Tulisan merupakan bagian dari program apprenticeship Infoscreening
“Saya mau makan siang dengan anak dan istri,” kata Eka Kurniawan, saat saya dan teman-teman memintanya untuk foto bersama. Kemudian dia berpose dan lekas pergi. Pertemuan tatap muka pertama dengan Eka Kurniawan itu terjadi ketika tempat kerja saya yang dulu—group majalah wanita mengadakan workshop menulis dan Eka Kurniawan menjadi salah satu pembicara. Ini terjadi di rentang tahun 2013 atau 2014.
Kemudian persinggungan dengan penulis kelahiran Tasikmalaya ini kembali hadir, di tahun 2016 ketika bukunya Cantik Itu Luka masuk ke dalam 100 Buku Pilihan The New York Times. Saya ingat komentarnya saat menjawab pertanyaan paling receh sedunia—bagaimana perasaaan Mas Eka karyanya terpilih masuk deretan buku terkemuka The New York Times?
Dia bilang, “Tentu senang, tapi tak perlulah ditanggapi secara berlebihan. Di dalam daftar semacam itu selalu ada pilihan-pilihan subyektif pemilihnya. Dan tentu saja mungkin akan ada karya-karya bagus yang terlewatkan. Misalkan buku-buku yang sebenarnya bagus tapi mungkin diterbitkan oleh penerbit kecil, atau tidak memperoleh liputan yang memadai.”
Bagi pembaca perempuan, Eka Kurniawan dikenal sebagai penulis yang santun dalam menanggapi euforia pembaca bukunya. Sedangkan buat pembaca laki-laki, karya-karya penulis yang punya mimpi menerjemahkan novel Moby Dick ini begitu liar, “hidup”, “meletup”, sungguh berbanding terbalik dengan perawakannya yang kalem.
Di tahun 2018 Eka Kurniawan meraih penghargaan internasional kembali, Prince Clauds Awards, kategori sastra di Belanda. Karya-karya Eka tidak hanya dilirik oleh pemberi awards tetapi juga kreator seni lainnya. Sejauh ini sudah dua cerita pendek Eka Kurniawan yang diangkat menjadi film.
Pada 2016, sutradara Harry Dagoe mengangkat cerita pendek Jimat Sero ke film dengan judul Sunya. Di 2019, sutradara peraih Piala Citra 2019 Wregas Bhanuteja mengangkat cerita pendek Tak Ada yang Gila di Kota Ini, ke film pendek dengan judul yang sama. Dan rencananya, pada 2020 sutradara Edwin akan memfilmkan novel Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas.
Pikat Eka Kurniawan
Diwawancara di waktu yang berbeda, ketiga sutradara ini punya pandangan yang kurang lebih sama mengenai karya Eka Kurniawan. “Saya menyukai cara Mas Eka memotret kehidupan masyarakat di daerah-daerah terpencil seperti di kabupaten ataupun di desa. Kehidupan masyarakat itu sebetulnya memiliki banyak dinamika keseharian yang jarang kita tahu tapi Mas Eka mampu mengangkatnya dan memadukan dengan genre sehingga menjadikannya menarik,” jelas Wregas Bhanuteja.
Wregas mencontohkan novel Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas yang mengangkat kehidupan sopir truk yang bekerja di daerah Pantura. Selama ini dia mengaku tidak punya pengetahuan bagaimana sopir truk berdinamika dalam kehidupannya.
Baca juga: Pemaknaan Kontrol Diri Seorang Wregas Bhanuteja
Tidak tahu kalau mereka punya kebiasaan balapan truk, kalau mereka punya kebiasaan duel di sebuah arena. Tidak tahu kalau mereka punya semacam bar atau kafe yang mereka bikin sendiri untuk tempat nongkrong.
“Mas Eka mampu menyajikan semua pengetahuan tersebut ke dalam karya-karyanya. Dan yang membuatnya menarik, gaya penulisannya tidak hanya sekadar liputan atau reportase, tapi dia memadukannya dengan genre yang digunakan untuk memahat cerita. Kalau ditelaah lebih dalam, Eka banyak bicara tentang psikologis manusia, perilaku manusia yang menurut saya itu menjadi sesuatu yang penting untuk dibicarakan saat ini,” ujar Wregas.
Senada dengan yang disampaikan Wregas, Edwin juga mengungkapkan hal yang sama, “Cara bertutur Eka yang sangat visual, dekat dengan budaya-budaya populer kita, silat, horor, dan tidak takut dengan bentuk-bentuk yang populer, namun tetap menjadi sesuatu yang puitis juga adalah hal yang saya sukai dari karya-karya Eka.”
