Review

Memoar Garin Nugroho: “Dongeng” Lintas Zaman Perfilman Indonesia

Membaca buku “Memoar Garin Nugroho: Era Emas Film Indonesia” ini bagi generasi 90-an seperti saya, entah mengapa seperti mendengarkan dongeng dari seorang bapak. Bukan, bukan dongeng cerita rekaan yang dikisahkan kepada anak-anak sebelum tidur itu. Hanya sensasinya. Mungkin sensasi dongeng itu muncul karena adanya gap waktu, situasi politik, dan perkembangan teknologi yang cukup radikal. Apalagi Garin yang kita lihat dari karya-karya filmnya terkesan kompleks dan berat, di buku ini ia berbahasa dengan ringan dan cenderung santai.

Dalam buku setebal 216 halaman ini, kita akan diajak Garin membaca ingatannya yang merentang hingga 3 zaman. Mulai dari kesannya terhadap tokoh dan karya-karya pendahulunya seperti Usmar Ismail dan Nya Abbas Akup. Situasi perfilman di masa rezim represif Orde Baru. Sampai penilaiannya terhadap para sutradara generasi pasca-Reformasi seperti Mouly Surya dan Yosep Anggi Noen. Dalam buku ini pula kita akan diajak melawat ke isu-isu serius seperti irisan hidup Garin dengan dinamika politik, hingga hal-hal ringan namun menggelitik, seperti bulu ketek Eva Arnaz.

Garin yang Multidimensi

Saat membicarakan Garin Nugroho, mungkin atribusi yang paling lekat di ingatan banyak orang adalah sutradara. Tapi sebenarnya, Garin pun merupakan seorang pengajar, penulis, dan kritikus. Dalam buku ini, kita akan diajak menelusuri peran Garin di tiap-tiap atribusi itu. Misalnya saat Garin menjadi dosen di Institut Kesenian Jakarta – yang juga almamaternya – Garin menjadi saksi bagi muncul dan tumbuhnya generasi-generasi muda perfilman Indonesia. Sebut saja Riri Riza, salah satu mahasiswa yang Garin lihat memiliki potensi. Benar saja, sejumlah film Riri Riza disebut-sebut menjadi penanda era baru perfilman Indonesia pasca-Reformasi, seperti Kuldesak, Petualangan Sherina, Eliana Eliana, dan AADC (Produser). Ketajaman Garin sebagai “Bapak” yang mampu melihat potensi anak-anaknya akan banyak kita temukan dalam buku ini.

Garin Si Pembelajar

Ada satu momen yang Garin ceritakan berulang dalam buku ini, yaitu saat lawatannya ke AS tahun 1992. Saat itu Garin mengunjungi sejumlah institusi film Amerika seperti Academy of Motion Pictures Arts and Science, termasuk Studio Lucas. Di situ Garin pertama kali melihat penggunaan green screen untuk spesial effect, dan Garin pun terkagum-kagum. Setelah momen itu ia semakin bertekad untuk mengeksplorasi teknologi perfilman. Hingga lahirlah beberapa film seperti Bulan Tertusuk Ilalang (1995), yang diedit secara digital meski dengan alat sederhana. Ada pula Puisi Tak Terkuburkan (2000) yang materi videonya ditransfer ke format 35mm di Cinesite Amerika (1995). Padahal – kata Garin – teknik blow up semacam itu belum ada di Indonesia pada masa itu. Komitmen eksplorasi itu juga tampak dengan adanya lembaga SET (Sains, Estetika, dan Teknologi) yang Garin dirikan.

“Film adalah anak teknologi, maka di setiap perubahan zaman selalu mencangkok teknologi baru beserta media hiburan yang mendukungnya. Semuanya saling menghidupi, bersitegang, ataupun saling melengkapi.” (Hlm. 43)

(Sumber: jaff-filmfest.org)

Garin pun tak sungkan berbagi sumber inspirasinya di buku ini. Seperti konsep cinécriture, yang ia lihat dari karya-karya Agnes Varda. Dari Agnes, lahirlah karya esai film Garin seperti My Family, My Film, My Nation dan Aikon: Sebuah Peta Budaya. Dari situ dapat kita duga, mengapa gaya tutur karya-karya Garin cenderung auteur dan personal. Inspirasi lainnya adalah film-film dari D. Djayakusuma yang berbasis budaya lokal. Dari sini juga dapat kita lacak inspirasi film-film Garin yang syarat lokalitas khas Nusantara.

