Banyak keragu-raguan yang kerap menteror hidup kita. Kadang kita ragu untuk memilih barang yang kita mau beli, ragu dalam mengikuti sebuah acara, ragu dalam karir, ragu untuk memberikan sesuatu, bahkan ragu untuk memegang komitmen. Seperti yang dialami oleh Andrea dalam film She’s the One (La donna per me) yang disutradarai oleh sineas Italia, Marco Martani. Film ini merupakan satu dari seratus lebih film yang ditayangkan oleh Europe on Screen ke 23. Sang sutradara pun hadir ke Jakarta untuk menghadiri sesi QnA di IIC Jakarta (Instituto Italiano di Cultura) dan menjadi salah satu pembicara dalam workshop penulisan naskah untuk film komedi romantis.
Waktu yang Berulang dalam La donna per me
Film yang dirilis di Italia pada tanggal 4 April 2022 ini bercerita tentang Andrea yang dalam hitungan jam akan menikah dengan Laura. Tapi ketika ia bertemu dengan teman-temannya semalam sebelumnya, ia merasakan keraguan yang besar. Benarkah Laura menjadi pendamping yang tepat untuknya? Apalagi serentak sejumlah perempuan seolah memberikan perhatian lebih padanya lewat pandangan yang barangkali ditanggapi berbeda oleh Andrea.
Andrea pun pulang tengah malam. Tapi keesekon harinya, ketika ia bangun tidur, ia memiliki kehidupan lain dengan perempuan yang pernah ia temui. Setelah itu, Andrea tidak bisa keluar dari hari yang berulang tersebut dan terperangkap dalam beberapa kehidupan yang berbeda dan perempuan-perempuan yang lain. Ia seolah diuji lewat keragu-raguannya. Setelah mengalami berbagai kehidupan tersebut, lantas Laura kah tetap menjadi pilihan?
Premis film dengan waktu berulang seperti ini tentu sudah akrab bagi banyak orang. Bermula dari sebuah novel Rusia yang berjudul Strange Life of Ivan Osokin karya P. D. Ouspensky yang dipublikasikan tahun 1915, hingga film tahun 2020 yang berjudul Palm Springs. Sepanjang rentang waktu tersebut, banyak film berbagai genre yang seolah tidak habisnya mengeksplorasi formula ini. Salah satu yang paling populer adalah Groundhog Day (1993) arahan Harold Ramis yang bagi Marco Martani sendiri adalah sebuah masterpiece. Banyak dari film dengan premis mirip tersebut berhasil memberikan nyawa baru dalam tiap pengulangan. Karena mengulang kehidupan kembali ke masa lalu barangkali salah satu obsesi manusia yang sangat besar, lengkap dengan pilihan-pilihan yang bisa diambil, rasanya cara penuturan seperti ini tidak akan ada habis-habisnya digunakan. Tinggal si pembuat film yang musti memutar otak, apalagi hal segar yang bisa disempilkan dalam cerita.
Usaha menyuntikkan kesegaran tersebut bisa ditemukan dalam La donna per me dimana Marco tidak hanya memberikan konflik time looping dengan kehidupan sama bagi tokohnya, tapi juga problematika hidup yang berbeda dimana ia menjadi orang lain, style yang berbeda, pasangan yang tidak sama, dan nasib yang pernah ia andaikan. Sejenak premis ini juga mengingatkan pada film Indonesia berjudul Medley (2007) karya Franklin Darmadi. Namun sentuhan komedi romantis Marco Martani yang manis dan lucu, mulusnya penceritaan, serta bagian akhir yang tidak terduga meniupkan nyawa lain bagi La donna per me.
Membuat Film dengan Pasangan
Marco mengaku, cerita yang ia angkat dalam La donna per me terinspirasi dari permasalahan yang ia hadapi dalam hidupnya, termasuk krisis dalam pernikahan. Seperti banyak dialami oleh pasangan di seluruh dunia, Marco juga pernah menghadapi konflik dalam rumah tangga. Bahkan ia dan pasangan berkonsultasi pada terapis. Berangkat dari situ, bersama sang istri, ia pun menulis naskah film ini. Proses ini berlangsung selama kurang lebih satu setengah tahun. Itu berarti mereka mengarungi masa-masa lockdown pandemi dengan bekerja keras menyelesaikan naskah ini.
Lewat film ini, dengan gaya romantis Inggris klasik, Marco ingin menyampaikan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan bersama pasangan. Ia mencoba menuturkan tentang hal apa saja yang mengingatkan penonton dengan pasangannya, apa yang membuat mereka jatuh cinta. Terkadang, ketika seseorang hidup bersama dengan pasangan, membentuk komitmen dengannya, seiring berjalannya waktu, ia lupa akan hal-hal kecil. Topik tersebut bisa kita rasakan dalam La donna per me dimana pada suatu waktu, ketika si tokoh utama mengalami kehidupan yang lain, ia teringat hal-hal terperinci yang dilakukan pasangan nyatanya.
Adapun penuturan time loop yang digunakan Marco, ia mengatakan, ia ingin si tokoh utama mengalami banyak hal sebelum ia menjalani komitmen yang ia bentuk bersama pasangan. Marco mengatakan, ia terinspirasi tiga sutradara besar dalam berkarya: Stanley Kubrick, Billy Wilder, dan yang generasi saat ini, Christopher Nolan, terutama berkaitan hal-hal paradoks yang ia tuangkan dalam karya. Marco sangat mengagumi Billy Wilder karena sineas peraih tujuh Oscar ini bisa membuat film dengan beragam genre, termasuk komedi romantis. Diilhami sosok versatile ini, Marco pun sedikit membocorkan proyeknya di masa yang akan datang: sebuah film noir thriller yang masuk tahap pasca produksi.
Dalam La donna per me, kita bisa melihat latar tempat yang tidak begitu hiruk-pikuk dan terkesan semi-pedesaan dengan bangunan-bangunan antik. Lokasi film ini merupakan tanah kelahiran Marco sendiri, sebuah daerah bernama Spoleto di Provinsi Perugia timur, yang terletak di sekitar Pegunungan Apennini, seratus dua puluh enam kilometer dari Roma. Setting tersebut menambahkan kesan romantis dari film ini.
***
La donna per me adalah satu dari sekian banyak film komedi yang dibawa oleh Europe on Screen 2023 yang sepenuhnya dilaksanakan offline. Kelucuan-kelucuan yang bisa saja kita temukan dalam keseharian, terselip dalam kisah-kisah getir dan momen-momen kecil yang dilewatkan dan sayang sekali tidak bisa diulang.
Baca juga pengalaman-pengalaman Ali Satri Efendi lainnya pada halaman berikut.