Artikel

Memori, Imajinasi, dan Terapi dalam Film Indonesia Sejak Tahun 1998

Film memberikan memori, imajinasi, dan terapi bagi siapa pun yang menontonnya. Lewat kegiatan menyampaikan cerita (storytelling), ia menghubungkan pengalaman, memunculkan, dan menyembunyikan kisah kelompok tertentu, serta membantu seseorang berimajinasi tentang dunia yang diinginkan. Keberadaan film pun menjadi penting sebab ia adalah cermin sosial dan bisa mengubah sikap seseorang untuk mewujudkan hal yang jadi mimpinya secara nyata.

Hal di atas disampaikan oleh Nishi Yoshimi, peneliti Center of South East Asian Studies Universitas Kyoto dalam diskusi “Film: Memori, Imajinasi, Terapi” yang diadakan oleh Japan Foundation, Kineforum, dan Dewan Kesenian Jakarta pada Sabtu (26/02) lalu. Acara yang masuk dalam rangkaian Japanese Film Festival Online 2022 tersebut dimoderatori oleh Koordinator Program Kineforum, Ifan Ismail.

Memori, imajinasi, dan terapi dalam film lebih lanjut dibahas lewat pemaparan ringkas Nishi terhadap 200 karya film Indonesia sejak tahun 1998 yang ia teliti. Hasil studi itu telah dibukukan dengan judul The Strength to Dream: Indonesian Cinema and Imagination dalam bahasa Jepang. Film-film yang Nishi kaji dilihat dalam tiga momen: Saat menonton di bioskop, festival film internasional yang diadakan Japan Foundation di Jepang, dan Kineforum.

Baca juga: Menyaksikan Hubungan Tidak Biasa dalam Film-Film FSAI 2022

Ada tiga aspek yang jadi perhatian dalam penelitian Nishi, yakni; citra keluarga dalam layar, upaya film buat mengubah stereotip kisah perempuan, serta pemulihan keretakan sosial atau renarasi sejarah Indonesia. Ketiga hal tersebut menjadi fokus karena Nishi menilai citra keluarga, stereotip perempuan, dan renarasi sejarah Indonesia menjadi pertanyaan yang berusaha untuk dijawab termasuk dalam film setelah Orbe Baru berakhir pada tahun 1998. 

“Ada konsep kekeluargaan di Indonesia di mana bapak memimpin anak yang diproyeksikan ke dalam sistem politik dan sosial nasional. Apakah kekeluargaan ini pantas atau tidak untuk Indonesia? Jika tidak pantas atau sesuai bagaimana bisa diperbaiki? Selain itu, wanita mengalami paksaan buat mematuhi norma serta ada luka sosial antar masyarakat yang belum sembuh. Bagaimana hal ini bisa diatasi serta diobati?” tanya.

Nishi mengatakan bahwa film Indonesia menjadi wadah eksperimen buat mencari solusi akan pertanyaan di atas. Dalam hal ini, sinema menjadi tempat untuk bermimpi juga berimajinasi tentang masa depan Indonesia yang ideal tanpa ada persoalan masa lalu. “Dengan konteks ini penciptaan film Indonesia adalah upaya mencari dan membangun sosok Indonesia baru. Dan buku saya menggambarkan jejak langkah film Indonesia yang bermimpi mengatasi masalah masa lalu sejak tahun 1998,” tambahnya.

Penelitian Nishi lebih lanjut menunjukkan kepercayaan akan sosok bapak yang memimpin dan melindungi dalam sistem politik dan sosial nasional berubah seiring dengan munculnya kasus mahasiswa yang ditembak oleh pemerintahan Soeharto. Akibatnya, film tidak bisa menggambarkan sosok bapak ideal bagi anak dan keluarganya setelah tahun 1998.

“Saat itu, Indonesia tak dapat membayangkan atau tidak bisa berimajinasi wujud atau rupa bapak yang ideal dalam keluarga Indonesia. Makanya, di awal tahun 2000-an tokoh bapak di film Indonesia digambarkan tak berfungsi sebagai pelindung anak. Ia bahkan menjadi penghalang atau pembawa malapetaka bagi keluarga. Hal ini tampak di film Kuldesak,” terangnya.

Baca juga: Julie Dalam 12 Babak: Virtual Screening dan QnA The Worst Person in The World

Nishi mengatakan kondisi ini berubah seiring berjalannya waktu. Dalam film Filosofi Kopi, misalnya, kedua tokoh utama yakni Ben dan Jodi yang merasa tak puas dengan ayahnya akhirnya dapat memaafkan orang tua mereka.  “Lirik OST yang dikarang Dewi Lestari berjudul Maafkan tertulis ‘Beri aku kekuatan untuk memaafkan’. Jadi film ini memperlihatkan bahwa anak bisa memaafkan bapak,” ujarnya.

Selanjutnya, usaha mengubah stereotip perempuan menurut Nishi terlihat di film Kartini. Di Indonesia terdapat tuntutan sosial yang mengharuskan perempuan menjadi anak, istri, dan ibu yang baik bagi keluarga.

“Kartini menikah dengan seorang laki-laki yang tidak ia cintai. Gara-gara itu dia tidak bersekolah di luar negeri. Karena berdasarkan kisah nyata, sejarah Kartini tidak bisa dibelokkan tetapi Hanung mencoba memasukkan adegan Kartini melakukan perjalanan ke Belanda dan memberdayakan masyarakat sekitar. Dalam imajinasi film ini berusaha mengubah perempuan yang menjadi idola masyarakat Indonesia tersebut,” jelasnya.

Nishi pun mengatakan film dapat menyuguhkan cerita kelompok mayoritas sekaligus menyembunyikan kisah mereka yang minoritas. Kemampuan film ini lantas dimanfaatkan untuk menceritakan sejarah peristiwa yang susah disentuh.

“Misalnya film Lentera Merah yang disutradarai Hanung Bramantyo itu muncul hantu korban tragedi nasional 1965 yang mencari kebenaran. Memang korbannya hantu tetapi dari mulut hantu penonton bisa mendengar cerita-cerita dari pihak korban. Ada juga film The Science of Fiction. Itu juga semacam fiksi ilmiah yang menggambarkan kisah alternatif. Edisi baru tentang apa yang terjadi sekitar tahun 1965,” ujarnya.[]

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top