masalah ya, tapi kalau ada perempuan, teman perempuan kita bisa enggak nyaman. Ketidaknyamanan ini bisa berdampak pada kerja juga, hasilnya bisa enggak maksimal. Pada intinya sih, kenapa kita menerapkan ini supaya setelah syuting kesadaran untuk ramah terhadap perempuan itu tetap ada.
Kalau sampai dibuat menjadi aturan berarti Anda menganggap isu ini penting, apakah menurut kalian ini sesuatu yang sering terjadi di industri film atau?
A: In general sih, baik zero waste dan produksi film ramah terhadap perempuan ini untuk situasi umum, bukan saat syuting saja. Sesuai dengan harapan kami kalau film ini bisa memberikan dampak keberlanjutan secara sosial dan lingkungan bahkan setelah Detak diputar.
Di film pendek sebelumnya End of Black Era, rumah produksi Anda juga mengangkat kebudayaan lewat kostum karakter. Dan di Detak ada cerita mengenai penari lengger. Kenapa selalu tertarik dengan tema budaya?
A: Pada prinsipnya kami ingin setiap kali bikin karya memberikan manfaat untuk budaya kita. Saya pribadi enggak besar di Indonesia, dan setiap kali melihat budaya Indonesia seperti ada sesuatu yang baru.
Sebelum menggarap Detak, saya dan Yongki pernah ke Bayumas bertemu teman-teman pekerja kreatif di sana, melihat tari lengger secara langsung, ngobrol dengan senimannya. Ternyata ada banyak pandangan yang berbeda mengenai Lengger. Masing-masing praktisi punya pandangannya sendiri.
Dengan memfilmkannya menjadi salah satu cara untuk melestarikan kebudayaan dan mendukung orang-orang lokal yang terlibat dalam kesenian tersebut.
Y: Iya, dan ini juga alasan kami untuk menggunakan lebih dari 50% kru dan talent film yang merupakan orang daerah setempat. Orang Jakarta enggak sampai 10 orang. Ada banyak talent lokal yang punya kemampuan tapi karena kurangnya kesempatan membuat mereka enggak bisa menunjukkan kemampuannya. Hal-hal seperti inilah yang ingin kami upayakan untuk ada dalam setiap produksi kami ke depannya.
Bicara mengenai pemain, punya pertimbangan khusus kenapa memilih Della Dartyan dan Refal Hady?
Y: Kalau Della direkomendasikan oleh acting coach kami yang dinilai punya talenta mumpuni. Sedangkan Refal, saya tertarik untuk bekerja sama dengan Refal karena melihat aktingnya di film Galih dan Ratna, yang menurut saya seperti tidak berakting. Refal sangat menjiwai perannya, sampai-sampai begitu luwes. Dan saya pernah baca artikel mengenai Refal dan dalam tulisan tersebut disebutkan kalau Refal pengin mengeksplor karakter psikopat. Wah cocok nih, seperti itu.
Susahkah memberikan pengarahan kepada pemainnya?
Y: Enggak sih. Yang saya suka dari Della, dia totalitas banget. Dia kan sama sekali enggak bisa menari, dan selama 1,5 bulan dia babak belur belajar menari lengger, tinggal di rumah seniman setempat, motoran kemana-mana padahal disediain mobil di lokasi syuting untuk meresapi perannya.
Kalau untuk Refal, karena karakter dia dokter, paling hal-hal teknis bagaimana cara memegang pisau, stetoskop, serta rutinitas dokter. Untuk itu kami minta bantuan teman yang juga seorang dokter untuk memberikan pengarahan kepada Refal.
Oh ya, soal promosi film Detak, Instagram Detak aktif banget, sampai ada games dan lain-lainnya. Seberapa penting peran teaser dan lain-lainnya untuk promosi sebuah film?
Y: Enggak cuma games, ada sticker dan filter-nya juga. Ini untuk membangun engagement. Kami ingin membangun satu image untuk Detak sehingga Detak bisa “ngobrol” dan seolah “manusia”. Karena memang harapan kami itu adalah sustainability dan movement. Untuk melakukan perubahan kita enggak bisa sendiri, butuh dukungan orang-orang lain.
Rencananya kapan Detak akan tayang?
A: Semua sudah kelar sih tinggal tunggu jadwal tayang saja. Dari kami sih request-nya bulan Maret 2020. Kita tunggu saja ya!
Baca juga: Pemaknaan Kontrol Diri Seorang Wregas Bhanuteja
Film Detak menyasar pada penonton yang menggemari film nyeni sekaligus cukup pop. Untuk itulah bumbu thriller yang dilekatkan diharapkan dapat merangsang minat anak muda untuk menonton Detak.
“Biasanya kalau hanya seninya saja, anak muda kurang tertarik. Makanya kalau ada bumbu thriller, diharapkan anak muda bisa lebih tertarik. Thriller-nya dapat, informasi mengenai seninya juga,” terang Yongki.
Sebagai informasi buat pembaca, Detak adalah film panjang pertama buat Aryanna dan Yongki. Sebelumnya mereka sudah pernah membuat film pendek End of Black Era (2017). Dan lebih banyak menggarap iklan lewat rumah produksinya Aenigma Picture.
Dalam penggarapan Detak, Yongki melakukan treatment yang biasa dilakukan saat membuat iklan yaitu penerapan previs. Story board-nya berupa animasi dengan blocking set yang real. Ini memudahkan para aktor dan kru untuk tahu apa yang harus dilakukan dalam setiap adegannya.
Buat Aryanna dan Yongki, ada semacam “keuntungan” tersendiri dari menggarap film panjang pertama ini. Sebagai “orang baru” di dunia film, keduanya tidak menganggap posisi “anak baru” sebagai tantangan, melainkan kesempatan untuk mengeksplorasi dan mencoba hal-hal di luar pakemnya.
“Kami ingin melakukan ini (film) untuk seterusnya,” tutup Aryanna yang diamini Yongki. Buat Anda yang tertarik ingin menjadi bagian dari movement Detak, sembari menunggu tanggal tayang, ikuti kisahnya di @detak.official!