Salah satu ruangan di Roemah Martha Tilaar Kebumen disulap menjadi tempat pemutaran film pada hari Minggu (23/5) lalu. Dengan jumlah terbatas, penonton dari berbagai daerah di Kebumen dan sekitarnya datang dan berkumpul di ruang tersebut. Mereka hadir untuk menyaksikan pemutaran perdana dan diskusi film Asa yang Asu. Film pendek ini diproduksi oleh Kalasa Films, Rumah Produksi yang diinisiasi sineas Kebumen. Beberapa film dokumenter juga turut meramaikan sesi pemutaran film sore itu.
Asa yang Asu mengangkat isu pendidikan dengan latar di daerah Kebumen. Yanti, seorang pelajar yang baru saja lulus SMP harus berada di persimpangan antara cita-cita dan realita. Keadaan ekonomi keluarganya yang serba sulit mengubur asa dan harapan Yanti untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi serta mengangkat derajat keluarganya. Lebih jauh, ia juga dihadapkan dengan berbagai permasalahan lain yang menghimpit, seperti stigma terhadap perempuan yang sering ia terima.
Pada sesi pemutaran ini, Kalasa Films juga turut menayangkan film-film dokumenter yang mereka produksi. Ada empat judul film dari program Rekam Kebumen yang ditayangkan. Keempatnya mengangkat cerita dari berbagai industri menarik yang ada di daerah, mulai dari industri Gula Semut, Warisan Leluhur Rokok Sintren, E-Sport Kebumen, hingga Geopark Kebumen.
Mendapat Respon Positif
Setelah film selesai diputar, acara berlanjut ke sesi diskusi bersama P. Ridho Saputro dan Argo Rini selaku sutradara dan produser film Asa yang Asu. Diskusi berjalan dengan menarik dengan berbagai respon positif dari penonton. Antusiasme penonton tercermin dari banyaknya pertanyaan yang diajukan selama sesi berlangsung. Berbagai topik turut dibahas selama diskusi, mulai dari tantangan produksi film di Kebumen, bagaimana film tersebut menggambarkan permasalahan di kebumen, sampai distribusi film Asa yang Asu ke berbagai festival dan pemutaran alternatif.
Film bertema pendidikan dan kemiskinan memang acap ditemukan sebelumnya. Meski demikian, Asa yang Asu mempunyai ciri khas tersendiri karena mengangkat kondisi masyarakat Kebumen. Sang sutradara, P. Ridho Saputro, menyebutkan bahwa apa yang dialami oleh Yanti dalam film ini masih banyak ditemui di berbagai daerah pelosok di Kebumen. Kedekatan ini menjadi penting karena memantik kesadaran tentang realita di sekitar kita.
Mengais Asa Perfilman Daerah
Perfilman di Kebumen masih jauh dari kata ideal dan sempurna. Hal itu terlihat dari jumlah pemutaran alternatif setiap tahun yang sangat terbatas. Eksistensi di kancah regional hingga nasional juga masih perlu digencarkan. Beberapa film pendek lokal memang sempat malang melintang di berbagai festival film, tetapi catatan tersebut belum cukup membuktikan adanya iklim perfilman yang berkelanjutan di sini.
Perlahan tapi pasti kondisi tersebut mulai diubah oleh pegiat film Kebumen, salah satunya dengan kehadiran Kalasa Films. Meski baru dibentuk saat pandemi, kerja tim di balik Kalasa Films mulai membuahkan hasil, seperti perilisan film Asa yang Asu dan program Rekam Kebumen. Namun, Kalasa Films juga dihadapkan dengan banyak permasalahan dan tantangan. Argo Rini, produser Kalasa Films, menyebutkan bahwa tantangan tersebut meliputi ruang pemutaran alternatif yang masih minim dan belum ada pengarsipan film daerah secara kolektif. “Untuk tantangannya tersendiri, belum ada terlalu banyak pemutaran film yang mewadahi. Padahal, ada banyak produksi film di Kebumen,” ia menegaskan.
Baca juga: Pemutaran Tilik Balik: Antara Film, Perempuan, dan Kenyataan
Di sisi lain, respon positif pada pemutaran kali ini juga menandakan bahwa film juga mendapat banyak apresiasi dari masyarakat. Animo masyarakat yang tinggi menjadi harapan baru bagi filmmaker lokal untuk semakin gencar mendistribusikan karyanya. Apabila semua aspek dapat berjalan beriringan, bisa jadi Kebumen dapat menyusul daerah lain dalam mengembangkan perfilman yang berkelanjutan.
