Oleh : Adi Rosidi Pandega
Live Shoot Animation
Klub DIY Menonton (KDM) adalah program pemutaran dan diskusi yang direalisasikan untuk pertama kalinya pada Maret 2016. KDM memosisikan diri sebagai program pemutaran dan diskusi yang berlangsung secara berkesinambungan, selaras dengan slogan dan seruan KDM: Durabilty! Sustanbility! Long Live Alternate Screening! Tahun 2017 ini, KDM memasuki tahun kedua. Di tahun keduanya, KDM kembali didukung oleh Seksi Perfilman Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta,dan dikelola secara kolaboratif oleh SAAP – Think & Create, Paguyuban Filmmaker Jogja, dan Yuk Nonton!!!
Tema besar yang akan menjadi payung program pemutaran KDM tahun 2017 adalah “Sinema & Konteksnya”. Tema tersebut dipilih karena relatif fleksibel untuk mengelola dan membaca dinamika sinema dalam topik yang luas dan beragam, misalnya: sinema dan politik, sinema dan sejarah, sinema dan gender, sinema dan kota, dan lain sebagainya.
Baca juga: Laporan Naratif KDM #14 – Merayakan Film dari Tepian
Tontonan yang menarik kembali dihadirkan oleh Klub DIY Menonton yang ke 15 (KDM #15). Dalam penyelenggaraannya, KDM berkolaborasi dengan Animasi Club (KDM #15 x Animasi Club 04). Live Shoot Animation diusung sebagai tajuk. “Tujuan dari kerjasama ini adalah memberikan cita rasa dan wacana baru untuk perkembangan budaya audiovisual dan budaya menonton di Yogyakarta”, ujar Suluh Pamuji selaku koordinator Program KDM.
***
Cuaca semakin tak bisa diprediksi. Sejauh ini, penyelenggaraan KDM disambut hujan entah itu di Jogja Village Inn atau tempat pemutaran KDM yang terbaru di Loop Station YK. Loop Station YK berada di tengah kota, 0 KM. Tempat tersebut memberi nuansa baru bagi pemutaran kali ini. Sekitar jam 15.30 WIB, Wicaksono Wisnu Legowo (Sutradara Turah) sudah datang dari Jakarta untuk mengisi diskusi seusai pemutaran. Tepat jam 16.15 WIB. Wimba Hinu Satama selaku Koordinator Acara mempersilahkan penoton memasuki ruang putar. Wisnu kemudian dipersilakan membukaslot 1: Pemutaran filmnya, Turah. Penonton diperbolehkan memberi masukan di sesi tanya jawab nanti.
***
Turah bercerita tentang kehidupan masyarakat kelas menengah kebawah yang berada di kampung Tirang, Tegal, Jawa Tengah. Masyarakat Tirang dalam Turah menggantungkan kehidupan ekonominya kepada seorang juragan bernama Darso. Penonton beberapa kali dibuat tertawa oleh tokoh bernama Jadag, dan melihat tokoh Turah sebagai tokoh sentral yang melihat semua peristiwa dan konflik yang terjadi di kampung Tirang.
***
Matahari telah surup saat diskusi dimulai. Suluh Pamuji yang juga bertugas sebagai moderator mempersilahkan Wicaksono Wisnu Legowo untuk duduk disebelahnya. Suluh melempar langsung ke penonton apakah tanggapan tentang film Turah, namun penonton belum terpancing untuk memberikan pendapat. Suluh kemudian memberikan pancingandengan cara bertanya kepada Wisnu: “Bisa diceritakan proses kreatifmu untuk film Turah?”
