Menyambut 100 tahun usia Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia, kita perlu kembali melihat dan menyusuri perjalanan lembaga ini serta kontribusinya terhadap kesenian, terlebih lagi perfilman Indonesia. Kilas balik ini tentu akan menimbulkan pertanyaan “Perlukah sensor?” Sejauh apakah dampak sensor yang dilakukan oleh lembaga ini? Film Potongan yang digarap oleh Chairun Nissa atau Ilun menelusuri perjalanan Edwin dan Meiske Taurisia sebagain film maker film Babi Buta yang Ingin Terbang (The Blind Pig Who Wants To Fly) dalam mengajukan karya mereka ke LSF. Pada hari Selasa 17 Mei 2016 yang lalu Cinema Conclave memutar film tersebut dengan mengundang Chairun Nissa sebagai sutradara, dan yang tidak disangkasangka sebelumnya Sastha Sunu, editor senior yang juga mengedit film Potongan ikut hadir, dalam sebuah bincang-bincang mengenai karya terbaru mereka tersebut.
Terinspirasi dari sebuah tugas dari Lab Laba-Laba yang menuntut mereka mengunjungi Lembaga Sensor Film (LSF) untuk mempelajari film-film seluloid, mereka menemukan potongan-potongannya yang tertinggalkan di bawah sebuah mesin. Selain itu, ditolaknya film Senyap (The Look of Silence) garapan Joshua Oppenheimer tanpa revisi sekalipun serta seleksi anggota LSF justru semakin menekankan momentum yang tepat untuk menelusuri seluk-beluk sebuah film melalui labirin LSF pada tahun 2015 silam. Proses legalisasi yang berputar-putar sengaja dilakukan alih-alih menggunakan calo untuk mengkritik prosedur yang berlaku meskipun pada akhirnya berujung pada kekecewaan; film Babi Buta yang Ingin Terbang ditolak dengan revisi.
Output ini pun akhirnya mengundang kritik lebih lanjut terhadap perkembangan LSF serta anggota-anggotanya yang berkaitan dengan relevansinya. Salah satu poin yang diangkat dalam diskusi adalah jargon bahwa LSF tidak lagi memotong film dan menyerahkan penyensoran pada pihak pembuat film sendiri atau swa-sensor. Menjadi lucu karena pemotongan fisik memang sulit dilakukan dalam era digital karena bentuk fisik dari film zaman ini bukan lagi bentuk seluloid seperti dahulu. Pengetahuan para audiens dalam dewan sensor pun dipertanyakan dan juga subjektivitas yang terlibat di dalamnya, terlebih lagi setelah relevansi mengenai sistem tim.
Sistem tim yang dilakukan dalam audiensi film yang dimasukkan ke LSF kian mengukuhkan permainan opini dibalik hal tersebut. Terlebih lagi, mayoritas dari anggota tim ini merupakan bagian dari pemerintahan dengan mindset melindungi segala hal yang dapat memicu serangan terhadap pemerintah. Oleh karena itu, tidak heran Babi Buta yang Ingin Terbang tidak lulus mengingat banyaknya konten yang merujuk kepada kerusuhan Mei 1998.
Pembatasan kreativitas ini secara sadar maupun tidak sadar tertanam ke diri beberapa filmmaker yang mengancam variasi film Indonesia. Padahal ada banyak aspek yang dapat menginspirasi orang banyak, namun semakin dekat dengan realita tampaknya semakin dekat dengan larangan LSF; nasib ini dapat dilihat dalam banyak dokumenter di Indonesia seperti Prison and Paradise pada tahun 2010. Imbas dari tidak lulusnya film tersebut oleh LSF adalah keluarnya film tersebut sebagai salah satu dokumenter terbaik dalam Festifal Film Indonesia (FFI). Uniformitas pun terbentuk.
Dengan demikian, kita pun bertanya-tanya belum cukupkah klasifikasi usia? Akan tetapi, perlu kita lihat kembali apakah telah terdapat margin usia yang jelas dalam setiap klasifikasi usia. Kita tidak dapat bergantung pada label Remaja dan Dewasa. Peran rumah tangga juga harus keras dalam mengontrol dan menerapkan pemahaman pola menonton khususnya pada anak-anak, alih-alih memberikan larangan. Adalah suatu konsepsi hidup yang salah dengan bergantung pada Lembaga Sensor Film dalam menyampaikan informasi kepada seorang anak.
Pada akhir diskusi, kedua tamu kita menekankan bahwa sensor merupakan masalah bersama, bukan hanya permasalahan filmmaker karena pada akhirnya semua berakhir pada pemikiran. Sebagai sebuah Bangsa yang berbudaya tentulah kita sendiri yang dapat merumuskan hal-hal yang boleh dan tidak boleh.