Ketika mendengar kata “Asia”, hal yang terlintas dalam pikiran kita untuk pertama kali mungkin hanyalah sebatas definisi suatu wilayah, salah satu nama negara maju, atau sebuah belahan dunia yang tertinggal dengan belahan dunia bagian barat, semacam Eropa. Namun, dengan menyajikan 15 film panjang dan 15 film pendek, Asian Perspectives yang juga merupakan salah satu program Jogja NETPAC Asia Film Festival 2019 berusaha untuk memberikan alternatif konsep, mengenai definisi kata Asia itu sendiri.
Yogyakarta, 20 November 2019, ketika waktu menunjukan pukul 16.10 WIB, program Asian Perspectives Short yang pertama diputar. Terdiri atas 5 film pendek dari berbagai negara di Asia, mulai dari Film Adam (2019) karya Shoki Lin, I Am Zal (2018) karya Hooman Naderi, Sejauh Kumelangkah dengan Surtadara Ucu Agustin, Tokyo Kurds (2018) karya Fumiari Hyuga (2018), City Of Gold (2018) dengan Sutradara Jareel Sereinco. Melalui 5 film pembuka program Asian Perspektive Short tersebut, penonton akan disajikan berbagai macam persoalan sang tokoh utama baik dengan sistem yang diterapkan di tempat tinggal masing-masing, maupun dengan orang–orang yang selama ini dianggap sebagai keluarga.
Guna mengenal lebih dalam program ini, penulis melakukan proses wawancara dengan programer Asian Perspectives Short Jogja NETPAC Asian Film Festival 14 yaitu Yustinus Kristianto, setelah pemutaran Program Asian Perspectives Short 3 pada Jumat, 22 November 2019.
Melalui film yang berhasil masuk dalam program Asian Perspectives Short. Bagaimana perkembangan film pendek Asia dalam merespons isu krusial di lingkungan sosial masyarakat?
Dari program Asian Perspectives, terutama film pendek yang berada di Asia, menurutku ini adalah proses yang sangat panjang ya. ketika ada dua hal saling memengaruhi, maksudnya soal pola pikir yang orang bilang “Barat”. Sebenarnya bukan itu masalahnya, akan tetapi bagaimana caranya, apa yang pernah kita dapat dari alam pikir Barat itu terimplementasi di cara pikir Asia, nah lalu cara pikir Asia itulah yang penting , dan hal itu tergambarkan di film– film pendek program Asian Perspectives. Cara pikir itulah yang terasa khas dari orang–orang Asia, yang sebenarnya untuk kita sendiri juga menjadi refleksi “Sebenarnya apasih Asia itu?” apakah Cuma sekadar lokasi, atau sekadar benua, nama, dan ternyata engga, lebih dari itu, Asia adalah soal bagaimana kehidupan kita, cara berpikir kita, dan apa pun itu yang khas, serta berisikan kegelisahan kita atas lingkungan tempat tinggal kita.
Dari 3 program Asian Perspectives Short, saya membacanya ada kesamaan, yaitu relasi orang tua dan anak yang kurang baik, nah sebagai programer, apa yang membuat Mas memasukan film yang bertema serupa seperti Adam, Prisoner Of Society, I’m Zal, ke dalam program Asian Perspectives Short?
Ada City Of Gold juga, SIN-SFO, dan lain sebagainya. Emm.. Sebenarnya bukan cuma soal anak, tapi urgensi untuk dibicarakan, lebih ke arah manusianya. Anak sudah pasti dia adalah seorang manusia, tapi yang penting itu manusianya, bahwa apa yang terjadi itu sebenarnya adalah potret, masalah yang benar terjadi dan itu hampir dialami oleh orang–orang yang berada di Asia, semisalnya Tokyo Kurds, menurutku bukan cuma soal imigrant, tapi soal Identity, nationality, dan sebenarnya itu jadi peting atau enggak, bahwa akhirnya ketika ada identity, dan nasionality yang akhirnya dikorbankan adalah manusianya. Hal tersebut lalu menjadi refleksi buat kita untuk memandang manusia lebih kompleks, karena sebenanrya cerita–cerita ini tentang manusia, tapi juga kegelisahan yang manusia alami, misal kayak Adam, orang yang dia anggap ibu saja, bahkan tega meninggalkan dia, ayahnya yang ia anggap menyiksa, ternyata lebih manusiawi, lebih mengayomi, cuma caranya yang salah. Sebenarnya itu aneh, cuma kita sering menjumpai hal tersebut di realitas, dan itu kembali menjadi refleksi untuk kita melihat bagaimana sih manusia sekarang.
Baca juga: Tiga Film Pendek LA Indie Movie 2019 Tayang Perdana di JAFF 14
Sebagai programer Asian Perspectives Short, bagaimana film-film pendek Indonesia dalam merespons isu-isu yang berada di lingkungan sekitar kita? Apakah sama dengan film-film pendek Asia lainnya?
Film pendek Indonesia, menurutku menarik, bagaimana film pendek Indonesia bicara lebih luas dari kata Indonesia itu sendiri, dan bagaimana dia bisa memberikan perspektif yang baru di lingkungan Asia bahkan dunia, di mana 2 film yang masuk program ini, emm.. lagi–lagi kembali ngomongin refleksi ya, dari kegelisahan yang kita alami soal sistem, ya sistem sosial terutama, apa yang terjadi di lingkungan kita terkhusus Indonesia. Contoh ya soal disabilitas dalam film Sejauh Kumelangkah, di mana mereka tidak bisa memiliki akses yang sama, padahal mereka cuman tidak bisa memfungsikan salah satu organ tubuh mereka. Lalu Film A Plastic Cup of Tea Before Her yang di mana urusan privasi dua insan manusia dicampuri oleh lingkungan luar, bahwa soal memadu kasih aja itu adalah urusan yang sangat sulit dan dicampuri orang disekitarnya, penting gak penting sih kontrol sosial, tapi kita diberikan pilihan yang banyak sih, jadi kita yang menentukan bakal tetap begini atau bagaimana.
Selama pemutaran Asian Perspectives Short, yang dibagi menjadi 3 seri di hari yang berbeda. Beberapa filmmaker baik yang berasal dari Indonesia maupun macanegara turut hadir dalam sesi QnA, salah satunya adalah perwakilan film pendek Kebelakang Pusing (2019), Yullis Lam. Yullis Lam mengatakan film Kebelakang Pusing merupakan upaya mengingatkan rasa nasionalisme dalam peringatan Total Defence Day di Singapura 15 Februari 2016, hal tersebut selaras dengan apa yang dikatakan oleh programer Asian Perspectives Short, Yustinus Kristianto.