“Kemunculan ide tentang Turah ini sebenarnya bermula ketika saya berkunjung ke kampung Tirang. Saya datang ke sana ketika sedang mengerjakan TA (Tugas Akhir). Kampung Tirang letaknya tidak jauh dari kota, hanya 2,5 KM dari pusat kota. Ketika saya sedang menulis skenario saya langsung terpikir Pak Selamet Ambari untuk memainkan Jadag. Penulisan skenario sekitar 2 tahun, tapi tidak semuanya menjadi waktu efektif. Setelah skenario lock, breakdown karakter menentukan cara saya mengambil gambar untuk pengadeganan dalam film Turah, khususnya untuk karakter Turah dan Jadag,” terang Wisnu.
Belum ada satu menit seorang penonton bernama Rohan mengacungkan tangan. Rohan bertanya, “Apakah kampung Tirang memang wilayah yang termarginalkan? Dan apakah konflik sosial yang terjadi di film Turah memang seperti itu?” Wisnu menjawab, “kampung Tirang sebenarnya tanah timbul karena air surut. Kemudian ada beberapa kepala keluarga yang tinggal di situ. Cerita dan konfliknya fiksi, namun karakter seperti Jadag yang mabuk mabukan setiap hari memang ada, karakter juragan seperti Darso juga ada, walaupun tidak menguasai seluruh kampung. Keadaan sosial kampung Tirang seperti itu, dan warga asli kampung Tirang mengaku nyaman menetap di situ.”
***
Pemutaran slot 2 animasi dibuka oleh perwakilan Animasi Club, Yo. Yo menyatakan“pasar animasi global masih dikuasai oleh Holywood dan Jepang. Dengan adanya dua dominator tersebut Indonesia kesulitan membuat pakem animasi yang khas Indonesia.” Pada sesi ini, diputar enam film animasi pendek dari dalam negri dan mancanegara. Sculptre of The Day karya Monika Kuczyniecka tampil sebagai video musik yang menjajar karakter permpuan dari berbagai perspektif. Woolen Cogwheels karya Bartosz Kedzierski menceritakan tentang seorang pria tua yang menciptakan alat aneh sementara sang istri menyibukan diri dengan rajutannya. Animasi berduarasi 14 menit tersebut tampil paling naratif.
Animasi ketiga adalah karya Fauzi Rahman dengan judul Burnout yang dibuat untuk memenuhi Tugas Akhir di Jurusan Animasi Fakultas Seni Media Rekam ISI Yogyakarta. Burnoutmenampilkan kegalauan seorang lelaki melalui garis, warna dan suara yang ekspresif. Selanjutnya, Gli.Tch karya Mikolaj Seczawa menampilkan repetisi adegan sebagai rutinitas yang kacau dari seekor burung yang berprofesi sebagai pegawai kantoran.
Unlock karya Wulang Sunu menjadi animasi kelima yang bermain dengan teknik stop motion untuk menghidupkan seorang tukang kunci dan anak laki-laki dengan fantasi. Animasipenutupadalah Astigmatismo karya Nicolai Troshinsky yang memainkan kaburnya penglihatan seorang anak laki-laki yang kehilangan kacamatanya.
***
“Dikampus kita harus dituntut berkarya dan berwacana sebagai proses belajar membentuk konsep,” Ujar Fauzi selaku AnimatorBurnout. Wulang Sunu menambahkan, “kalo untuk saya konsep itu terbentuk ketika saya menjaga studio Papermon Puppet Theater,ketika senggang saya memanfaatkannya untuk brainstroming dengan teman-teman. Itu dapat menambah wawasan kita dalam menemukan konsep.”
Faisal dari ISI Yogyakarta bertanya tentang bagaimana teknik pembuatan animasi di kedua film tersebut karena menurut Faisal kedua animasi tersebut sangat berbeda. Fauzi menanggapi “Untuk teknis pembuatan dalam Burnout saya menggunakan shooting secara realis setelah itu saya menggunakan teknik rotoscope. Berbeda dengan Wulang,“kesulitan dalam membuat Unlock adalah dalam boneka tersebut, karena dibawahnya ada sekrup kecil untuk menggerakkan boneka. Gerak boneka harus sesuai dengan bayangan dalam cerita.”