Tanggal 3 sampai 8 Desember (melewatkan dua hari awal penyelenggaraan festival), saya berkesempatan kembali menyambangi Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) ke-12. Beberapa film baik panjang maupun pendek tertonton melalui berbagai program. Isu global terkait perpindahan manusia dan isu seksualitas coba ditanggapi dengan dipilihnya tema “Fluidity” sebagai tema pada penyelenggarannya yang ke 12 tahun ini.
Pop Aye, perlambang cairnya identitas dan hubungan antar makhluk hidup
Pop Aye film sebuah film seputar identitas dan kehidupan berkeluarga di Thailand menjadi film yang diputar dalam malam penutupan. Dibuat oleh sutradara Singapura, film ini berlatar di Thailand. Sebuah representasi dari fluiditas itu sendiri terkait identitas pembuat film dengan hal yang tampilkan. Di akhir film, Pop Aye kemudian menunjukan identitas yang bisa menjadi cair, juga hubungan keluarga yang tidak selalu baik-baik saja namun ketegangan yang ada bisa kemudian mencair atas nama hubungan yang telah terjalin selama ini.
Selain Pop Aye, selama enam hari berfestival, tertonton juga film dari mancanegara yang diputar melalui berbagai program. Mungkin tahun ini film-film luar negeri yang saya tonton lebih banyak dari tahun sebelumnya. Tentu saja sesuai ekspektasi berfestival film, film-film ini membawa isu aktual yang sering kali sensitif dengan pemaknaan yang cair tergantung bagaimana penonton melihat. Aqerat (Edmund Yeo, Malaysia) yang mengangkat perihal cair dan dekatnya kultur warganegara antar-bangsa di Asia Tenggara, yang mana batas negara hanya jadi komoditas yang digunakan kelompok tertentu untuk mengeruk keuntungan tanpa melihat kemanusiaan. Isu Rohingya pun turut terangkat di film ini. Atau Dark is the Night (Adolfo Alix Jr, Filipina) sebuah film yang mengangkat kebijakan tembak di tempat bagi pengguna-pengedar narkoba di Filipina. Ada pula film By the Time it Gets Dark (Dao Khanong, Thailand) mengenai tragedi 1976 di Thailand, dan hantu masa lalu yang tertinggal dalam kehidupan masyarakat kekiniannya.
Kondisi aktual dalam negeri melalui film pendek Indonesia
Film pendek nasional terus menjadi terdepan dalam memfasilitasi kita melihat Indonesia. Seputar ’65 muncul melalui film pendek Indonesia yang diputar pada program Asian Perspective Shorts yaitu C’est La Vie (Ratrikala Bhre Aditya) yang menawarkan pada penontonnya untuk menterjemahkan secara bebas apa yang sebenarnya terjadi di dalam kepala seorang tahanan politik. Belum lagi membahas film-film pendek yang diputar dalam program Layar Komunitas, ada Ji Dullah (Alif Septian Raksono) yang mengangkat potret masyarakat Jawa Timur-Madura di mana jabatan dan status sangat diagungkan. Sementara budaya poligami terangkat dalam film Anak Lanang (Wahyu Agung Prasetyo) yang jenaka dan kembali mengangkat talenta anak-anak dalam film sebagaimana beberapa film Wahyu sebelumnya.
Kreativitas dan fluiditas tentu sangat dibutuhkan oleh para sineas muda ketika membahas isu berskala nasional dengan pelaku-pelaku kelas nasional. Kreativitas dan fluiditas ini ditunjukan melalui Carnivalle (Candra Aditya) yang menceritakan politik lingkup pelajar dalam sebuah sekolah menengah yang bisa saja dianggap satir kondisi aktual situasi politik ibukota.
Transisi hubungan antar manusia melalui film pendek
Melalui program Busan International Short Film saya berkesempatan menonton lima film sederhana seputar Korea Selatan. Ada Home Without Me (Kim Hyung Jung) yang menyorot karakter anak paling kecil yang merasa terpinggirkan di rumahnya, Line (Shin Jihoon) mengenai konflik batin warga senior dan hubungan bertetangga di sebuah apartemen, My Father’s Room (Jang Nari) sebuah animasi unik tentang masa lalu seorang anak perempuan dan hubungan dengan ayahnya, Nagayo (Cha Jeong-Yoon) pertentangan kebutuhan hidup dan harga diri, The Regular Hire (Kim Taewoong) mengenai previlese yang diterima seorang karyawan baru dengan latar belakang menarik, dan previlese tersebut mempengaruhi interaksinya dengan koleganya satu departemen, juga The Silence of the Dog (Park Hyun Cheol) mengulik budaya kekerasan antar aparat, sipil-aparat, antar sipil yang dibalut hubungan ayah dan anak. Hubungan personal dan interpersonal yang dingin bertransisi menjadi hangat atau malah kondisi tersebut bisa juga terasa secara bergantian, perubahan temperatur hubungan atas nama hubungan keluarga. Pada sesi Sampah Festival dalam Forum Komunitas penulis kemudian terpapar penjelasan seputar sikap beberapa festival, termasuk Busan International Short Film Festival yang memang senantiasa mengangkat sineas muda, terutama dari Korea Selatan sendiri.
Karena menyebut soal hubungan antar-personal yang dinamis dan berubah dalam satu keluarga, penulis pun harus kembali ke program Layar Komunitas. Salah satu film yang diputar, Jendela (Hilarius Randi Pratama), bercerita tentang bekunya hubungan sang ayah dan anaknya paska sebuah bencana dalam keluarga mereka menunjukan hal ini.
