Oleh Jonathan Manullang dengan tambahan oleh penulis
Sinema Rabu
Vakansi Yang Janggal dan Penyakit Lainnya (Yosep Anggi Noen, 2012) + Kebun Binatang (Edwin, 2012)
Jelas ada gejala disparitas yang gamblang tatkala kita membandingkan intensitas inisiatif bervakansi ke kebun binatang bagi penghuni kota besar dengan penduduk daerah yang lebih terpencil (baca: kampung). Ini baru sebatas konteks fisik. Bagaimana dengan tataran mental?
Perjalanan bisnis di luar area metropolitan yang kita jumpai pada debut film panjang Yosep Anggi Noen ini menyiratkan tendensi lain. Sebuah percikan niat yang tak terlihat namun nyaris selalu terasa. Masyarakat kita biasanya serta merta melabeli percikan niat tersebut sebagai ‘penyakit sosial’, ‘anomali tradisi’, ‘pelanggaran adat’ dll tanpa berupaya memahami/mengkritisi sisi psikologis tiap-tiap pemikir bahkan pelaku niat dimaksud. Tahapan perwujudan niatnya sendiri pun berjalan sangat pelan sebagaimana pilihan sinematografi serta alur plot sang film. Namun terlepas dari variasi kecepatan akselerasi proses itu, seluruh entitas manusia di sana secara sadar memilih berkunjung ke kebun binatang pikirannya masing-masing.
Bentuk film kompatriotnya menghadirkan gagasan nyeleneh lain : kebun binatang yang memanusiakan manusia. Tempat seorang manusia belajar menjadi seutuhnya manusia. Tak masalah anda menggunakan sudut pandang spiritualitas atau etnografis, konklusi final tetap akan selaras ketika anda selesai menonton. Apa yang si manusia jumpai di luar kebun binatang toh tidak menawarkan apa-apa selain sifat homo homini lupus manusia lain.
Di titik akhir nanti, kita dapat sama-sama melihat paradoks eksplisit dari hal kemanusiaan dan kebinatangan. Apa itu binatang jalang? Bagaimana mendefinisikan manusia? Mengapa keduanya harus berbeda?
Bisa jadi sesungguhnya binatang sedang bervakansi ke kebun manusia dalam kedua film di atas, lantas ia mengubah penampilannya sehingga serupa dengan kita.
Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya akan diputar dalam edisi spesial Sabtu 9 Januari 2016 sedangkan Kebun Binatang diputar 20 dan 27 Januari 2016 di Paviliun 28.
Lalajo Babarengan
Nay (Djenar Maesa Ayu, 2015) + Kebun Binatang (Edwin, 2012)
Pertanyaan klise bin krusial yang sangat sering kita dapati setelah melewati fase kehidupan (atau kedewasaan?) tertentu adalah pertanyaan mengenai tujuan hidup. Namun terdapat satu pertanyaan lain yang jauh lebih fundamental : “kenapa harus hidup?”
Nayla Kinar menghidupi pertanyaan ini. Ia pernah dibiarkan hidup serta tumbuh. Kini gilirannya pun tiba : membiarkan entitas lain mengecap kehidupan kemudian menyaksikannya tumbuh seorang diri. Pada sisi sebaliknya, Lana acuh dengan pertanyaan itu. Ia tak mau tahu kenapa ia hidup, selama ia mampu menuntaskan cita-cita adiluhungnya : menjamah perut jerapah. Apakah ini termasuk kategori tujuan hidup?
Sempat terbersit opsi aborsi dalam benak Nayla namun semesta berkonspirasi menggagalkannya. Lana sangat mungkin bunuh diri begitu cita-citanya terpenuhi. Nihil jaminan ia bakal menemukan ‘tujuan hidup’ baru di sisa hidupnya atau konspirasi semesta bersedia menyuguhkannya ke hadapan sang perempuan.
Keputusan untuk hidup, bagaimana dan dengan siapa menjalaninya, apa saja konsekuensinya, sampai mengakhirinya pun semata-mata adalah pilihan adiluhung pribadi masing-masing. Maka mari kita alami dua proses hidup yang berbeda jalur namun sevisi dalam usahanya memaknai kehidupan individual melalui Nay dan Kebun Binatang.
Dalam program ini, Nay akan diputar tanggal 9 Januari 2016 dan Kebun Binatang tanggal 23 Januari 2016 di Ruang Sinesofia Bandung.
Mengenal In-Siatif
In-Siatif merupakan wadah eksibisi alternatif yang berfokus pada penyediaan ruang presentasi, diskusi, serta edukasi mengenai berbagai konten dan bentuk film panjang Indonesia yang bersifat alternatif dan terseleksi dengan program-program seperti Sinema Rabu di Jakarta, Lalajo Babarengan di Bandung, dan Ndelok Pilem di Yogyakarta.