Mencatat yang Terlupakan

Hal lain yang menarik dari buku memoar ini adalah kejelian Garin “menyeret” isu-isu, tokoh, ataupun karya yang minim atensi, ke tengah pembacanya. Sudah mafhum kita ketahui bahwa pengarsipan di negeri ini begitu minim – kalau tidak bisa dibilang buruk, begitu pun di bidang perfilmannya. Padahal, seperti yang diungkapkan Joko Anwar dalam pengantar buku ini, pengarsipan dan preservasi amatlah penting. Joko percaya berbagai kekurang di perfilman Indonesia saat ini, disebabkan minimnya sumber untuk “becermin” terhadap karya-karya terdahulu. Buku ini bagi Joko merupakan salah satu upaya untuk mengikis masalah minimnya sumber masa lalu itu.

Benar saja, setelah membaca buku ini, ada banyak hal yang belum dicatat dan dibicarakan secara luas oleh publik kiwari. “Dalam perbincangan sinema dari sisi historis, senantiasa terselip riwayat sosok ataupun film yang terlupakan, terlewatkan, terpinggirkan, atau dipinggirkan.” (Hlm 33). Kata terakhir dalam kalimat Garin itu menarik, karena di buku ini ia pun menyinggung – meski secara singkat – soal “pembersihan” tokoh dan karya dari golongan kiri. Apa yang Garin singgung merujuk pada gerakan setelah kejatuhan Soekarno, yaitu pembersihan Partai Komunis Indonesia, beserta tokoh, simpatisan, hingga orang-orang yang dicurigai.

Baca juga: Kucumbu Tubuh Indahku: Lengger dan Perjalanan Menemukan Diri

Tak ketinggalan pula, sentilan Garin mengenai begitu kurangnya perhatian atas pekerja film perempuan. Padahal baginya, begitu panjangnya rentang sejarah perfilman Indonesia, juga telah melahirkan sutradara-sutradara perempuan yang luar biasa. “Menjadi ironis, bahwa tidaklah cukup banyak kajian terhadap sutradara perempuan secara detail, baik terhadap pikirannya ataupun karya-karyanya.” (Hlm. 21)

Garin pun dalam buku ini mencoba mengangkat karya-karya luar biasa namun minim perhatian, salah satunya film Harimau Tjampa. Bagi Garin Harimau Tjampa adalah salah satu film terbaik Indonesia, namun sayangnya terlupakan. Apabila publik saat ini begitu terpesona dengan film-film laga Indonesia yang mengandung unsur silat, ternyata film tahun 1953 ini sudah lebih dulu melakukannya. Harimau Tjampa hadir dengan kultur Silek Kumango-Minangkabau, yang syarat falsafah budaya setempat.

Hal lain yang tak kalah menarik dari memoar ini adalah ingatan-ingatan Garin yang ringan dan menggelitik, malah serupa trivia. Misalnya Garin mengisahkan, semasa Orde Baru ada film berjudul Kiri Kanan Oke (1989). Film ini kemudian diminta untuk diganti judulnya karena “Kiri” dianggap merepresentasikan “Komunis”. Judul film itu pun lantas diganti Kanan Kiri Oke (Wow!). Info-info ringan nan menggelitik semacam itu akan kita temui di sela-sela “dongeng” Garin di sepanjang tulisannya.

Tantangan dari Garin

Meski ada banyak hal yang disampaikan Garin dalam buku ini, semuanya disampikan hanya secara sekilas dan sepintas lalu, seperti yang ia katakan di awal. Mungkin karena buku ini berbentuk memoar, yang berbasis ingatan dan kenangan Garin. Sehingga topik-topik yang diangkat tak khusus dikuliti secara mendalam. Buku ini malah serupa pengantar dari samudera perfilman Indonesia yang belum dicatat. Dan bagi generasi muda seperti saya, entah mengapa buku ini jadi seperti tantangan untuk lebih mengeksplorasi topik-topik yang Garin mention.

Tantangan Garin itu lebih terasa saat saya mulai menulis ulasan ini. Minggu pagi 17 Januari 2021 lalu, saya menemukan tulisan Garin di harian Kompas berjudul “Layanan OTT pada Peta Baru Film Indonesia 2021”. Membaca ingatan Garin yang merentang lintas zaman, lalu membaca tulisannya hari ini, entah mengapa sedikit menciutkan hati. Mengapa ia bisa begitu produktif dan konsisten hingga era smartphone yang begitu membuai untuk rebahan ini. Ah, mungkin Garin bukan tipe penulis yang menunggu mod dulu seperti saya. Mungkin juga Garin tidak perlu menunggu kopi susu 18 ribuan untuk memulai menulis.

Apakah saya akan menerima “tantangan” dari Garin ini?
Sebentar, saya pesan kopi susu dulu.

 

Judul: Memoar Garin Nugroho: Era Emas Film Indonesia
Penulis: Garin Nugroho
Penerbit: Warning Books
Tebal: xvii + 216 Halaman
Tahun Terbit: 2020

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top