Merenggang Urat Saraf dalam Hening
Saya menonton Sunya beberapa tahun lalu di pemutaran Kineforum. Ada beberapa adegan yang berbeda ketika menonton Sunya dan membaca Jimat Sero—walaupun inti cerita antara cerpen dan filmnya tetap punya benang merah yang sama.
Terlepas dari pembebasan kreativitas dan penafsiran sang sutradara, Harry mengaku punya rencana sendiri saat memfilmkan Sunya. “Membangun sinema dari sebuah karya sastra bukan sebuah pemerkosaan,” katanya—ini bisa menjadi jawaban buat pertanyaan-pertanyaan pembaca kenapa feel-nya beda antara film dan cerita pendeknya.
Suasana diskusi “Booktalk with Eka Kurniawan” pada 2017 di Periplus
“Ketika saya mewujudkannya, saya ingin memfilmkan pengalaman batin saya saat membaca karya tersebut,” terang Harry lagi. Buatnya Jimat Sero aka Sunya adalah bentuk realitas absurditas Indonesia yang bukan perkara mudah untuk divisualisasikan. “Mudah untuk membuat penonton mengerti, tapi untuk merasakan kedalaman itu perkara lain. Perlu ada penggalian, pencarian bentuk sinema, dan banyak pendobrakan hal-hal yang liar agar semuanya tersampaikan.
“Saya menyukai keunikan pengaryaan Eka Kurniawan, ketika dia berkarya bukan demi selera pasar. Jimat Sero buat saya adalah sebuah local genius, sepotong Indonesia yang dihadirkan dengan personalitas seorang Indonesia. Membaca Jimat Sero membuat saya merasakan titian karya yang merenggangkan urat saraf dalam hening,” tutur Harry penuh perenungan.
Pembebasan dari Eka Kurniawan
“Mas Eka membebaskan proses alih media ini (dari cerita pendek ke film—red). Saya tulis sampai draf keempat, kemudian Mas Eka baca skripnya dan langsung bilang oke, dia suka,” kata Wregas ketika ditanyakan seberapa besar porsi Eka Kurniawan dalam perubahan filmnya.
Diakui Wregas, dia sempat bertanya apakah Eka punya masukan dan ternyata Eka hanya bilang senang dengan interpretasi Wregas terhadap karyanya. Justru setelah semua sudah oke, baru kemudian terjadi obrolan ringan antara Wregas dan Eka, bagaimana Eka akhirnya menulis Tak Ada yang Gila di Kota Ini.
“Buat saya produk akhir sebuah karya Mas Eka adalah cerita pendek itu sendiri. Saya mencoba untuk tidak menyelami latar belakang di balik proses pembuatannya. Saya tidak ingin apa yang sebenarnya tidak terkatakan dalam cerita pendek tersebut memengaruhi cara pandang saya terhadap karya tersebut,” jelas Wregas lagi.
Berbeda dengan Wregas, dua film lainnya adalah hasil “keroyokan” sutradara dan Eka Kurniawan. Untuk Sunya ada beberapa “sentuhan” Eka, seperti pemilihan judul, dan juga penulisan skenario. Film Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas yang masih dalam proses penggarapan oleh Edwin sendiri juga ditulis oleh Eka duet dengan Edwin.
Baca juga: Tiga Proyek Film Indonesia Mendapat Pendanaan Komisi Film Singapura
“Setiap kali ada produser atau rumah produksi yang berminat dengan salah satu cerita saya, saya selalu meminta mereka mencantumkan siapa yang akan menjadi sutradaranya, serta portofolionya. Tanpa itu, saya tak terlalu tertarik melakukan pembicaraan lebih lanjut,” kata Eka mantap saat ditanyakan apa yang menjadi pertimbangannya saat karyanya mau diangkat ke dalam bentuk film.
Setelah cocok dengan sutradara, baru aspek-aspek legal lain menyangkut hak cipta, kontrak, dan sejenisnya, menjadi pertimbangan tambahan. Buat Eka, sama seperti interpretasi pembaca, sutradara juga memiliki penafsirannya sendiri yang harus dibebaskan. “Saya tidak perlu mengomentari interpretasi tersebut, lebih baik menikmati filmnya atau biarkan penonton memberi tanggapan lebih lanjut,” tambahnya.
Keberagaman dan perkembangan literatur sastra Indonesia sejatinya bisa menjadi ide buat para sutaradara dalam membuat film. Best seller bisa menjadi pertimbangan, namun unsur kesenangan, ketertarikan personal akan karya tersebut adalah hal lain lagi. Seperti yang disampaikan Edwin, mengangkat best seller mungkin membantu untuk publikasi tetapi mengangkat karya yang disenangi jauh lebih berarti.
