Berita

Laporan Naratif KDM #21 AGUSTUSAN

Oleh Adi Rosidi Pandega

Suasana perayaan kemerdekaan masih hangat dirasakan. Meski sudah menginjak tanggal 25 Agustus, namun bendera merah putih masih berkibar di sejumlah tempat publik maupun rumah pribadi. KDM edisi ke-21 memanfaatkan momen tersebut untuk memutarkan empat film bertema kemerdekaan. Pada pemutaran kali ini, KDM masih berkerjasama dengan Loop Station dikarenakan tempatnya yang strategis dan membuka ruang bagi komunitas untuk bertemu.

Suluh Pamuji dalam pengantarnya mengatakan, “Agustus pernah menjadi bulan yang menegangkan di Indonesia. Persisnya 72 tahun yang lalu, sebelum kemudian menjadi bulan yang penuh dengan perayaan yang mewujud lewat tradisi lomba, olah raga, pentas seni, dan tentu saja upacara pengibaran bendera merah putih. ‘Merah adalah berani, putih berarti suci’, demikian makna bendera Indonesia. Belakangan peristiwa-peristiwa yang muncul mengindikasikan bahwa kita terlalu sibuk dengan kesucian, namun sedikit keberanian untuk bersikap demi kemajuan dan mengakui keberagaman. Hoax dan ekstremisme memangsa kita sebagai bangsa yang gagap di era yang semakin mudah mendapatkan dan menyebarkan sesuatu, apapun itu.”

Suluh kemudian menambahkan bahwa dalam “[K]onteks KDM #21, kami ingin membagi kebahagiaan lewat empat film pendek dari Yogyakarta yang mampu memberikan kita vaksin anti narsis dan anti campak sebagai sebuah bangsa yang merdeka”. Salah satu film pendek yang dipilih oleh KDM untuk diputar pada edisi ke-21 adalah Bedjo van Deerlak arahan Eddie Cahyono. Dalam pengantarnya, Suluh menulis, “[F]ilm pendek tentang perang kemerdekaan dengan sudut pandang yang berbeda. Racikan drama dan aksi dengan sedikit komedi berlatar masa perjuangan kemerdekaan Indonesia kami harap mampu membangun suasana pemutaran yang menggairahkan.”

Sekitar pukul 19.20 WIB, Loop Station sudah dipenuhi oleh penonton. Jumlahnya sekitar 40-an orang. Beberapa penonton terlihat berbincang santai, beberapa bahkan membeli buku tentang film Indonesia yang disediakan di both KDM. Tidak lama kemudian, Wimba, selaku koordinator acara, mengintruksikan kepada penonton untuk masuk ke ruang putar karena pemutaran film akan segera dimulai.

Dinamika Pemutaran

Berikut merupakan susunan film yang diputar malam itu, beserta sinopsisnya:

Bedjo van Deerlak karya Eddie Cahyono

Bercerita tentang Agresi Militer Belanda II. Salah satu prajurit bernama Bedjo bersembunyi di sebuah rumah. Ia mendengar teriakan. Ketika Bedjo menghampiri asal suara tersebut, terlihat seorang wanita yang hendak melahirkan. Namun ia tidak sendiri. Ada seorang prajurit Belanda yang hendak menolong wanita itu. Perdebatan panjang mengenai kemanusiaan pun terjadi antara Bedjo dan prajurit Belanda tersebut.

Gara-Gara Bendera karya Jeihan Angga

Pada suatu hari, seorang remaja laki-laki yang sering berbuat nakal di sekolah, tidak disiplin, dan tidak merasa punya tanggung jawab sebagai siswa dan anak bertemu dengan seorang siswi pengibar bendera. Ia kemudian menaruh rasa kagum pada siswi tersebut. Tetapi karena kecerobohannya, dia mengotori bendera yang hendak digunakan untuk upacara.

KTP karya Bobby Prasetyo

Darno, seorang petugas Kecamatan, ditugaskan untuk mendata penduduk usia senja untuk keperluan kartu sehat. Masalah muncul ketika mendata Mbah Karsono yang kebingungan saat ditanya pada kolom agamanya, hingga seluruh penduduk desa datang untuk membantu menemukan solusi.

Seragam karya Dhisga Amandatya

Sepulang sekolah, siswi kelas 5 SD bernama Ratna mencari cara untuk mengubah warna sepatunya.

Para penonton terlihat sangat fokus dan suasana pemutaran terbilang kondusif ketika film-film pendek tersebut diputar. Beberapa penonton, meski terlambat, semakin memadati ruang putar di lantai 2 Loop Station. Beberapa kali penonton pun sempat tertawa terbahak-bahak ketika film KTP diputar.

