Pemutaran

Membingkai Perjuangan 25 Tahun Lalu: Marsinah

Bicara soal bulan Mei, memang ada banyak hal krusial yang terjadi pada bulan tersebut. Hari pertama di bulan Mei mengingatkan pada salah satu perjuangan sosok perempuan bernama Marsinah. Seorang aktivis buruh yang memperjuangkan hak teman-temannya yang masih terabaikan.

“Hidup Buruh! Hidup Buruh!” Seruan ini bukan terdengar pada tanggal 1 Mei 2018, melainkan tanggal 8 Mei 2018.

Pada tanggal 8 Mei 2018 kemarin, tepat 25 tahun terhitung sejak tahun 1993 kematian Marsinah. Kematiannya bagaikan kisah sunyi yang tak disentuh. Kasus Marsinah merupakan salah satu kasus pelanggaran HAM terbesar yang pernah ada, dan sampai sekarang tidak ada sedikit nyaring untuk mengusut tuntas kasus tersebut.

Menutup dengan Film “Marsinah: Cry Justice”

Taman Aspirasi (MONAS) pada siang itu (8/5) sudah ramai dengan 25 perempuan dari SINDIKASI sebagai lambang demonstrasi agar Komisi HAM dan Jokowi dapat mengintervensi kasus ini. “Usut Tuntas!” begitu nama kegiatan hari itu (8/5). Tuntutan untuk mengusut tuntas kasus Marsinah disampaikan bukan hanya melalui orasi, tetapi juga seni. Monolog oleh Perempuan Timur Merah, Tari Juang Marsinah oleh Sanggar Anak Harapan, dan banyak pertunjukan teatrikal lain. Sinema pun menjadi penutup dari Panggung Demokrasi hari itu.

SINDIKASI mengadakan Nonton Bareng di Taman Aspirasi yang terbuka untuk umum secara gratis. Pada pukul 19.00 pemutaran film Marsinah: Cry Justice (2001) karya aktor senior Slamet Rahardjo terlaksana.

Sumber gambar: kineforum.org

Dalam film tersebut Slamet Rahardjo tidak menggunakan pendekatan biografis. Layaknya Istirahatlah Kata-Kata (2016) yang menunjukkan sisi humoris dan melankolis dari sosok Widji Thukul, film Marsinah: Cry Justice (2001) menunjukan sosok Marsinah yang tangguh, berani, dan lugas benar-benar melalui cerita dan sudut pandang tokoh lain.

Fokus dalam film ini justru sangat intim saat menceritakan peran POLRI, TNI, maupun pemerintahan dalam proses investigasi kasus kematian Marsinah. Mutiari, Kepala Personalia PT Catur Putra Surya – tempat Marsinah bekerja – menjadi salah satu peran yang membawa fokus membawa film pada bagian tersebut. Tentang bagaimana ia dan teman-temannya merasa terancam saat investigasi.

Baca juga: Catatan Seusai Pemutaran dan Diskusi: Menyimak Istirahatlah Kata-kata dan Wacana Wiji Thukul yang Belum Beristirahat

Dengan pemeran yang secara sederhana mendalami peran-peran tersebut justru membuat ketegangan film ini terus berpacu. Tampak jelas ancaman, penyiksaan, dan kekerasan dari sesosok aparat keamanan. Seperti lorong yang tidak ada ujungnya, film ini memang tidak memberikan gambaran khatam dan kebenaran. Melainkan mengakhirinya dengan sebuah pertanyaan terbuka yang tertujukan kepada rakyat, aparat, dan pemerintah, “Siapakah pelakunya?”

Selanjutnya, film ini mengingatkan penontonnya tentang keadilan. “Tak butuh penghargaan dan ingatan-ingatan, ia hanya butuh keadilan. Marsinah, Widji Thukul, Munir, dan mungkin masih banyak orang yang memperjuangkan keadilan kala itu, yang kisahnya terkubur sedalam-dalamnya. Melalui janji nyaring ditunggu, perjuangan untuk mereka tidak berhenti sampai titik ini.”

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top