Asia tetaplah Asia, cair masyarakatnya bukan tanpa syarat dan ketentuan. Dua film lainnya yang saya tonton pada program Asian Perspective Shorts (2), The Illusion Seller (Sharofat Arabova) dan Online Shopping (Ghasideh Golmakani) menunjukan batasan dan kewaspadaan antar personal yang walau tidak serta merta eksklusif dan dapat dimengerti secara global.
Melalui premis yang diangkat, yaitu, tentang seorang imigran pedagang yang dekat dengan seorang anak perempuan sebuah keluarga dalam The Illusion Seller, juga Online Shopping mengenai seorang perempuan yang bertemu dengan peminat sepatu-sepatu yang ia tawarkan dalam platform belanja online. Kedua film terkait dengan isu terkini seputar kekerasan seksual sekalipun hal yang ditakutkan tidak terlihat. Juga kontekstual, membawa latar masing-masing film yang notabenenya berasal dari negara-negara dengan warga mayoritas muslim.
Menampilkan Indonesia secara kreatif dalam dua film program Spesial Gala
Menangkap dua film pada Spesial Gala, ada Mobil Bekas dan Kisah-kisah Dalam Putaran. Sebuah film yang penuh metafora dari sutradara yang dalam tiga tahun melejit dan menggarap dan bermain di berbagai bentuk film. Menarik dari film-film Ismail Basbeth sebelumnya, film ini sendiri mengukuhkan Ismail sebagai sutradara yang sensitif terhadap apa yang ia lihat baik di Indonesia, juga terkait kemanusiaan termasuk di antaranya ada perempuan dan alienasi. Sekaligus juga sutradara yang cair, hal-hal yang ia lihat dan rasakan tadi termanifestasikan dalam berbagai bentuk rupa film baik komersil atau atau art-house.
Masih terkait kemanusiaan dalam program yang sama ada Tengkorak, film fiksi ilmiah garapan Yusron Fuadi. Kemanusiaan diuji dalam film baik antar individu maupun antara lembaga negara dan rakyatnya setelah suatu hal yang asing muncul dan seketika nyawa dan aset negara menjadi sesuatu yang begitu murah. Berbeda dengan Mobil Bekas dan Kisah-Kisah dalam Putaran, film dengan gamblang menyebut Indonesia, memotret menampilkan tentara serta pejabat publik. Rasanya menarik dapat menonton keduanya secara back-to-back.
Program baru meramaikan musim penghargaan
Merupakan hal yang lumrah bila program sebuah festival berubah-ubah setiap tahun dan harus cair, menyesuaikan dengan berbagai kebutuhan, terutama bila membicarakan festival sebesar JAFF. Meramaikan musim penghargaan insan film Indonesia, tahun ini JAFF menghadirkan program Indonesia Screen Awards setelah di beberapa tahun menghadirkan program The Faces of Indonesian Cinema Today. Melalui program ini, JAFF untuk pertama kalinya juga memberikan apresiasi bukan hanya pada capaian film, namun juga untuk sutradara, penulis skenario, aktor dan sinematografer. Berkembangnya program, walau bukan satu-satunya cara, membuat JAFF tidak lagi sekedar menjadi ruang bagi film Indonesia terkini, namun juga menjaga perkembangan dan keberagaman sinema Indonesia. Program ini diawali dengan hanya memilih film-film dengan satu negara produksi, Indonesia dan agar penghargaan ini objektif, juri internasional ditunjuk untuk memilih para peraih penghargaan.
Akan menarik melihat bagaimana perkembangan program ini ke depannya, terutama posisinya di antara ajang-ajang penghargaan yang lain di Indonesia.
Mendorong lahirnya bakat-bakat baru dalam bidang produksi dan pengelolaan festival
Menunjukan sebagai festival yang peduli dengan pengembangan bakat-bakat baru. Tiga program hadir yaitu CGV Movie Project yang bekerjasama dengan pihak ekshibitor CGV juga menjadi salah satu venue pelaksanaan JAFF 12. Jogja Future Project, dan satu lagi program bekerjasama dengan Aprofi. Tiga film proyek CGV Movie Project telah diputar pada salah satu sesi di JAFF dan dua tim terpilih untuk menjalankan proyek film panjang mereka pada Jogja Future Project.
Pengelolaan yang cair tahun ini coba ditunjukan oleh Garin Nugroho yang selama ini menjadi Presiden Festival. Tahun ini sutradara ikonis tersebut mengundurkan diri dan digantikan oleh Budi Irawanto yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Festival. Sebagaimana kultur Jogja yang selo, pengumuman ini tidak kemudian dibuat dengan ratapan atau kesedihan, melainkan dengan canda dan nuansa kekeluargaan yang ditunjukan pada malam penutupan.
Sebagai festival film yang besar, JAFF selalu menarik minat anak muda peminat film untuk bergabung yang mana ditunjukan dengan ratusan aplikasi relawan yang ingin terlibat dalam festival ini. Perubahan struktur di tingkat manajemen tersebut sesuai harapan dari Mas Garin berpotensi mengorbitkan lebih banyak lagi anak muda peminat film untuk ikut serta memajukan film nasional juga membuat Indonesia lebih diperhitungkan dengan terlibat dalam JAFF. Patut kita nantikan bagaimana perkembangan JAFF di tahun depan dan tahun-tahun selanjutnya.
Terima kasih untuk tontonannya dan sampai jumpa~