Dinamika Diskusi

Reza malam itu didapuk menjadi pemandu diskusi. Sementara narasumber yang datang antara lain Adi Marsono selaku pemeran utama dalam film Bedjo van Deerlak, Jeihan Angga selaku sutradara film Gara-Gara Bendera, Rina selaku line produser untuk film KTP dan Vandi, produser  film Seragam.

Sebagai pemantik diskusi, Reza bertanya pada masing-masing narasumber tentang bagaimana pada awal mula proses pembuatan film dan mengapa film dibuat dengan tema sedemikian rupa.

Adi Marsono menjawab, “Mungkin yang lebih tepat langsung bertanya ke Edi Cahyono. Saya tidak tahu bagaimana ide pembuatan film itu. Di sini saya hanya menjadi aktor. Namun yang pasti, kami cuma punya semangat untuk membuat film itu.”

“Bobby memang dari awal memang ingin membuat film tentang agama. Namun Bobby ingin membuat film bertema agama tapi yang tidak serius, inginnya komedi,” ungkap Rina yang mewakili Bobby Prasetyo. “Karena film [Bobby] sebelumnya serius terus,” ucap Reza menimpali.

Jeihan, sutradara Gara-Gara Bendera menuturkan bahwa, “Film ini dibuat tahun 2011 akhir. Film ini dibuat karena memang kami ingin shooting. Lalu saya membuat cerita. Namun ketika cerita itu jadi, teman-teman menyarankan saya untuk menyutradarinya juga. Jadilah film Gara-Gara Bendera.”

Vandi, produser film Seragam, menjawab ide awal pembuatan film tersebut berasal dari sutradara, “Kalau menurut sutradaranya, dia melihat dari anak SD-SMP, yang apa-apanya harus seragam.” Reza kemudian menyimpulkan bahwa film dibuat karena ada semangat untuk berkarya dan beberapa berasal dari keresahan sutradara.

Kemudian Reza melempar kesempatan pada penonton untuk bertanya, tetapi tidak ada penonton yang ingin bertanya. Reza melanjutkan diskusi dengan memberi pertanyaan kepada filmmaker berkaitan dengan insiden pada event Sea Games yang baru saja berlangsung dan menanyakan tentang kondisi tersebut dalam konteks film masing-masing.

“Mungkin [jika] dipikir lebih kreatif dan tidak sekadar nyinyir di medsos, mungkin bisa menjadi sebuah ide,” ungkap Vandi menanggapi pertanyaan Reza. Jawaban Adi Marsono sedikit berbeda, “Nasionalisme bagus, tapi menjaga harga diri bangsa itu penting. Namun kemanusiaan lebih penting, seperti di film Bedjo van Deerlak.” Rina memiliki pandangan yang berbeda. Ia mengungkapkan bahwa “[F]ilm KTP juga menyebut tentang birokrasi, yang memang itu [menjadi] keresahan diri sendiri karena Bobby juga dekat dengan hubungan birokrasi. Ada beberapa adegan yang dipotong oleh Bobby, itu juga [karena] Bobby masih menghormati birokrasi di Indonesia”. Jeihan Angga memberi tanggapan dengan menuturkan bahwa “Kesamaannya, kami membuat film yang menyindir diri kami sendiri. Beda dengan film Barat yang menyindir orang lain. Jika film yang dibuat untuk “menyindir” dan bisa tersampaikan maka itu sangat bagus” ungkapnya.

Sekitar pukul 21.30 WIB Reza menutup diskusi dengan mengajak penonton memberi aplaus. Beberapa penonton yang ingin bertanya secara pribadi terlihat menghampiri filmmaker untuk diskusi secara ringan sembari makan makanan ringan yang disediakan oleh panita.

Mengenai Klub DIY Menonton (KDM)

Klub DIY Menonton (KDM) adalah program pemutaran dan diskusi yang dilaksanakan pertama kali pada Maret 2016. KDM memosisikan diri sebagai program pemutaran dan diskusi yang berlangsung secara berkesinambungan, selaras dengan slogan dan seruan KDM: Durabilty! Sustanbility! Long Live Alternate Screening! Tahun 2017 merupakan tahun kedua KDM menyelenggarakan program pemutaran dan diskusi film. Tahun ini KDM kembali didukung oleh Seksi Perfilman Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta serta dikelola secara kolaboratif oleh SAAP – Think & Create, Paguyuban Filmmaker Jogja, dan Yuk Nonton!!!

Tema besar yang menjadi payung program pemutaran KDM tahun 2017 adalah “Sinema & Konteksnya”. Tema tersebut dipilih karena relatif fleksibel untuk mengelola dan membaca dinamika sinema dalam topik yang luas dan beragam, misalnya: sinema dan politik, sinema dan sejarah, sinema dan gender, sinema dan kota, dan lain sebagainya.

Unggahan lainnya terkait laporan naratif KDM dapat dibaca di halaman ini.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top